BAGAIMANA memahami masyarakat kontemporer Indonesia kini? Di tengah-tengah perayaan 70 tahun kemerdekaan Indonesia, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Indonesia tetap terpuruk, ketika presidennya kini punya corak nasionalisme populis? Apa yang bisa kita catat dari 70 tahun Revolusi Agustus 1945?
Pemilu 2014 yang lalu jelas mencerminkan konfigurasi kontemporer dari kelas-kelas di Indonesia dan pengelompokannya. Dalam hal ini, perlu kejelasan lebih dulu tentang arti kelas borjuasi di Indonesia. Dan inilah pokok persoalannya. Saya condong melihat perbandingan Indonesia dengan Tiongkok. Kelas borjuasi di Indonesia, bahkan hingga saat ini, masihlah primitif karena kelas tersebut bukan hasil dari sebuah kegiatan produksi, melainkan dari kegiatan rente. Di Tiongkok hal ini diistilahkan sebagai Kabir (kapitalis birokrat atau borjuis birokrat). PKI juga memakai konsep rezim Kabir dan lautan borjuis kecil. Dan Kabir ini cocok perbandingannya dengan di Indonesia. Kelas lainnya adalah borjuis nasional (Bornas), yang di Indonesia posisinya serba lemah, karena kekuasaan politik sejak Orde Baru selalu didominasi oleh Kabir yang sekaligus bersifat komprador.
Sudah jelas kiranya bahwa Presiden Jokowi mewakili Bornas. Dan jarang terjadi bahwa Bornas kini bisa punya tokoh kuat seperti sekarang. Dan sebenarnya, saat ini, Bornas sedang pasang naik. Lihat saja nama-nama walikota atau gubernur yang dianggap lebih baik dan bersih dari sebelumnya: ‘Ahok’ Basuki Tjahya Purnama di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan lain sebagainya. Mereka jelas Bornas yang baru tumbuh. Istilah lainnya, Jokowi dan mereka ini mewakili pasang naiknya borjuis demokratis ke dalam kekuasaan di Indonesia.
Sementara itu partai-partai politik yang ada, termasuk PDIP, kesemuanya masih mewakili oligarki Orde Baru (yaitu borjuis birokrat dan komprador). Tetapi perlu diingat bahwa didalamnya juga ada Bornas dan kelas menengah (borjuis kecil) yang posisinya selalu terjepit. Ini termasuk terjadi juga di partai Golkar, Demokrat, Gerindra, Nasdem dan lain-lain. Jadi kaum Bornas di sini sebenarnya sedang mengkonsolidasikan dirinya agar kepentingan-kepentingan mereka bisa tercapai.
Kesalahan utama dari banyak gerakan kiri adalah slogan mereka yang melawan borjuasi an sich. Ini berasal dari kesalahan teori, yaitu menganggap Indonesia sudah kapitalistis, sehingga kontradiksinya adalah Proletar versus Borjuis. Padahal Indonesia belum lagi kapitalis. Indonesia masih kuat sisa-sisa Feodalismenya dan berlanjutnya warisan kolonialisme (Neokolonialisme). Dengan begitu, kontradiksi kelasnya adalah antara kaum sisa Feodal dan Neokolonial (yaitu Borjuis birokrat dan Borjuis komprador) versus kelas-kelas yang dirugikannya/ditindasnya, yaitu Borjuis nasional, Borjuis kecil, Buruh dan Tani. Artinya pula, perjuangan sekarang adalah mempersatukan empat kelas utama tersebut, dengan menegakkan demokrasi populis dan pemberantasan korupsi atas sisa-sisa Feodalisme, serta menegakkan Nasionalisme dan Berdikari (Trisakti) atas neokolonialisme.
Sebagaimana diketahui, kelas-kelas dalam sisa Feodal adalah Borjuis birokrat dan Borjuis komprador. Dalam masalah tanah, maka kebanyakan tanah dikuasai oleh Borjuis birokrat ini. Terbesar lewat PTPN, Perhutani atau perkebunan swasta seperti sawit. Berbeda dengan era semi-feodal sebelumnya, dimana tanah masih dikuasai kelas tuan tanah, maka kini tidak ada lagi tuan tanah dalam artian Feodal atau semi-Feodal. Tanah kini menjadi obyek spekulasi dan modal bagi Borjuis birokrat. Tanah juga dikuasai para Kabir dan Komprador untuk tambang-tambang, hutan-hutan, perkebunan sawit, real-estat dan sebagainya. Jadi kelas tuan tanah sudah menjadi Borjuis sisa feodal. Merekalah yang menguasai parlemen (DPR/DPRD), kabupaten, dan provinsi. Mereka yang bermain uang sejak di Pilkada sampai Pileg dan Pilpres. Keluarga-keluarga mereka menguasai jajaran birokrat di setiap level daerah dan parlemen. Tanah karenanya harus diredistribusi kembali kepada kaum tani, lewat Reforma Agraria (RA). Obyek paling utama dari RA adalah tanah-tanah tani yang dikuasai atau dirampas secara tidak sah oleh PTPN, Perhutani dan perusahaan-perusahaan agribisnis, serta tambang-tambang. Mensejahterakan petani hanya bisa bila petani kembali mempunyai tanah dan alat produksi. Hingga sekarang, tani tak bertanah (tuna kisma) jumlahnya lebih dari separuh kaum tani. Kaum tani lainnya adalah tani kecil (subsistens) yang dari hari ke hari terancam dirampas tanahnya dan mengalami proletarisasi. RA adalah jawabannya.
Mengapa Indonesia belum bisa disebut Kapitalis? Karena meskipun cara produksi kapitalisme sudah beroperasi luas, tetapi dia belum bisa mencapai posisi dominan dalam kaitannya dengan keberadaan sisa-sisa Feodalisme. Sama seperti orang yang nampaknya pengusaha parlente dengan berbaju jas dan dasi bersama mobilnya yang gemerlapan a la konglomerat global, tetapi hati dan kelakuannya masih merampok dan merampas dengan telanjang. Sisa Feodal ditunjukkan dengan masih dominannya cara bekerja ekstra-ekonomi (lewat kekuasaan politik) dalam mengumpulkan modal. Itu juga sebabnya sektor industri di Indonesia kini bahkan surut, disebut sebagai de-industrialisasi, karena sumbangannya hanya 24 persen dari PDB. Sementara sebuah negara industri (kapitalis industri) adalah di atas 40 perseb. Kelas Borjuasinya merasa nyaman dengan akumulasi primitif (rente dan perampasan) di bidang sumberdaya alam dan komoditas primer, dan ingin terus melestarikannya. Karena itu Borjuis birokrat marak di mana-mana, dimana jabatan birokrasi dan parlemen merupakan sumber keuangan, kekayaan dan modal. Dengan senang hati pula dia menjadi komprador asing, lewat pengalihan kontrak karya, hak usaha, lisensi, atau duduk sebagai komisaris di korporasi transnasional. Dengan begitu, sebagian besar sektor ekonomi Indonesia sudah dikuasai asing. Demikian pula sektor industrinya sangat tergantung pada modal asing dan tingginya konten impor. Jadi bentuk-bentuk kapitalis primitif inilah yang masih berkuasa di Indonesia. Kita menyebutnya, cara produksi sisa Feodal dan Neokolonial.
Dalam hal ini Borjuis nasional seringkali dirugikan oleh praktek-praktek di atas. Karena semua upaya dan kerja keras mereka tidak dihargai. Demikian pula usulan-usulan kebijakan mereka selalu mentok di tangan para birokrat dan komprador. Temuan dan inovasi-inovasi mereka selalu diganjal kaum birokrat dan pihak asing. Bagi Bornas yang tidak kuat, maka pada akhirnya akan larut dan ikut dalam praktek-praktek rente dan korup tersebut. Sementara yang tetap kuat dan mampu membuat ceruk usaha sendiri, akan tetap bertahan dengan keyakinan dan idealismenya. Mereka ada tetapi lemah. Bornas seperti inilah yang harus didukung. Jokowi dan teman-temannya saat ini mewakili kebangkitan mereka.
Setiap negeri punya kekhususannya masing-masing. Borjuis birokrat di Indonesia sudah berakar lama, seperti kata Ruth McVey, yaitu dari Beamstenstaat (kalangan pamong praja). Mengalahkan mereka memerlukan kerjasama dengan Bornas. Biarpun Bornas masih lemah, kini mereka berkuasa secara politik. Sementara kelas Buruh dan Tani juga sama-sama lemah. Dan Nampak jelas bahwa kekuatan buruh dan tani tidak akan cukup kuat menjalankan perubahan besar, apalagi revolusi, karena mereka hanya kuat di kantong-kantong industri dan pedesaan yang serba miskin. Ini masalah utamanya. Borjuis kecil juga demikian. Mengingat lemahnya sektor industri dan sektor riil lainnya, maka basis ekonomi mereka juga masih lemah. Kerjasama empat kelas ini pastilah jauh lebih baik ketimbang sendiri-sendiri. Harus disadari bahwa perlu ada tahapan-tahapan untuk sampai ke Sosialisme yang dicita-citakan. Apa yang penting adalah memikirkan rute-rute menuju ke sana, dan rute itu hanya bisa ada lewat penghimpunan semua kelas-kelas yang dirugikan oleh Kabir dan Nekolim. Tidak bisa kita bayangkan sebuah rute klasik sebagaimana yang kita baca selama ini. Banyak jalan menuju ke Sosialisme.
Transformasi ke industri adalah tema yang menentukan. Kuncinya, harus ada pemerintah yang komit penuh membangun industrialisasi, termasuk industri pertanian. Itu berarti asumsinya harus dijalankan oleh orang-orang baru yang komit 1000 persen dengan nasionalisme. Jokowi dan pemerintahannya, bersama semua elemen-elemen masyarakat yang maju perlu mengubah secara progresif bangunan ekonomi ini. Apa itu? Kebijakan Industrial yang selektif beriringan dengan Reforma Agraria (dan sumberdaya alam). Cara paling efektif adalah menggerakkan semua manusia Indonesia sebagai tenaga produktif, karena sesungguhnya rakyat sudah siap. Ketiga, adalah pemberantasan korupsi besar-besaran, sehingga habis semua koruptor itu dan tidak ada lagi para sabotaser. Menurut hemat saya, membangun Indonesia itu tidaklah sulit. Alam Indonesia sudah kaya-raya. Tinggal yang dibutuhkan adalah pemerintah yang komit pada rakyat dan bangsanya. Bayangkan, sekarang saja Indonesia sudah menjadi 10 besar ekonomi di dunia (dengan memakai ukuran PPP- Purchasing Power Parity).
Kapitalisme pada saat ini sudah versi 3.0. di abad 21. Maksudnya sudah jauh berbeda dengan versi 2.0. di paruh abad 20 sebelumnya. Industrinya bersifat jaringan dan sepenuhnya digerakkan teknologi informasi (IT). Menghadapi ini, maka Indonesia harus belajar dari Tiongkok. Strategi mereka adalah menundukkan jaringan produksi global, karena itu sektor-sektor domestiknya diperkuat, termasuk tenaga produktifnya: rakyatnya. Pendidikan diutamakan. Untuk di Indonesia, maka pemerintah harus mengendalikan semua proses industrialisasi, untuk memajukan kepentingan kekuatan domestiknya. Indonesia tidak perlu takut, karena sesungguhnya Indonesia tidak perlu dunia. Indonesia mau diblokade silahkan, justru untung. Jadi harus pede. Semua modal asing, investasi asing harus dikendalikan untuk kepentingan domestik. Kalau mereka protes, silahkan keluar. Indonesia cukup mengejar penguatan pasar domestiknya saja, maka bisa hidup mandiri dengan tingkat kesejahteraan cukup. Cukup bangun perdagangan antar provinsi antar pulau; menghidupkan ekonomi kepulauan; pembangunan pertanian yang beragam, termasuk pangannya. Enerji yang terbarui yang beragam, bukan dari migas saja. Mudah sebenarnya membangun Indonesia ini. Tinggal pede saja pemerintahnya, dan melayani rakyatnya. Hakul yakin bisa sukses, gemah ripah loh jinawi.
Dirgahayu 70 tahun Revolusi Agustus 1945. Revolusi belum selesai, kata Bung Karno. Dan kinilah saatnya yang terbaik untuk melanjutkan Revolusi yang belum selesai tersebut.***