MENTERI Agama sudah bersikap, demikian pula KOMNAS HAM. Yang pertama menganggap pernikahan sejenis sulit diterima karena masyarakat kita relijius. Yang kedua lugas menyatakannya sebagai tindakan melawan konstitusi dan tidak beradab. Keduanya setuju UU Pekawinan No. 1/1974 adalah dasar perkawinan semua manusia Indonesia, yaitu antara laki-laki dan perempuan.
Respon ini bahkan melampaui tuntutan pergerakan LGBT di Indonesia, yang hingga detik ini tidak memasukkan legalisasi perkawinan sejenis ke dalam daftar tuntutannya. Bukan karena tidak mau, tetapi karena diakui eksistensinya sebagai warga negara saja tidak. Padahal suaranya diminta setiap kali pemilihan umum, pajaknya dipungut dalam kegiatan usaha dan kerjanya. Jangankan diakui, perwakilan ulama organisasi-organisasi Islam, ulama Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI yang duduk di MUI bahkan sudah lebih dulu memfatwa mati homoseksual.
Ada persoalan besar di negara ini, dan itu bukan soal pernikahan sejenis. Persoalan besar, yang sebenarnya paling remeh temeh, justru ada pada kekacauan sistem hukum dan tata negara yang bercampur aduk dengan keputusan-keputusan lembaga agama, ratifikasi berbagai konvensi HAM internasional, juga keputusan-keputusan yang bersifat politis.
Ada dua unsur persoalan yang menjadi penyebab: pertama, perjuangan untuk sebuah negara Republik demokratis, yang memisahkan agama dari negara, masih jauh dari tercapai; kedua, semangat reformasi, utamanya terwujud dalam UU HAM No 39/1999, belum menjadi acuan bagi perubahan kebijakan dan cara pandang masyarakat. Pernyataan Manager Nasution menunjukkan betapa rendahnya kualitas dan pemahaman Komisioner KOMNAS HAM sendiri, bahkan terhadap Ketentuan Umum dan Azas-Azas dasar UU yang membuatnya bisa menduduki jabatan itu.
Selain UU 39/1999 tak satupun institusi di atas menggubris Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. Sekalipun bukan penyakit mereka lalu mengkategorikannya sebagai perilaku menyimpang, yaitu bertentangan dengan norma dan hukum dalam masyarakat.
Norma adalah pranata sosial yang selalu berubah. Norma masyarakat Indonesia sepuluh atau tiga puluh tahun lalu berbeda dengan norma masyarakat saat ini. Selain itu, norma masyarakat di satu wilayah tertentu akan berbeda dengan masyarakat di lain tempat, apalagi Indonesia begitu majemuk. Prinsip-psrinsip universal HAM lah yang semestinya dijadikan acuan. Masih digunakannya landasan norma abstrak dan tidak pro perubahan dalam sistem hukum Indonesia adalah penghambat kehidupan berbangsa.
Hukum yang lebih jelas mengatur dan mengkriminalisasi homoseksual ada pada pasal 4 Ayat (1) huruf a dalam UU No. 44/2008 Tentang Pornografi. Ayat tersebut membahas perbuatan menyebarkan aktivitas pornografi yang memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan menyimpang. Yang dimaksud dengan “persenggamaan menyimpang” disana antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Sebelum yang lain-lain, pengertian ini padahal menunjukkan satu hal penting saja, bahwa semua aktivitas ini, bila tidak disebarluaskan, bukanlah kejahatan pornografi.
Manusia LGBT di negeri ini adalah bagian orang-orang yang tertindas, seperti halnya kaum buruh, petani, perempuan, orang-orang difabel, umat Syiah, umat Ahmadiyah, orang Papua, dan seterusnya. Perjuangan LGBT bukanlah gaya hidup merayakan hedonisme seperti yang dituduhkan Manager Nasution, melainkan pengakuan identitas dan perlindungan dari serangan represi, perlakuan diskriminasi dan tindakan kekerasan yang terus terjadi hingga saat ini.
Hedonisme tak bisa dirayakan orang-orang tertindas, karena kesenangannya terbatas dan dibatasi upah yang kecil, prasangka masyarakat, represi polisi, UU, dan penjara. Siapa yang bisa merayakannya? Hanya orang-orang terkaya dan pejabat di negeri ini saja, yang biasanya, walau salah seorang diantara mereka mungkin saja seorang Syiah atau LGBT, tidak mau tampak dan berani ambil resiko membela sesamanya.
Hukum adalah produk politik perimbangan kekuatan sosial, maka tidak cukup berpangku tangan berharap negara membela siapapun yang tertindas. Semua institusi dan produk hukum suatu negara bukan barang sakral, demikian pula UUD 1945. Perubahannya yang sudah kesekian ini, yang sayangnya bukan perubahan yang lebih baik, menujukkan kemungkinan itu. Semua bisa ditransformasi untuk melayani kemanusiaan, bergantung pada perimbangan kekuatan sosial yang sedang berjuang dan kekuasaan yang menghalangi.
Pro kontra perkawinan sejenis yang ramai di media sosial belakangan ini adalah berkah bagi perjuangan kita melawan penindasan. Berkah pertama, isu ini telah menjadi pembicaraan publik, setidaknya publik di kota-kota besar. Seperti kata Frank Zappa, pikiran itu seperti parasut, tidak bisa bekerja tanpa dibuka. Ruang di sosial media sudah membukanya. Orang-orang yang maju membicarakannya, membela atau menghujatnya dapat kita kenali.
Berkah kedua, betapa pembicaraan ini telah memberi pengetahuan baru bagi publik yang tidak mengetahui, dan atau tidak mendukung, pernikahan sejenis namun berpegang pada prinsip toleransi dalam kehidupan berdemokrasi. Seperti Voltaire mengatakannya ratusan tahun lalu: Saya boleh tidak setuju atas apa yang kau katakan, tetapi saya akan pertahankan sampai mati hakmu untuk bersuara. Inilah elemen penting untuk dapat menjadi manusia beradab. Dan publik semacam inilah yang menjadi sekutu penting dalam perjuangan untuk bebas berkeyakinan, bebas dari kemiskinan, bebas berekspresi dan bebas dari rasa takut.
Perdebatan tersebut juga telah memberi makna pada apa yang disebut solidaritas. Solidaritas dapat dilandasai tiga motivasi: pertama, aku mendukungmu karena aku iba padamu; kedua, aku mendukungmu karena aku tak mau kau direpresi, dan ketiga aku mendukungmu karena aku juga tertindas sepertimu.
Bicara soal solidaritas, adalah Mark Ashton, seorang aktivis gay dan sekretaris jenderal Liga Komunis Muda yang menjadi motor berdirinya Lesbian and Gays Support the Miners (LGSM) di London pada tahun 1984. LGSM adalah kelompok solidaritas yang dibentuk komunitas gay dan lesbian untuk menggalang dana membantu pemogokan buruh-buruh tambang sepanjang tahun 1984-1985. Momen ini telah difilmkan di dalam Pride, sebuah film apik yang menyentuh kemanusiaan kita.
Kedatangan LGSM untuk urun solidaritas ke salah satu basis pemogokan buruh tambang yang cukup konservatif di Dulais, Selatan Wales, Inggris memanen kontroversi dan penolakan, di kalangan komunitas LGBT dan juga buruh sendiri. Motivasi awal sangat sederhana: seperti halnya komunitas LGBT, para buruh pun sedang “di-bully” dan dipukuli polisi, dan mereka butuh uang. Sekalipun serikat buruh tambang waktu itu tidak pernah membantu para LGBT, Mark dengan santai mengatakan: “Terserahlah, pokoknya ini hal yang benar, dan mesti kita lakukan.”
Pemogokan yang berlangsung setahun itu adalah peristiwa aksi industrial paling besar dan berpengaruh dalam sejarah Inggris. Pemerintah neoliberal dibawah Margareth Tatcher memotong subsidi industri batubara, membuat banyak tambang batubara harus tutup dan ribuan pekerja kehilangan mata pencarian.
Pemogokan itu berakhir kalah. Para anggota LGSM disambut mesra sebagai keluarga besar di Dulais, demikian pula aktivis buruh Dulais di komunitas lesbian dan gay. Rally Pride 1985 di London dibanjiri ribuan anggota National Metal Union. Pemakaman Mark pada tahun 1987 dihadiri puluhan ribu anggota serikat buruh.
Kemanusiaan mereka menang.***