I
BUKAN. Ini bukan soal Sandiwara Radio Ibuku Malang Ibuku Tersayang yang populer di penghujung 80-an itu. Walau akan ada hubungannya dengan cara membaca konflik yang melanda keluarga Ibu Sasongko dan derita Corie akibat ulah Sasongko. Keduanya sama-sama Ibu yang melahirkan anak dari Sasongko.
Tulisan ini beranjak dari 220-an orang yang menyukai status facebook saya soal rencana untuk menjadi ibu. Lebih dari seperempatnya mengucapkan bela sukacita. Bahkan ada yang secara khusus segera meyakinkan saya agar ASI eksklusif plus berbagai tips dan manfaatnya. Baru kali ini status facebook saya mendapat respon yang demikian cepat dalam sehari, oleh teman-teman yang tak pernah saya sangka-sangka ikut memperdulikan aktivitas akun itu.
Ada rasa haru sekaligus miris menyelip: bila mereka tahu bahwa saya hendak menjadi ‘Ibu’ bagi seekor anjing adopsi, apa saya akan mendapatkan ucapan sukacita yang sama?
Di waktu yang sama Sekjend Kemenhan (Kementerian Pertahanan) juga mengeluarkan edaran terkait syarat-syarat PNS pria yang boleh berpoligami. Syarat pertama, si istri tidak dapat menjalankan ‘kewajibannya’ karena cacat badan yang tak bisa sembuh atau tidak bisa melahirkan. Boleh dibilang, jika istri baru tidak melahirkan, maka dia boleh mengambil istri-istri selanjutnya, asalkan, tambah edaran itu, semua persyaratan yang mengikutinya dapat dipenuhi: persetujuan istri sebelumnya, cukup nafkah, dan adil merata.
Saya tidak hendak membahas soal aspek poligami di dalam kasus edaran Kemenhan dan derita Ibu Sasongko di sini. Saya ingin cerita soal ibu dan anak. Sebuah jabatan yang disandang perempuan karena relasinya dengan anak (manusia).
Satu hal yang jarang diusik terkait salah satu alasan berpoligami. Kenapa istri yang tidak bisa, tidak mau, cacat badan hingga tak bisa melahirkan membuatnya ‘harus merelakan’ si suami untuk menikah lagi? Ada apa dengan tubuh perempuan sehingga segenap fungsi reproduksinya itu begitu penting hingga negara ikut campur tangan mengaturnya?
II
Kodrat. Apa yang dimaksud menjadi Ibu? Perempuan yang melahirkan? Yang memelihara anak walau tidak melahirkan? Yang menyusui anak? Yang melahirkan dari hasil perkawinan sah? Seorang transjender yang mengadopsi anak? Pasangan gay atau lesbian yang memiliki anak?
Menurut perspektif kodrat patriarkal, menjadi Ibu sederhana saja: melahirkan dan bersuami. Melahirkan tanpa suami itu cilaka, melahirkan lalu ditinggal suami berarti sengsara, tidak bisa melahirkan sama celakanya, tidak punya suami dan tidak bisa melahirkan sama sengsaranya. Sesudah celaka dan sengsara, ia juga mesti menyandang cap: mandul, janda, hingga perawan tua.
Masih ada lagi. Bila ia ‘beruntung’ bisa melahirkan, bersuami dan bekerja, jangan sampai lupa tugas-tugas rumah tangga. Bangunlah lebih pagi, tidur lebih malam, layani suami dengan sebaik-baiknya, tata diri secantik-cantiknya agar ia tidak mencari wanita idaman lain. Demikianlah perempuan hebat, idaman semua pria. Simbolnya pun ada: perempuan dengan banyak lengan memegang berbagai peralatan kerja publik dan domestik.
Demikianlah kodrat. Yang sunyi senyap hadapi pertanyaan: kapan kawin? Dengan siapa? Kapan punya anak? Seketika segepok ijazah, kedudukan dan pengalaman tak berkutik, diam seribu bahasa. Sekalipun jaman sudah meroket temui sahabat bumi lainnya, keresahan hidup mayoritas manusia masih saja sama: galau saat ditanya kapan kawin dan mau dengan siapa; sakit ketika tak bisa melahirkan anak, disundali ketika tak mau melahirkan anak.
Satu lagi aspek kodrat yang jarang dibahas: ‘glorifikasi rahim’ dan kemampuannya melahirkan anak. Menjadi Ibu adalah anugerah. Perempuan kuat karena kemampuannya melahirkan dan memelihara anak.
Keterpaksaan. Seorang remaja perempuan married by accident (MBA). Karena hamil ia harus menikah, baik kepada laki-laki yang membuatnya hamil atau pada siapapun laki-laki yang bersedia menanggung ‘beban malu’ keluarga. Bahkan hamil karena kejahatan perkosaan juga diperlakukan sama: kawin.
Seorang perempuan budak kulit hitam, terpaksa menyusui anak-anak tuannya. Karena si Tuan dan si Nyonya tak mau payudara ‘rusak’ karena si Nyonya mesti tetap tampil sintal dan menggairahkan di hadapan si Tuan. Di dalam hati perempuan budak kulit hitam itu tak sudi air susunya dihisap oleh anak penindasnya. Tetapi mata, tangan dan kaki mungil itu tidak perduli itu susu siapa, ia tak membenci dan menindas sejak kelahirannya.
Seorang ‘pembantu’ rumah tangga dan baby sitter menjaga anak-anak tuan-nyonya mereka. Makan belakangan setelah tuan-nyonya makan, mungkin memaksa diri rela untuk suka bermain-main dengan anak-anak majikannya, sementara anaknya sendiri entah dirawat bagaimana oleh mungkin Ibunya, bibi, nenek dan perempuan-perempuan kerabat yang bisa dimintai pertolongan.
Tentu saja tidak semua Ibu melulu menderita atau melulu baik budi, atau berada di antara keduanya. Di India perempuan-perempuan miskin dipekerjakan untuk hamil. Rahimnya semacam disewa untuk para klien yang membutuhkan.
III
Saya kenal dua orang kawan yang masing-masing kehilangan Ibu, sama-sama semacam membencinya. Yang pertama marah—mungkin juga dendam—karena si Ibu meninggalkan keluarga entah karena alasan apa. Yang kedua juga serupa, hanya saja ditambah hadirnya Ibu baru yang hampir sama jahatnya dengan Ibu Tiri di dalam film Ari Hanggara.
Keduanya selalu sinis ketika 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Walau untuk alasan yang berbeda aktivis-aktivis feminis indonesia juga tak bersetuju penyebutan hari Ibu pada 22 Desember. Yang pertama marah bercampur (mungkin) sedih karena Ibu yang tidak ‘bertanggungjawab’, sementara yang kedua tak bersetuju perempuan sekadar diasosiasikan sebagai Ibu, apalagi momen itu adalah momen dimana perempuan berkumpul dan berkongres membicarakan masalah-masalah perempuan dan kebangsaan.
Saya sendiri juga kehilangan Ibu, tak punya memori tentangnya sama sekali, kecuali momen kedatangan jenazahnya dan saya diminta duduk disamping kepalanya berdoa. Bertahun-tahun kemudian baru merasa, tidak punya Ibu memang tidak enak. Padahal saya besar dikelilingi banyak perempuan yang tak kurang berperan sebagai Ibu.
Perasaan tidak enak itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi karena televisi dan film-film lepas selalu menyajikan suasana khas keluarga: Ayah, Ibu dan, setidaknya, dua orang anak, tampak bahagia, duduk bersama di meja makan. Sejak itulah imajinasi keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak lahir dan tumbuh menjadi bagian dari kesadaran. Di luar image itu, tidak lengkaplah hidup seseorang, bahkan laknat jika ia mendamba memiliki keluarga dengan sesama jenisnya.
Di era Orde Baru, citra keluarga yang disajikan, sekaligus hidup di sekitar masa remaja saya, adalah bentukan kekuasaan politik Orba. Dimana keluarga inti adalah wujud kontrol kekuasaan atas pilihan-pilihan kehidupan personal, reproduksi sosial, perilaku sosial dan politik. Bila Anda pernah mengunjungi Museum Pancasila Sakti dan melihat relief kepahlawanan Soeharto di dekat tugu ‘7 Pahlawan Revolusi’, Anda bisa bandingkan citra perempuan Gerwani yang ‘sundal’ sambil menari harum bunga dengan citra perempuan Soeharto yang keibuan, sopan, sambil memomong anak.
Menjadi Ibu dalam struktur masyarakat Indonesia sejak Orde Baru mengandung misi politik mengembalikan perempuan-perempuan ke halaman belakang rumah tangga. Menghancurkan Gerwani, sebagai gerakan perempuan paling politis hingga 1965, sekaligus bermakna menghancurkan politisasi perempuan. Hasilnya adalah organisasi-organisasi para Istri pendamping suami: ke surga nunut, ke neraka katut.
Sementara menjadi Ibu dalam sejarah peradaban yang patriarkal tidak berbeda secara esensi, yakni pengampu reproduksi. Namun sejak 200 tahun terakhir peran ini telah digugat seiring berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terkait hak. Sejak perempuan terintegrasi ke pasar kerja dan memenangkan hak politiknya sebagai warga negara, wajah peribuan perempuan tak pernah lagi sama.
Banyak yang menyerang gerakan hak-hak perempuan sebagai yang hendak melawan kodrat keibuan. Padahal yang dikehendaki perjuangan menyakitkan tersebut hanyalah kebebasan perempuan untuk memilih, membuat dan memiliki pilihan. Apakah kodrat itu? Siapa yang menetapkannya? Untuk kepentingan apa? Banyak pertanyaan yang masih saja relevan diajukan setelah 200 tahun gerakan perempuan dan gerakan hak-hak warganegara berhasil memperjuangkan pembatasan usia pernikahan, pemenjaraan terhadap kejahatan seksual, dan kedudukan yang sama dimuka hukum.
Apakah menjadi Ibu atau tidak mengurangi hakikatnya sebagai perempuan? Apakah pilihan menjadi atau tidak menjadi itu ada di dalam cakrawala pikirannya? Lebih jauh lagi, apakah perempuan mengetahui bahwa ia memiliki pilihan dan boleh memilih, sekalipun pilihan-pilihan itu sangat dibatasi oleh akses dan sumberdaya—serta keberanian—dalam sistem kekuasaan politik dan masyarakat tertentu?
Menjadi Ibu adalah peran gender. Menjadi beragam Ibu adalah fenomena di era kapitalisme ini. Dan motivasinya memiliki saling-kaitan yang rumit. Selagi masyarakat masih memosisikan perempuan semata-mata sebagai pereproduksi keturunan, dan kapitalisme menempatkannya hanya sebagai pereproduksi tenaga kerja, maka Ibu adalah komoditas dan tubuhnya adalah alat tukar.
Maka beruntunglah para perempuan yang menjadi Ibu karena limpahan cinta kasih dan kemudahan ekonomi. Malanglah para perempuan yang menjadi Ibu dari kekurangan cinta dan melarat. Tapi diantara keduanya, malanglah semua kita yang dilahirkan dari berbagai Ibu namun belum menyadari berbagai kesulitan menjadi seorang Ibu.***