PERAYAAN Idul Fitri di Indonesia sangat khas. Berbeda dengan di Timur Tengah, di sini dikenal tradisi mudik. Asalnya dari kata udik, yang artinya kembali ke udik, dusun atau pelosok. Mudik atau pulang kampung adalah perjalanan warga yang tinggal di kota-kota besar, kembali ke kampung halaman. Itulah salah satu keistimewaan Islam Nusantara–ada saja yang menulis Islam NUsantara.
Bagi mereka yang tak suka Islam Nusantara, yang saat puasa lalu meledek silakan buka puasa dengan jengkol atau pete bukan dengan korma, saatnya menyadari bahwa Islam Nusantara berjaya di Indonesia. Silakan yang tak suka Islam Nusantara tak perlu halal bi halal dan menyantap ketupat. Malam takbiran dengan bedug bertalu-talu dan bunyi petasan adalah khas budaya Islam Nusantara. Di Timur Tengah tak ada petasan. Yang ada malah bom dan senjata betulan, seperti di Yaman, Palestina, Suriah dan Irak. Jelas, Islam Nusantara lebih damai.
Selama bulan puasa dan Idul Fitri, perputaran uang di Indonesia sangat tinggi, diperkirakan Rp 125 triliun. Sebuah ironi, justru di bulan puasa tingkat konsumsi masyarakat meningkat. Di media, terutama TV berseliweran iklan produk makanan, minuman, sarung, sampai sampo khusus muslimah. Dulu tak terbayang iklan sampo tak tampak rambut. Dan semua produk itu laku di pasar.
Mereka yang ingin berkumpul dengan keluarga di desa, untuk bermaaf-maafan, juga mengeluarkan biaya tak kecil. Selain biaya transportasi, juga ada uang yang ditinggalkan pemudik untuk keluarga di desa. Ini ironi satu lagi, orang berbuat dosa di kota-kota besar, minta maaf di kampung halaman. Dasar orang kota!
Saya ingin menunjukkan bahwa kekuatan masyarakat yang mudik tiap tahun sangat dahsyat.
Mari kita bandingkan dengan Anggaran Dana Desa (ADD) yang mulai tahun ini mengucur ke desa-desa berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menurut catatan, tahun ini baru cair Rp 20,8 triliun sesuai APBN-P 2015. Angka itu tentu masih kalah dibanding ‘sumbangan’ warga yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia. Tahun ini bahkan belum seluruh desa di Indonesia yang jumlahnya sekitar 72.000 mendapatkan ADD.
Masyarakat tak perlu UU Desa yang dibuat bertahun-tahun dengan biaya miliaran untuk menyalurkan dananya ke desa setahun sekali. Kelas menengah kita yang katanya ‘ngehek’—antara lain mereka yang mengeluh macet tapi tetap naik mobil pribadi, meledek Bekasi bak planet asing tapi mudik lewat Bekasi, dan umumnya apatis dalam politik—ternyata lebih bermanfaat dibanding anggota DPR. Para pemudik kita membawa uang ke desa tanpa harus minta ‘dana aspirasi’ dari negara. DPR sungguh memalukan! Untung pemerintah masih agak waras, sehingga ‘dana aspirasi’ tak (atau belum) jadi dikucurkan.
Menurut Kementerian Perhubungan, tahun ini ada sekitar 20 juta warga—artinya kurang 10 persen seluruh penduduk Indonesia—mudik dengan aneka moda transportasi, darat, laut dan udara. Untuk biaya transportasi sendiri terakumulasi sekitar Rp 15 triliun. Ada tetangga saya yang tiap mudik lebaran selalu ganti mobil. Orang tua bangga melihat anaknya sukses di kota. Setiap ditanya tetangga apa merek mobil anaknya, ia menjawab dengan bangga: ‘Rental!’
Selain transportasi, umumnya keluarga Indonesia membeli pakaian dan peralatan rumah tangga baru. Dan tentu saat mudik mereka membawa oleh-oleh untuk keluarga tercinta di kampung. Kadang dalam bentuk parsel yang harganya tidak murah. Tak lupa, jika di kampung ada pembangunan masjid atau sekolah, tanpa diminta pun orang yang sukses akan menyumbang. Uang pecahan Rp 5.000 sampai Rp 20.000 yang baru ditukar di kota, dibagikan kepada anak-anak di kampung semacam angpao.
Semua uang itu berputar dan menghidupi ekonomi Indonesia, meskipun sifatnya musiman. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi kita, tampaknya lebaran dan liburan menyumbang cukup signifikan. Oh ya, restoran, hotel dan tempat wisata di daerah juga ikut bergairah saat liburan lebaran. Bagi warga Jogja, di musim liburan pantang melintas Malioboro, karena pasti macet. Gua Pindul di Gunung Kidul yang biasanya tak begitu ramai, saat liburan pengunjungnya seperti cendol.
Ternyata untuk memakmurkan desa tak harus dari negara. Warga biasa yang mudik pakai kereta, bis, mobil pribadi pun bisa. Mudik adalah bentuk kongkret aktivitas masyarakat memakmurkan desa. Mereka tak butuh ‘dana aspirasi.’ Biarpun musiman, barangkali itulah cara masyarakat kita mengakali kesenjangan sosial, mem-bailout sesama di kampung manakala anggaran untuk desa entah kemana.
Toh, ‘jaring pengaman sosial’ yang musiman seperti itu saja kurang dimudahkan oleh negara. Perjalanan mudik dari Jakarta ke Brebes, kenyataannya lebih mempertaruhkan nyawa ketimbang mengirim kontingen jihad ke Suriah. Proyek abadi perbaikan jalan di Pantura yang hanya dilakukan menjelang lebaran hendaknya diakhiri. Mosok tiap menjelang lebaran selalu saja ada proyek perbaikan yang mengganggu perjalanan?
Selamat lebaran dan selamat menikmati arus balik.***