Foto diambil dari http://blog.act.id
PERHATIAN publik saat ini terfokus pada soal bencana asap yang merajalela dari berbagai lokasi kebakaran hutan – terutama yang terjadi dalam skala hebat di Sumatera dan Kalimantan. Asap yang pekat mencekat, membangkitkan jeritan-jeritan protes kemarahan warga yang hidup dekat dengan pusat kebakaran mau pun mereka yang turut diserang kabut, sekalipun tinggal di negeri-negeri seberang. Kekalutan dan kebingungan bukan hanya dialami mereka yang terserang langsung oleh serangan bencana asap ini. Nyaris seluruh bangsa, dapat dikatakan, terlanda keprihatinan akan situasi kesedihan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh serangan bencana asap yang terus meluas ini. Kita tentu mengerti betapa berbahaya dan memprihatinkannya situasi yang harus ditanggung makhluk hidup yang terkepung kabut asap beracun. Karenanya wajar bila kemarahan dan solidaritas juga mengalir deras dari kita yang tidak/belum diserang bencana kabut asap.
Kabut asap dikabarkan telah mengepung langit dan menyelubungi pandangan sedemikian rupa hingga menghalangi kemudahan beraktivitas normal sehari-hari. Kepungan kabut asap jelas menghasilkan keadaan disorientasi alias kehilangan arah yang parah. Di berbagai tempat, mereka yang dikepung asap tidak dapat melihat dengan jelas ruang sekeliling yang mereka huni. Mereka juga jelas kesulitan bernafas karena berkurangnya pasokan oksigen ke tubuh, yang bila berlangsung berkelanjutan berdampak mematikan dan juga kerusakan lanjutan pada organ-organ tubuh. Mereka yang paling lemah, seperti kanak-kanak dan orang miskin adalah yang paling sulit menghindari dampak negatif serangan kabut asap.
Sementara itu, tidak ada dari pihak berkuasa terkait yang mau mengambil tanggung jawab penuh atas kondisi yang dinyatakan darurat dan terus parah ini. Singkatnya, para pihak tersebut memajukan pandangan bahwa bencana ini hasil dari kelalaian, keteledoran, ataupun ketidaktanggapan pihak lain. Beragam pandangan saling mengaburkan tanggung jawab dan akar masalah. Seruan moral yang berkumandang membahana di tengah keruhnya pandangan adalah ‘jangan saling menyalahkan, yang mendesak adalah usaha-usaha nyata apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggapi keluhan-keluhan yang mempermasalahkan parahnya kabut asap di mana-mana.’
Maka perbincangan publik didominasi oleh ajakan-ajakan bertindak etis dan praktis. Mulai dari boikot produk-produk perusahaan yang berinvestasi di lahan-lahan terbakar penghasil kabut asap, ajakan-ajakan kreatif teknik memancing hujan agar kebakaran segera padam, mempromosikan alat-alat untuk membatasi dampak serangan kabut asap, hingga ajakan memperbanyak ibadah agar bencana segera dijauhkan. Sementara perdebatan yang strategis dan kritis terkait soal bencana asap ini sangat lah minim. Seperti telah disinggung juga oleh penulis kolom Logika di media kita ini, Dede Mulyanto, bahwa tidak ada pembahasan bencana asap sebagai kritik terhadap kapitalisme.
Sesungguhnya, bukan kita tidak tahu sama sekali bahwa bencana kabut asap ini hasil dari proses dan relasi produksi yang khas dalam masyarakat kapitalis. Pengetahuan kita itu terkepung kabut nalar yang akut yang terus menyelubungi kesadaran kita. Padahal kita tahu bahwa bencana asap ini adalah hasil pembakaran lahan-lahan gambut dalam skala yang sangat luas dan terus menerus untuk kepentingan produksi industri. Kita pun mengetahui para ahli telah melaporkan bagaimana proses produksi industri yang terkait pembakaran hutan demikian agresifnya. Tingkat penggundulan hutan (deforestasi) kita telah menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Penanaman sawit secara intensif pun dilaporkan segera ditemukan selepas kebakaran hutan yang dipersoalkan banyak orang.
Kita sepatutnya bertanya lebih keras, mengapa kondisi bencana asap ini harus terus berulang? Karena sesungguhnya kekacauan serta kepanikan massal terkait kebakaran hutan terjadi secara menahun. Semua orang tahu dari pengalaman bahwa biasanya masalah bencana asap ini akan mereda untuk muncul kembali. Kita pun telah membaca berita bahwa berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menangani bencana asap yang mencekam ini. Mulai dari upaya pemadaman hingga usaha-usaha mengurangi penderitaan para korban yang terpapar langsung oleh serangan asap. Tapi pada saat bersamaan, elit-elit negara menyatakan dukungannya terhadap para industrialis sawit atau pun komoditas terkait hutan lainnya. Pemerintah memilih merahasiakan nama-nama perusahaan sawit yang membakar hutan gambut sejalan dengan Ketua DPR yang menolak pembatasan izin produksi sawit, karena dikatakan sebagai penopang ekonomi yang penting.
Kabut nalar yang pekat telah mengepung kita 50-an tahun, sejak kebangkitan rezim pengabdi kekuasaan akumulasi modal tanpa batas. Kabut nalar yang pekat membuat cakrawala pandangan kita tidak dapat melihat akar masalahnya dari ranah produksi. Operasi produksi dan relasi-relasi sosial yang berkembang mengikutinya, sudah kita imani sebagai sebagai sesuatu yang secara mendasar menjadi keharusan yang tak terelakkan. Kita percaya harus terus beradaptasi untuk tetap dapat mengikuti hukum besi kompetisi ekonomi – terutama bagi seluruh elit politik yang punya kepentingan mengumpulkan profit dari kompetisi tersebut. Kita tidak terlalu gusar dengan para ahli (termasuk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Meteorologi dan Geofisika) menyimpulkan situasi bencana kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi sebagai kejahatan (terhadap alam mau pun terhadap manusia) dalam proporsi yang luar biasa. Menghadapi kejahatan tersebut, ternyata kita punya toleransi yang cukup tinggi, bahkan dalam bentuk yang kelihatan sangat etis: himbauan moral untuk boikot konsumsi. Prioritas solusi kita ternyata bukan lah kendali atas proses produksi dan relasi-relasi sosial politik yang menyertainya.
Adaptasi yang tidak hanya terbatas pada pengorbanan menanggung berbagai bencana dan malapetaka sebagai dampak operasi produksi dan relasi-relasi sosial kapitalistik. Kita juga harus terus beradaptasi untuk menjustifikasi represi dan diskriminasi terhadap siapa pun yang dianggap menjadi ancaman terhadap sistem sosial yang mengabdi pada akumulasi kapital tanpa batas. Kita sebagai bangsa sudah terbukti cukup tangguh terus melarikan diri dari kabut malapetaka 1965 yang hingga kini terus menghantui. Tentu bukan soal yang sulit juga untuk melakukan hal yang sama pada bencana-bencana sosial lainnya. Itulah sebabnya, sejauh ini pula, tidak ada yang tahu kapan masalah bencana kabut asap dan kabut nalar ini akan segera berakhir, apalagi memastikan tidak akan berulang kembali.***