JANUARI lalu, seperti biasa, Jakarta mengalami banjir. Begitu juga di dareah tempat tinggal saya di Jakarta Utara. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, banjir kali ini mengalami kenaikan ketinggian sekitar 10 cm. Masyarakat di sekitar rumah menanggapinya seperti angin lalu.
Betapa tidak. Banjir sudah lumrah di Jakarta.
Namun jika diperiksa lebih teliti sedikit, kenaikan ketinggian banjir di daerah tempat tinggal saya terjadi bersamaan dengan program perbaikan sungai, kali dan selokan oleh Pemprov DKI Jakarta yang tengah berjalan. Program ini dilaksanakan untuk mengatasi rutinitas Banjir Ibu Kota. Jalan-jalan pun dinaikan sekitar 30 cm di atas permukaan bumi demi mengurangi banjir.
Tidak beberapa lama setelah itu, saya mulai mendengar tentang Reklamasi Pantai Pluit. Menurut pemikiran saya yang sederhana, tentu ada hubungan antara mulai berjalannya proyek Reklamasi Pantai Pluit dengan kenaikan ketinggian banjir di daerah tempat tinggal saya. Reklamasi Pantai pluit akan berdampak pada makin meningkatnya volume banjir dan makin mengerikannya banjir yang melanda lingkungan sekitar saya ke depannya.
Selain itu, proyek ini juga berakibat pada rusaknya ekosistem serta habitat mangrove yang berada di sekitar Reklamasi itu. Dengan kata lain, air laut akan lebih gampang naik ke daratan di sekitar proyek Reklamasi itu yang berarti menghampiri pemukiman masyarakat. Setahu saya, Reklamasi Pantai Pluit adalah demikian; pengerukan dilakukan di areal laut yang berjarak beberapa meter dari pinggir pantai. Entah bagaimana caranya—hal-hal yang hanya dimengerti para sarjana tingkat tinggi—setelah pengerukan berjalan baik, maka akan dibuatlah beberapa pulau di lepas pantai itu. Dari kabar yang saya dengar, akan ada 17 pulau buatan yang akan hadir di sana. Di atas pulau-pulau tersebut nantinya akan dibangun hotel-hotel, apartemen-apartemen mewah, serta areal perbisnisan.
Kita tahu bahwa aliran air akan terus berusaha mencari tempat untuk mengalir—atau tergenang—bila dihalang-halangi. Bayangkan apa jadinya air sungai dan juga air laut yang tiba-tiba di tengah-tengahnya muncul belasan pulau buatan. Dalam Reklamasi Pantai Pluit, bukan tidak mungkin air akan mengalir ke daerah-daerah seperti Tanjung Priok, Muara Angke, Pinggiran Pluit, dan beberapa daerah lainnya. Dengan kata lain, hasil Proyek Reklamasi ini akan dihuni oleh mereka yang mampu dan menjadi fasilitas untuk memperkaya diri. Masyarakat kalangan bawah hanya akan melihat kemegahan dan gemerlap lampunya dari kejauhan. Secara langsung, masyarakat akan mendapat hadiah berupa kiriman air. Ketinggian banjir yang bertambah di daerah tempat tinggal saya, meskipun ada proyek-proyek perbaikan sungai, barangkali adalah petanda-petanda awalnya. Bisa jadi di tahun-tahun yang akan datang banjir di daerah tempat tinggal saya akan semakin tinggi, tinggi dan tinggi. Atau sepanjang tahun tempat tinggal saya akan menjadi sebuah empang raksasa lantas menjadi tempat rekreasi warga Jakarta yang kekurangan akses hiburan.
Kenyataan di atas tentu saja membuat saya sangat setuju ketika ada seoarang teman mengajak untuk mengikuti gerakan Jakarta Tolak Reklamasi Pantai Pluit. Tentu saja tidak akan ada seorang manusia pun yang mau tempat tinggalnya hilang dan menjelma kolam ikan. Saya dan teman-teman pun kerap membicarakan gerakan kami dengan masyarakat di sekitar wilayah tempat tinggal kami. Agar mereka semakin paham tentang masalah ini; bahwa hal ini bukanlah kepentingan pribadi orang perorangan tetapi menyangkut hajat hidup banyak orang.
Kami pun sudah pernah melakukan aksi-aksi damai, seperti membentangkan spanduk dan membagi-bagikan brosur dan stiker tentang Reklamasi Pantai Pluit di Car Free Day. Kami ingin menunjukkan pada masyarakat luas bahwa di Jakarta—selain permasalan-permasalan politik dan juga bersemangatnya pemerintah Jokowi dalam usaha merealisikan program-program kerjanya—hanya beberapa kilometer saja dari Istana Negara ada wilayah pemukiman yang terancam tenggelam. Sejauh ini, menurut pemantauan kami yang terbatas, memang tidak banyak media yang mengangkat permasalahan ini. Bahkan, sehari setelah aksi di Car Free Day itu, keluarlah peraturan dari Pemerintah DKI Jakarta tentang pelarangan aktivitas politik dan dagang di Car Free Day. Padahal kita tahu, di sana jugalah banyak terjadi aktivitas kampanye mendukung Jokowi dan Ahok ketika dicalonkan sebagai Cagub dan Cawagub DKI Jakarta. Beberapa minggu setelah aksi di Car Free Day, kami pun melakukan aksi di depan Kantor Walikota Jakarta Utara. Namun audiensi terbuka yang kami perjuangkan gagal.
Tentu saja perjuangan kami yang menggunakan simbol #MelawanAtauTenggelam tak berhenti sampai di situ. Kami terus berusaha berjuang agar wilayah tempat tinggal kami tidak berubah menjadi kolam ikan. Tempat tinggal yang layak adalah hak setiap manusia. Mengapa harus tempat tinggal kami yang menjadi korban demi dibangunnya tempat tinggal yang lebih mewah bagi orang yang lebih berpunya?***