“Kami sekarang sedang pikir nyawa manusia ini tidak ada harga sama sekali dari pada kios dan mushola. Kami sangat kecewa sekali dengan tindakan mereka.”
DRAMA Tolikara sudah memasuki babak baru, tetapi teka teki kejadian belum terpecahkan. Pelaku penembakan masih berkeliaran.
Penangkapan HK dan JW, sebagai penyebab insiden 17 Juli di Karubaga, Tolikara, sedang mencuci tangan aparat keamanan yang sejak awal gagal mencegah peluang terjadinya insiden tersebut. Kematian Endi Wanimbo (15Th) akibat peluru tajam, dan melukai 11 lainnya, dalam insiden tersebut ditanggapi dingin oleh TNI dan dengan apologi oleh Polri: siapapun yang menyerang wajar ditembak.
Ditembak dengan peluru tajam, yang tidak diarahkan ke atas layaknya prosedur penanganan massa, dianggap wajar oleh TNI. Banyak kewajaran serupa terjadi di Papua. Jerry Nawipa ditembak di dada oleh polisi hanya karena cekcok makan baso. Demikian pula Roby Erik Pekey ditembak tiga kali di kaki hanya karena tampak seperti pencuri. Kewajaran tampaknya juga berlaku pada penyiksaan dan penembakan dua pendeta Sidang Gereja GIDI, Pdt. Kinderman Gire dan Pdt. Pitinius Kogoya, di kampung Kalome, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. “Model kewajaran”semacam ini sudah berlangsung puluhan tahun di Papua.
Banyak orang terbiasa cepat puas ketika maling digebuki, pembunuh dan pengedar narkoba dihukum mati. Tak banyak yang sadar negara ini sama sekali tak punya upaya mengurangi motivasi maling, motivasi membunuh dan motivasi memproduksi dan mengedarkan narkoba. Bukan karena negara gagal atau tidak hadir, tetapi karena fungsinya saat ini bukan untuk mengatasi penyebab masalah, melainkan hanya mengelola masalah-masalah itu. Dan kita semua tahu, insitusi TNI-Polri adalah salah satu penyebab masalah, apalagi di Papua.
Babak baru juga dibuka dengan milyaran dana sosial yang berhasil dikumpulkan oleh berbagai pihak dengan berbagai sentimen. Komite Umat (KOMAT) untuk Tolikara mengumpulkan 1.3M, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyumbang 1.3M, dan inisiatif Panji Pragiwaksono pun dalam waktu singkat berhasil kumpulkan 300an juta dari target 200 juta. Sementara pemerintah sejak tanggal 19 Juli sudah mengatakan akan segera membangun kembali mushola, kios dan rumah yang terbakar. Bupati dan Pemkab Tolikara pun berjanji memberi ganti rugi atas semua kerugian yang ditimbulkan.
Miris. Mungkin itu kata yang tepat merespon kecepatan berbagai pihak membantu dibangunnya kembali Mushola, kios dan rumah yang terbakar di Karubaga. Entah berapa milyar total keseluruhan dana sosial tersebut, yang pasti diperoleh akibat framing media terkait “mushola dibakar”, “umat muslim Tolikara dilarang Shalat”, dan tambahan lainnya di surat edaran GIDI yang beredar cepat di Jakarta melalui media sosial.
Apapun motivasinya, yang pasti masyarakat kita masih lebih cepat tergerak oleh sentimen agama yang di framing sedemikian rupa oleh media dengan kehebohan dan bumbu provokasi. Miris karena di saat yang sama 11 pemuda Papua korban penembakan tak mendapat perhatian yang sama, seperti halnya 11 orang Papua lainnya yang meninggal karena krisis pangan di Lani Jaya.
Masyarakat Indonesia mayoritas tidak tahu apa itu Papua dan menjadi orang Papua. Ratusan ribu arus pendatang yang difasilitasi oleh pemerintah menyisakan penduduk asli Papua semakin minoritas dan terdesak di tanah sendiri. Papua bukan DKI Jakarta, Jawa Barat atau Sumatera Barat; Papua adalah wilayah dengan konsentrasi konflik dan kuasa aparat paling tinggi, ditambah bias akibat diskriminasi struktural dan penindasan kebangsaan puluhan tahun lamanya di tanahnya sendiri. Dan kealpaan atas latar belakang yang penting ini adalah tragedi.
Media nasional bukannya tidak tahu, melainkan tidak dibiarkan memberitakan Papua apa adanya. Salah seorang wartawati senior di harian The Jakarta Post mengakui, bias NKRI (harga mati) di kalangan wartawan dan redaksi, adalah penghambat utama jurnalisme yang damai dan adil terhadap Papua. Tidak mudah mendapat persetujuan apalagi sokongan logistik untuk mengirim wartawan ke lokasi meliput berbagai peristiwa penting, apalagi menyangkut pelanggaran HAM. Pembatasan akses jurnalis asing, lembaga-lembaga HAM internasional, termasuk tak digubrisnya permintaan pelapor khusus PBB atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, adalah bukti banyaknya hal tidak beres terjadi di wilayah itu. Hanya dua pihak yang punya akses dan kebebasan absolut di sana: aparat keamanan dan korporasi internasional.
Oleh karena itu terbakarnya mushola di Karubaga, Tolikara, tidak berdimensi sama dengan penyegelan rumah-rumah Ibadah Kristen dan Ahmadiyah di P. Jawa. Jika Perda diskriminatif dan pelarangan beribadah memang ada di Karubaga, maka ia termasuk pelanggaran HAM yang sama dengan perda dan pelarangan sejenis di wilayah lain Indonesia. Namun demikian, “mayoritas Kristen” di Papua tidak memiliki kekuatan historis yang sama dengan “mayoritas Islam” di Indonesia. Ditambah fakta bahwa mayoritas (Kristen) pun tidak satu kepentingan terhadap identitas kepapuaan. Politik migrasi memegang peranan penting dalam kerumitan “menjadi orang Papua”.
Sehingga misteri tak lantas terpecahkan dengan babak baru. Dampak dan acaman sosial terhadap orang asli Papua tambah membayangi. Itulah sebabnya banyak orang Papua memilih diam ketika insiden Tolikara terjadi. Mereka tahu bagaimana hidup dalam tekanan, stigma dan konflik berkepanjangan. Mereka tahu apa dampak insiden ini pada situasi keamanan dan mobilisasi aparat. Dan mereka tahu persis apa makna bertambahnya jumlah aparat pada keselamatan hidup mereka.
Sekarang investigasi awal membuktikan mushola tidak dibakar, tetapi ikut terbakar. Kedudukan surat GIDI tertanggal 11 Juli masih berpolemik, baik dari segi keaslian, maupun maksudnya. Dan persis itulah titik persoalannya: kenapa surat itu bisa beredar? Surat itulah yang disebarkan dan digunakan kelompok-kelompok penyebar kebencian di Indonesia sebagai skenario drama Tolikara. Bila benar surat yang beredar itu adalah tembusan ke Kepolisian Resort Tolikara—karena pihak Polres terlingkar di no.3 tembusan surat—maka Polres Tolikara harus dihukum.
Narasi konflik yang dibangun lewat peredaran surat GIDI di Jakarta, dengan susah payah berusaha ditangkis baik oleh pihak Muslim, GIDI dan Forum-forum lintas agama di Papua. Perdamaian segera terjadi. Klarifikasi bemunculan dari warga Tolikara. Namun tidak demikian Jakarta. Media penyebar kebencian dan laba tetap tidak peduli.
Untuk apa dan siapa keributan ini semua? Yang pasti bukan untuk kebaikan di tanah Papua. Sekali lagi, agama digunakan sebagai kendaraan. Hanya dalam waktu 10 hari saja, Tolikara berhasil jadi komoditas politik yang semakin tak ada hubungannya dengan toleransi bergama di Papua dan orang-orang yang dikorbankan.
Pasca drama Tolikara, orang Papua akan dihadapkan pada kenyataan yang tak makin tambah mudah. Pelanggaran HAM berat masa lalu hendak dilupakan; industri pangan skala raksasa di Merauke makin menghimpit orang Mahuze; ruang berekspresi masih tidak diberi; aparat keamanan dan aktivitasnya tak ada yang sanggup mengontrol; penangkapan dan penembakan sewenang-wenang terus terjadi, sekalipun Jokowi sudah datang dan beri janji. Konflik horisontal bagai api yang disekap dalam sekam, lalu dikipas keluar, oleh pihak-pihak yang mendapat untung jika sesama Papua saling tuding dan pukul.
Dan, lagi-lagi, aparat keamanan keluar jadi pemenang, stigma Papua ‘beringas’, anti toleransi dan anti NKRI sudah kadung disebar dan masuk di pikiran. Pendukungnya masih lebih banyak ketimbang tuntutan keadilan atas empat nyawa remaja yang ditembak aparat di Paniai 8 Dember 2014. Separatisme, seperti biasa, dijadikan sasaran pukul tanpa harus punya sansak. Sehingga drama Tolikara bukanlah pengalihan isu, melainkan satu lagi isu untuk menghantam peluang kesatuan orang Papua.
Namun di saat bersamaan, harapan juga bertumbuhan jika sanggup dikelola baik. Perhatian orang-orang Indonesia yang sadar pada masalah-masalah di Papua meningkat pesat pasca Tolikara. Peluang membangun kepedulian dan solidaritas lebih membesar. Kerjasama semua pihak yang peduli pada masa depan Papua yang adil dan bermartabat sangat dibutuhkan.
Insiden Tolikara adalah ujian lanjutan bagi kesatuan Papua dan solidaritas kita. Saatnya menepi, kurangi kecepatan untuk menata kembali kekuatan bersama-sama.***