KALAU ada yang perlu saya sesali dalam momen 21 Mei, itu karena saya tak bisa menikmati kerja keras, keberanian, keteguhan, dan kegembiraan pada hari-hari menjelang dan setelah presiden Soeharto jatuh. Momen-momen itu hanya bisa saya saksikan dari layar kaca mini di bilik sempit berukuran 1×2,5 meter di penjara Kalisosok, Surabaya, Jawa Timur.
Saya ingat, saya ikut bersemangat dalam meluapkan kegembiraan ketika salah satu diktator paling berdarah di abad ke-20 itu meletakkan jabatannya. Kegembiraan yang sama saya lihat pada rekan sesama tahanan politik (tapol) PRD Mohamad Sholeh, tapol NII, dan tapol asal Papua. Yang tidak begitu gembira adalah salah seorang kakek lumpuh, tapol PKI. Ia sudah 30 tahun lebih hidup di sana. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana hidup di luar penjara dengan kondisinya yang sangat lemah itu. Di dalam penjara, ia diurus dengan sangat telaten oleh seorang tahanan kriminal terpidana seumur hidup.
Tak lama berselang, satu persatu para tapol, termasuk saya, terpaksa dibebaskan oleh pemerintahan Habibie. Di luar penjara, orang banyak sedang merayakan kebebasan: bebas mendirikan partai, bebas bersuara, bebas mendirikan propinsi-propinsi dan kabupaten-kabupaten baru, bebas mengekspresikan identitasnya, serta pasar bebas ekonomi.
Namun, di tengah-tengah perayaan puspa ragam kebebasan itu, ada satu yang tak berubah: kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terus memburuk. Tapi saat itu, setelah 32 tahun hidup dalam kekangan dan ancaman penjara dan bunuh bagi mereka yang bersikap kritis, kebebasan adalah piala terindah. Bahwa ada soal lain yang tak kalah penting dan mendesak dikerjakan, bisa ditunda. Sungguh lumrah.
Tetapi, setelah 17 tahun berlalu dan kita masih saja merayakan kebebasan dan mengabaikan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terus memburuk, menurut saya, adalah kebangetan. Ini bukan lagi hal yang lumrah. Perayaan kebebasan politik dan ekspresi identitas di atas pondasi sosial ekonomi yang rapuh, hanya akan menyebabkan kita menggali liang kubur kebebasan yang telah kita perjuangkan dengan darah dan air mata itu. Telah banyak riset akademis dan contoh empiris dimana kita bisa belajar.
Maka itu, kini saatnya kita secara sungguh-sungguh mengawinkan antara kebebasan politik dan kesejahteraan ekonomi. Dalam 17 tahun ini, utang luar negeri kita terus membengkak tak terkira, kesenjangan ekonomi mencapai rekor terburuk dalam sejarah ekonomi Indonesia modern, dan dalam rantai kerja kapitalisme global posisi kita sangatlah marjinal. Kita tetap menjadi negara pinggiran dan kehidupan rakyat lebih terpinggirkan lagi. Dan karena selama 17 tahun setelah Soeharto jatuh kita menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal, maka kesejahteraan ekonomi dengan sendirinya tak bisa digapai melalui jalan ini.
Pengalaman kita ini memang bukan khas kita sendiri. Negara-negara lain yang sukses membebaskan dirinya dari tindasan kediktatoran militer dan Stalinisme, lalu mengambil jalan kebebasan politik beriringan dengan kapitalisme-neoliberal, juga mengalami hal serupa dengan kita. Derajatnya saja yang berbeda. Pelan tapi pasti kebebasan yang sudah direngkuh terkubur bersama dengan meningkatnya angka kemiskinan dan kesenjangan sosial. Militer dan polisi yang sebelumnya dicaci dan diisolasi secara politik karena menjadi bagian tak terpisahkan dari rezim kediktatoran, mendapat peluang atau malah diundang masuk kembali dalam gelanggang politik sipil. Aksi-aksi perlawanan massa yang dulunya merupakan roh perlawanan terhadap kediktatoran, kini dianggap sebagai gerombolan pengganggu keamanan dan ketertiban. Tak heran jika aksi-aksi kekerasan aparat berupa pukul, tangkap, dan penjarakan kini semakin sering terjadi. Jika di masa kediktatoran militer dan polisi menjadi abdinya para diktator itu, maka di era sekarang sempurnalah ia menjadi abdinya kapital. Presiden boleh datang dan pergi, tetapi watak militer dan polisi tetap tidak berubah.
Karena itu, harus ada jalan keluar dari kebuntuan politik masa reformasi ini. Jalan keluar itu adalah pertama, kita mesti menolak penerapan kebijakan neoliberal yang saat ini menjadi pemandu kebijakan nasional. Percuma kita mempromosikan kebebasan politik selama masih bersekutu dengan kapitalisme-neoliberal. Aksi-aksi perlawanan yang meluas saat ini, baik di kota-kota maupun di desa-desa, di pabrik-pabrik mapun di kampus-kampus, mesti dipayungi dan dikonsentrasikan pada perlawanan terhadap sistem ini. Jika tidak, maka apa yang kita lakukan hanya mengulang kegagalan dan berujung pada apatisme dan dekadensi moral perjuangan. Dan semakin kita apatis, semakin rakyat tertindas apatis dengan ketertindasannya, maka itulah sesungguhnya yang dibutuhkan oleh rezim ini.
Kedua, sembari menolak kebijakan neoliberal kita juga mesti mempromosikan sosialisme sebagai alternatif di luar sistem ini. Sosialisme yang dibangun dari bawah, yang lahir dari kesimpulan-kesimpulan perlawanan massa, yang berwatak demokratis, yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna menggantikan laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama manusia. Sosialisme model ini menolak peran negara yang mendikte partisipasi luas masyarakat atas nama kebaikan bersama. Atau sosialisme yang berselingkuh dengan pasar, yang menempatkan hajat hidup orang banyak di bawah logika akumulasi kapital.
Inilah tugas kita saat ini dan ke depan dalam menyambut dan merayakan momen 21 Mei. Inilah cara kita mengenang dan meneruskan perjuangan para sahabat kita yang telah menjadi martir pada 21 Mei 1998.***