SEKITAR 300-an orang hadir pada deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), 22 Juli 1996. Sebuah partai kiri pertama dalam sejarah Indonesia Orde Baru, berdiri hadap-hadapan dengan salah satu rezim diktator paling represif di abad 20. Tak lama setelahnya, para pimpinan PRD ditangkap. Pesan partai pada waktu itu heroik: tetap berada di tengah-tengah rakyat; tetap percaya pada rakyat; tetap berjuang bersama rakyat.
Pramoedya Ananta Toer menyebut peristiwa lahirnya PRD itu sebagai satu yang terpenting di dalam hidupnya.
Kini Pram sudah wafat, PRD sudah mengalami serangkaian perpecahan. Alat-alat politik baru kiri muncul, baik dari hasil perpecahan maupun rekomposisi dan rekonsolidasi. Kematian Pram diketahui dan dikenang banyak orang, tetapi alat-alat politik itu tidak diketahui dan dikenal banyak orang.
Periode pasca reformasi telah mengubah perimbangan kekuatan politik kiri dengan sangat signifikan. Setidaknya pendapat dan posisi kelompok politik kiri tak lagi mewarnai media massa. Tekanan keras, layaknya panci presto menekan rebusan ayam, dalam melakukan respon atas semua peristiwa politik, tak lagi bisa dilakukan hari ini oleh kelompok kiri.
Walau jumlah kelompok politik kiri ini bertambah, kekuatannya belum bertambah; walau kemampuan kritiknya meningkat, kemauan otokritik belum meningkat. Itulah sebabnya kemauan menyatukan kekuatan bersama belum kunjung membaik. Bukan karena upayanya sedikit—walau semakin ke sini memang semakin sulit—tetapi karena refleksi dan kejujuran atas kegagalan upaya-upaya sebelumnya yang langka. Suatu manifestasi problem kebudayaan ketimbang problem politik di kalangan kiri.
Tetapi ini bukan bencana juga, karena “Tetap berada di tengah-tengah rakyat; tetap percaya pada rakyat; tetap berjuang bersama rakyat” akan terus menjadi kompas kita. Dan rakyat itu bukan kita-kita yang ada di organisasi-organisasi politik kiri saja, atau organisasi-organisasi bentukannya. Rakyat bagi perjuangan kita adalah semua elemen yang ditindas dan dieksploitasi, yang sebagian diantaranya sedang membuat perubahan mungkin terjadi. Mereka terlibat politik, protes, aksi, mogok, mencipta, menulis, mengorbankan kepentingan pribadi, membangun berbagai jenis komunitas, sambil tak sedikit juga yang menari, menyanyi, menghibur dan membuat kita tertawa.
Boleh kita berbesar hati, karena gerakan untuk perubahan itu tidak berhenti.
Di tengah kesinisan, gerakan buruh terus maju menuntut kenaikan upah pada tahun 2012 dan 2013, melakukan peringatan Mayday yang tetap heroik, meluaskan pengetahuan pekerja lainnya tentang masalah-masalah perburuhan. Di tengah kesunyian dari hiruk pikuk kota, warga kampung melawan perampasan sumber daya alam, meluaskan pengetahuan kita tentang persoalan agraria. Di tengah hiruk pikuk selebrasi elit-elit dan oligarki, gerakan melawan pelemahan KPK dan melawan hukuman mati tumbuh. Di tengah komodifikasi tubuh dan represi moral, kelompok-kelompok perempuan, bahkan mahasiswa, maju melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Di tengah stigma separatis, berbagai tuntutan perbesaran ruang demokrasi dan penyelesaian damai Papua tak berhenti disuarakan.
Bila rencana pembentukan partai-partai buruh terwujud, sebagai ekstraksi politik perjuangan buruh untuk kesejahteraan, maka gerakan buruh telah berhasil melahirkan instrumen politik kelas yang penting. Itulah salah satu perwujudan alat politik yang rakyat butuhkan, karena partai-partai politik selama ini hanya lahir dari satu-dua sumber oligarki politik yang sama. Bila kelompok-kelompok perlawanan untuk hak agraria juga sanggup melakukannya, maka bertambah lagi kekuatan politik rakyat.
Artinya, pertama, alat politik dibutuhkan karena perubahan politik tidak terjadi secara spontan. Kedua alat politik (kelas) itu tidak (bisa) tunggal, ia dapat (bahkan harus) lahir sebagai ekstraksi politik berbagai ekspresi kelas-kelas tertindas. Hal yang sama berlaku bagi alat politik atau partai politik kiri yang dalam beberapa tradisi dibentuk sebagai partai kader, partai/kelompok propaganda, dan partai massa.
Namun, partai itu sendiri bukanlah tujuan, ia adalah instrumen politik yang dibutuhkan untuk memperluas syarat-syarat politik, kebudayaan, sosial dan ekonomi bagi terkonsolidasinya kekuasaan rakyat. Ia hanya bisa dibangun secara efektif, dan mendapat dukungan secara luas, jika sanggup menjadi outlet ekspresi, tuntutan, harapan, dan partisipasi elemen-elemen rakyat yang bergerak untuk perubahan. Partai adalah fasilitator agar ‘kemenangan kelas pekerja (bukan intelektual partai/organisasi) haruslah merupakan karya mereka sendiri’.
Pilihan membangun alat politik kiri yang memfasilitasi keragaman semacam ini bukannya tanpa kontroversi. Hingga detik inipun debat pedas bagaimana “cara terbaik” membangun partai kiri dan atau partai revolusioner (yang homogen atau yang plural) terus berlangsung di kalangan kiri di berbagai negeri dan situasi. Siapa yang bisa mengklaim kebenaran, karena pada akhirnya membangun itu sendiri adalah kata kerja aktif, yang sederhana konsekuensinya: diuji lewat eksperimentasi, dinilai dari keberhasilannya mendapat dukungan publik menumbangkan kuasa kapital. Ujian ini penting, agar tak tertukar antara keinginan dan kenyataan yang menjadi sumber kefrustasian dan voluntarisme jangka panjang.
Jika memahami keragaman ini sebagai kekuatan, maka tak cukup memulai penyatuan bersyarat kesamaan pemahaman atas program. Apalagi seringkali berujung perdebatan lusinan program tanpa sanggup membuat kemajuan pergerakan. Kita mesti belajar membangun penyatuan bersyarat keragaman dan praksis: aksi-advokasi bersama, konferensi-konferensi, ajang-ajang diskusi dan pendidikan, pengorganisiran event-event kebudayaan, pengorganisasian bersama di lingkungan sekitar dan tempat kerja, dan seterusnya. Media sosial adalah salah satu tools yang bisa menjangkau dan melibatkan orang dan jaringan yang semakin beragam itu. Masih banyak cara lain, yang apapun itu semestinya bertujuan menyatukan, bukan memecah, daya perjuangan rakyat.
Bila kita memahami titik berangkat ini, maka makna slogan People’s Climate March: untuk mengubah semua hal kita perlu semua orang, dapat kita mengerti. Di tengah krisis peradaban kapitalisme dan daya dukung alam, bagaimana mungkin kita temukan harapan jika tidak dari hasil kerja perjuangan banyak orang, kalau tidak semua orang, untuk menyelamatkan satu-satunya bumi tempat kita hidup ini?***