BILA INGAT TRAGEDI 1965, saya jadi ingat puisi Afrizal Malna yang berjudul “Pohon Pisang di Pinggir Kali” (1988). Entah mengapa saya seperti diajak untuk mengimajinasikan peristiwa pembunuhan massal itu dengan puisi Afrizal. Afrizal menulis dan memberi ilustrasi apik tentang metafora antara sebuah masa silam dengan pohon pisang. “Seseorang terus menulis disitu/ seperti pohon pisang di pinggir kali/ menyaksikan air mengalir tak sama dari hari ke hari/ setiap melangkah, dunia dibelakangnya berubah jadi jurang yang memelukmu”. Ada ilustrasi antara sejarah, pembunuhan massal yang direncanakan, juga sejarah yang ditulis yang terus berubah-ubah. Saya masih ingat di masa kecil waktu menonton film Pemberontakan G30S/PKI. Film itu benar-benar membuat saya menjadi ngeri, takut dan seperti pembuat film itu, saya akan mengatakan “ PKI kejam, bengis, dan tak manusiawi”.
Tetapi kejadian itu saya alami pada masa kecil. Sampai suatu ketika di pelajaran sejarah di Sekolah Dasar hingga SMA, masih saja ada buku pelajaran yang mengilutrasikan bahwa PKI kejam, ideology “komunis” adalah ideologi yang patut kita berangus. Alasannya tak lain adalah karena PKI telah membunuh, melakukan kekejaman yang tiada batas. Pemahaman bahwa PKI adalah dalang, pelaku, saya pegang hingga perguruan tinggi. Saya beruntung bertemu buku-buku yang membuat saya membuka mata kembali tentang sejarah yang ditutupi oleh buku-buku “resmi”–buku-buku yang hingga kini masih dibaca dan direproduksi oleh guru-guru, oleh pemerintah hingga oleh para siswa-siswa yang sekolah bahkan hingga perguruan tinggi.
Pembaca buku “resmi” ini, apabila tak dibekali kesadaran tentang sejarah Indonesia, saya yakin, memiliki pendapat yang homogen. Pendapat yang membenarkan opini pemerintah, opini yang membenarkan dan menganggap kejahatan rejim Orde Baru benar dalam peristiwa pembunuhan massal 65. Saya membaca Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa. Melalui buku itu, mata saya seperti dibuka lebar-lebar bahwa ada yang salah dalam lembar sejarah kita. Sejarah menjadi seperti tapal batas yang jelas, antara Timur dan Barat, antara kebenaran dan penipuan sejarah. Ketika membaca buku itu, saya jadi mengenali istilah “kudeta merangkak”. Saya membaca pendapat Wertheim tentang peristiwa ini. Begitu pula saya semakin mengerti mengapa monumen Pancasila Sakti dibangun dengan segala cerita dan tipu daya.
Membaca buku karya tersebut saya seperti diajak untuk membaca simbol “pohon pisang”. Ilustrasi itu semakin nyata dan terang tatkala saya menyaksikan film Jagal garapan Joshua Oppenheimer. Melalui film itu, begitu kental realitas yang terjadi di masa silam dengan pembalikan fakta yang berkaitan dengan pohon pisang. Orang sering menuduh PKI membunuh dan jenazah korbannya dikuburkan dibawah pohon pisang. Ternyata, fakta yang terjadi justru sebaliknya, pohon pisang menjadi tempat para tentara dan aparat menghabisis orang yang dituduh komunis. Mereka ditutup kepalanya, dipaksa mengaku sebagai “komunis” kemudian dibantai dan dihabisi di bawah pohon pisang. Tak hanya itu, banyak juga ditemukan tengkorak dan tulang-belulang mereka dibuang ke sungai. Di jembatan Bacem, Sukoharjo teman saya pun mendengar kisah dari orangtua mereka. Bahwa jasad nenek moyang mereka yang dituduh komunis dilempar ke sungai Bengawan Solo.
Generasi yang lahir paska 1998, barangkali akan lebih tak banyak mengetahui versi lain dari kisah 1965. Saya jadi ingat jawaban singkat yang diucapkan oleh Prof. John Roosa tentang pembunuhan-pembunuhan ini: “Saya tidak habis pikir, kok ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil”. Saya pikir apa yang ditulis oleh John Roosa ada benarnya. Hal ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi ada sistem dan cuci otak yang massif. Peristiwa 65 adalah peristiwa yang disusun secara teratur, terencana dan tersistematis. Melalui tangan panjang pemerintahan, pers, hingga siaran radio peirstiwa ini tampak seratus persen diubah dan direkayasa. Bahkan sampai sekarang buku-buku direproduksi dan dicetak ulang untuk menutupi peristiwa yang terjadi di tahun 65.
Bahkan, rekayasa, dan pemutarbalikan fakta itu direproduksi oleh orang-orang di sekitar kita sendiri. Waktu saya berdebat dengan Ayah saya pun, susah sekali. Ayah saya menerima bahwa PKI tak sepenuhnya dianggap sebagai pihak yang paling berdosa dalam peristiwa pembantaian 65. Ini terjadi tentu tak hanya di keluarga saya. Pada keluarga yang berhubungan dengan polisi, tentara atau militer tentu pengetahuan tentang PKI selalu dianggap sebagai pihak yang kejam, keji dan harus dibantai dan dihabisi. Bila mengingat apa yang terjadi di tahun 65, kita seolah digiring dan diajak untuk percaya bahwa yang kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan itu adalah PKI, komunis. Bahkan di tahun-tahun itu, hampir semua organisasi masyarakat, dan semua elemen keagamaan menyatakan perang terhadap komunis.
Saya jadi ingat tulisan Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 2 yang berjudul “PKI”. Kurang lebih GM menyatakan ketakutannya bila PKI nanti memimpin negeri ini. Ia tak sepakat bila tubuh, raga dan pikiran jadi sama. Konon, PKI mencoba mengontrol kita dengan impian yang membuat kita satu gagasan. GM menginginkan “realitas yang menggetarkan, lebih kaya, lebih hidup, lebih tak terduga warna-warninya, dan begitu rekalsitran hingga tak tertampung oleh bumbu ideologis mana pun”. Apakah ketakutan GM cukup bisa dijadikan dalih bahwa kita sepakat dengan pembantaian, pembunuhan massal? Saya pikir ini menjadi pertanyaan kita bersama. Bahwa prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan dan kemanusiaan mana pun tak bisa membolehkan menghabisi manusia lain. Dan tak boleh kita lupakan, di masa Orde Baru, saya pikir, tubuh, pikiran, dan otak kita dikondisikan sedemikian rupa untuk menjadi sama melalui tangan panjang negara. Kita diajak untuk percaya dan sepakat bahwa pembunuhan massal dilakukan oleh PKI. Pada titik inilah sejarah yang diputarbalikkan seratus persen perlu dibongkar.
Melalui buku Tahun Yang Tak Pernah Berakhir (2004) John Roosa juga menuturkan orang-orang yang menjadi korban pembunuhan massal 65. Kita akan semakin terang menyaksikan penuturan para korban yang mengalami trauma dan juga siksaan di tahun-tahun itu. Tentu banyak lagi buku lain yang mengisahkan kisah para korban 65 selain karya John Roosa. Melalui membaca buku-buku tentang 65, saya jadi tertolong untuk memahami ulang sejarah yang terjadi di masa silam.
Sebagai guru di Madrasah yang identik dengan sekolah Islam, tentu saya memiliki kewajiban untuk merekonstruksi, mengisahkan ulang sejarah yang benar. Paska 98, tentu kita sudah banyak menemui buku-buku dan kesaksian para korban dan rekonstruksi ulang apa yang terjadi di tahun 65 di kala itu. Bahkan setelah peluncuran film The Act of Killing dan The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer, dunia internasional mulai terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 65.
Sejarah hari ini, tentu bukan lagi milik penguasa. Kita memiliki peran dan tanggungjawab untuk terus membuka mata rakyat Indonesia mengenai peristiwa yang terjadi di tahun 65. Tentu, sebagai anak bangsa, kita tak bisa selamanya membenarkan sejarah yang buram di sekolah kita, di buku pelajaran kita. Sudah saatnya pemerintah menghapus stigmatisasi, stereotipe tentang PKI, tentang komunis yang bisa melukai para korban pada satu sisi. Pada sisi lain, sudah saatnya sejarah yang benar harus dikisahkan kepada anak cucu kita, pemerintah melalui tangan “pendidikan” dan melalui penerbitan buku pelajaran di sekolah kita, memiliki tanggungjawab yang besar terhadap pelurusan sejarah bangsa kita. Begitu.
*) Penulis adalah Alumnus UMS, Pengasuh MIM PK KARTASURA, Lahir 30 juni 1988, bermukim Kartasura. Presidium Kawah Institute Indonesia dan Pegiat di Bilik literasi Solo.
*) Tulisan ini jadi finalis dalam lomba esai “Genocide 1965” dikirim untuk kepentingan pencerdasan publik agar lebih maslahah.