POLITIK penjarahan adalah inti dari politik oligarki sejak rejim Orde Baru hingga sekarang. Begitu menurut sebuah teori oligarki. Agar praktik penjarahan oligarki tersebut bisa berlangsung, dibutuhkan sebuah aliansi sosial. Dalam setiap aliansi tentu ada negosiasi dan kompromi di antara pihak yang berjaringan. Akan tetapi, tentu juga ada kompetisi dan konflik yang mewarnai hubungan kuasa. Oligarki berada dalam posisi kuat menguasai tatanan yang mengutamakan penumpukan modal sebagai cara utama bagi keberlangsungan dan berkelanjutannya hubungan-hubungan masyarakat. Oligarki menjalankan politik penjarahan dengan memobilisasi sumber daya kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki dan dapat mereka konsolidasikan. Semakin kecil tantangan terhadap oligarki, semakin dominan juga pengaruh mereka dalam menentukan segala aspek masyarakat. Tantangannya kemudian, bagaimana melakukan kontra mobilisasi terhadap mobilisasinya oligarki.
Dalam kasus Indonesia, menurut Jeffrey Winters, nyaris tidak ada tantangan terhadap oligarki. Termasuk dalam pemilu 2014 yang telah menghasilkan Jokowi sebagai presidennya. Mengikuti pendapat Winters, kita harus melihat Jokowi masih sebagai bagian dari dominasi oligarki di Indonesia, sekalipun dirinya pribadi tak terlacak punya jejak dari jaringan oligarki masa Orde Baru. Mengutip opini banyak orang di media sosial, tertipu lah mereka yang telah mendukung Jokowi di pilpres tahun lalu. Sekarang berbagai kebijakan yang menguntungkan kepentingan oligarki terus dihasilkan oleh pemerintah dan juga parlemen hasil pemilu 2014. Fakta yang sepertinya mengonfirmasi pendapat Winters soal tidak adanya tantangan terhadap oligarki di Indonesia hari ini.
Tidak adanya organisasi progresif yang secara meyakinkan dapat mewadahi dan memberikan kekuatan politik pada rakyat, disinyalir Winters menyebabkan ancaman bagi oligarki saat ini justru adalah persaingan di antara oligarki sendiri. Menariknya, dalam video kuliah umumnya tentang Oligarki, Winters mengejek kemalasan mobilisasi politik alternatif sebagai sebab tidak adanya pilihan di luar yang didukung oligarki itu. Sebuah kritik yang mungkin sudah sering kita dengar sebelumnya dan juga sudah sering menimbulkan rasa tidak nyaman di kalangan mereka yang merasa dirinya kritis atau progresif. Kritik pedas yang membawa kembali pertanyaan mengenai posisi dan juga apa saja yang telah kita lakukan menghadapi kenyataan saat ini .
Sebetulnya kita harus mengarahkan kritik pedas Winters tersebut lebih jauh dan mengembangkan uraian yang lebih operasional mengenai apa yang dimaksud sebagai mobilisasi. Bukan kah tidak kurang mobilisasi dalam bentuk unjuk rasa, pernyataan sikap, atau petisi online yang dilakukan berbagai kalangan masyarakat selama ini? Bahkan laman media sosial sarat dipenuhi oleh mobilisasi opini atas berbagai hal yang dirasakan di masyarakat. Formasi mobilisasi opini tersebut dapat berbentuk berbagai grup virtual yang menghimpun audiens yang jumlahnya hingga jutaan. Tentu saja jumlah yang tertera dapat mengecohkan kita, karena apa yang ada di dunia maya tidak serta merta sama dengan yang ada di dunia nyata. Secara lebih mendasar lagi, tidak semua mobilisasi berhubungan langsung dan tepat menjawab kontradiksi yang terjadi di masyarakat.
Pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya untuk mobilisasi ini yang belum diolah secara maksimal oleh rakyat dan kalangan progresif. Lebih banyak dilakukan secara kasus per kasus, terpecah-pecah, dan mayoritas tidak berkelanjutan. Model mobilisasi kekuatan politik yang sebetulnya mewarisi apa yang dilakukan oleh gerakan sosial yang terdisorganisasi akibat penghancuran oleh rezim Orde Baru. Kita semua tahu bahwa dibutuhkan organisasi yang dapat bertarung dengan organisasi-organisasi yang dibuat atau pun berjaringan dengan oligarki. Tetapi kita semua rasanya tidak tahu pada organisasi mana kita dapat mewadahkan diri dan terlibat dalam mobilisasi-mobilisasi yang mesti dilakukan untuk melindungi diri bahkan menekan balik oligarki yang berkuasa.
Pertanyaan yang kerap mengganggu adalah mengapa belasan tahun sejak lengsernya kekuasaan Suharto warisan ketidakterorganisiran itu terus berlanjut? Mengapa kita harus berulang kali melihat aktivis gerakan sosial terlibat dalam advokasi kasus rakyat tapi ketika hendak terlibat pertarungan politik lebih memilih mengasosiasikan dirinya dengan partai-partai politik oligarki? Sementara itu kita juga bingung mengapa ada begitu banyak serikat rakyat (buruh, tani, mahasiswa) serta lembaga swadaya masyarakat yang menyatakan dirinya melakukan pemberdayaan dan penguatan masyarakat tapi tidak dapat bersatu menyediakan wadah buat agenda politik rakyat biasa, bukan agendanya oligarki. Bahkan, sebetulnya, minim sekali yang kita ketahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Di luar para peneliti yang khusus mendalami, sepertinya masyarakat kebanyakan memiliki pengetahuan yang minim mengenai gerakan sosial yang memperjuangkan kepentingan mereka.
Mobilisasi adalah soal penting untuk dikuasai dalam pertarungan melawan kuasa oligarki. Seruan melakukan mobilisasi politik alternatif harus mulai dijawab dengan bertitik tolak dari basis material yang ada. Mobilisasi pengetahuan dan data di antara kalangan progresif dan juga serikat-serikat rakyat adalah langkah awal memetakan siapa kawan dan siapa yang memilih berjaringan dengan oligarki. Pengetahuan juga wajib dimobilisasikan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman dan jurang saling curiga di antara pelaku gerakan. Berbagai mobilisasi yang lebih signifikan akan dapat dikembangkan bila kita memiliki target terukur yang dituju: memenangkan pertarungan atas ruang politik yang nyata dan tentu saja dalam rangka menuju masyarakat yang lebih demokratis, adil, dan setara. Mobilisasi serius politik alternatif yang progresif harus segera dimulai, karena di depan mata bayang-bayang krisis ekonomi sudah mengintai kembali, ditandai, salah satunya, oleh krisis mata uang yang akan berlangsung cukup panjang.
Belajar dari pengalaman kita tahu bahwa krisis adalah ekspresi dari kontradisi sistem yang membuka peluang bagi perubahan. Kita perlu mobillisasi politik rakyat yang massif dan meluas, karena progresif tak bisa sendiri-sendiri dan hanya di dunia maya. ***