Ilustrasi: T.A. Kusno, 2012, “Bastaman”. Photograph series, variable dimension
Teori – Orde Baru dan Pembentukan Keluarga
Kritik – Warisan Sebuah Rezim: Citra Kultur Media dan Persepsi
Liputan – Mati Ketawa Cara Orde Baru
Karya – Tuyul: Sang Pembebas dari Kekangan Modal
Karya – #VisualGusuran: Yang Subur Setelah Digusur
Mixtape – Ketika Musik Disederhanakan
BULAN INI bulan duka. Tiga kawan kami di IndoPROGRESS kehilangan ibu dan mertua pada waktu yang berdekatan. Bagi yang ditinggalkan, kami ucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya dan semoga diberi ketabahan.
Tapi Juli juga bulan Lebaran. Beberapa dari kami mempersiapkan mudik. Yang lainnya kerja banting tulang untuk nikah tahun depan, atau mempersiapkan jawaban “kapan kawin?”, menunggu THR, dan—aha, kabar baik!—menunggu kelahiran anak pertama.
Anda, sidang pembaca yang budiman, bolehlah menganggap peristiwa-peristiwa di atas sebagai apologi belaka untuk keterlambatan terbit Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS. Tapi kami serius, kendati Marx tak pernah mengucap sepatah kata pun tentang Lebaran, bagi kami lebaran adalah liburan rakjat. Kadang kami membayangkan, beratnya berpuasa seberat memperjuangkan transisi masyarakat ke sosialisme, penuh pengorbanan, banyak godaan untuk berbuka di tengah jalan, dan rawan konflik; sementara lebaran seperti hari kemenangan ketika semua alat produksi sudah tersosialisasi merata dan seluruh umat manusia sungkem-sungkeman. Kenyang, produktif, damai.
Khairun Fajri Arief, kawan kami di Lampung, menyusun mixtape (brutal) berisi lagu-lagu religi, dari yang paling sell-out hingga yang paling absurd, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Pilihan lagu-lagu ini menjadi catatan penting atas cara kita selama ini menyimak tema religi dalam musik—mana yang paling menonjol ketika sebuah album religi dirilis ke pasaran? Apakah teknik bermusiknya, lirik-liriknya yang memperingatkan kita akan kehidupan duniawi yang fana dan kejam, kehidupan musisinya yang awalnya begajulan dan tiba-tiba jadi alim? Atau bagaimana jika semua ini adalah konspirasi kapitalis selama bulan Ramadhan?
Mudik memang bikin hangover. Setelah berlibur, kita kembali ditampar kenyataan dan ketakutan khas warga kota; mulai dari THR raib tak berbekas hingga penggusuran di mana-mana. Manan Rasudi mendokumentasikan perihal yang terakhir di rubrik apresiasi karya melalui esai foto. Yang namanya orang terusir dari tempat tinggal, pastilah protes. Protesnya macam-macam. Bisa bakar-bakaran, ataupun sekadar corat-coret di puing-puing bekas gusuran rumah mereka. Pantauan Manan menunjukkan corak kemarahan yang tidak lazim kita temui di internet, bahkan tidak pula dalam bentuk yang terorganisir seperti demo di jalanan. Jangan kira politik tak butuh orang marah, kendati marah-marah tidak pernah menyelesaikan masalah, apalagi menjamin tegaknya sosialisme. Namun, kemarahan, bahkan dalam bentuknya yang paling vulgar, adalah fenomena politik akar rumput yang sia-sia jika tak terdokumentasikan. Pejabat, sipil dan militer, kini bukan saja tidak mengabaikan kemarahan itu, bahkan bisa seenak perutnya memarahi rakyat, sebelum mengusir mereka.
Rubrik apresiasi karya juga diisi oleh cerpen Wiman Rizkidarajat dan Irfan Rizki Darajat, dua bersaudara ngapak asal Purwokerto, yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpen Tuyul, Cinta Abadi, dan Dhanyang-Dhanyang Desa secara samizdat, alias nyetak sendiri. Cerpen mereka yang kami catut, “Tuyul: Sang Pembebas dari Kekangan Modal”, sangat berfaedah untuk dinikmati hari-hari ini. Apalagi, jika Bung dan Nona bernasib seperti salah satu dari kami: menjadi buruh kelas menengah yang nasibnya tak kunjung berubah. Bagi anggota kami yang satu ini, Jakarta cuma manis menjelang Lebaran belaka—lowong dan penuh diskon. Setelah itu, Jakarta kembali seperti yang kerap ia definisikan: kota penuh jeratan modal, mantan, dan kenangan. Butuh usaha ekstrem untuk bisa keluar dari kekangan Troika jahanam ini. Solusinya, menurut beliau, tak lain dan tak bukan adalah kesabaran revolusioner. Ya, mungkin juga Tuyul, setidaknya setelah ia membaca cerpen ini.
Selain itu, ada dua tulisan tentang perhelatan ORDE BARU OK. Video Juni lalu. OK. Video tahun ini mengambil tema besar Orde Baru. Tak ayal, jika Anda sempat datang ke perhelatannya, Anda bakal disuguhi pelbagai karya, yang kalau tidak mempertanyakan klaim kekuasaan Orba, ya menyigi segala hal yang selengean di masa itu. Walhasil, Orde Baru tak lagi terlihat seseram yang bisa kita bayangkan. Ada banyak siasat untuk melawan (baca: menertawakannya). Jika Anda melewatkan helatan ini, Anda masih bisa menyimak laporan khusus Raka Ibrahim tentang Simposium Orde Baru, hasil kerja sama ORDE BARU OK. Video dan IndoPROGRESS di rubrik liputan kali ini. Sementara itu, Anda juga bisa membaca tulisan Maria Josephina Bengan di rubrik kritik yang merunut secara singkat lahirnya video art sebagai sebuah perlawanan dan bagaimana ia, dalam OK. Video, digunakan untuk menelanjangi Orde Baru.
Akhirul kalam, Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS ditutup oleh bahasan seputar keluarga. Setelah capek menghindar dari acara kumpul-kumpul keluarga, setelah lelah disodori nama-nama laki dan perempuan single selama Lebaran kemarin oleh keluarga dekat, ada baiknya Anda membaca tulisan Holy Rafika tentang pembentukan keluarga di era Orde Baru. Karena, Bung dan Nona, bikin keluarga di jaman Engkong Harto itu tentulah bukan soal anak gadis dibawa kawin lari, calon pasangan tak direstui orangtua, calon mantu yang masih ngontrak, mertua otoritarian, mau punya anak berapa, dst. Bikin keluarga di era Orde Baru sangat erat kaitannya dengan kontrol populasi, anti-komunisme, dan sentimen anti-Tionghoa.