Karya – Yang Luput dari Rachmat Gobel
Catatan Kawan – Jukstaposisi Sensor dan Demokrasi
Kritik – Sihir Picasso dan Semangat Zamannya
Kritik – Bumi Bergolak/La Terra Trema (1948): Sebuah Realisme dalam “Keseharian”
Kliping – Budaya itu Biasa
Satu Mei sudah lewat. Arak-arakan buruh yang menggunakan hak prerogatif tahunannya untuk menguasai jalanan Jakarta memanen cemooh kelas menengah di sosial media karena menciptakan timbunan kemacetan dan sampah di jalanan Jakarta. Cemooh ini mudah dipahami. Selepas 1 Mei, sebagaimana hari-hari biasa tanpa gegap gempita aksi buruh, arak-arakan kendaraan kelas menengah kembali bisa membuat kemacetannya sendiri. Tangan-tangan malas kelas menengah sudah bisa menciptakan timbunan sampahnya sendiri. Mereka tidak membutuhkan bantuan buruh untuk melakukan dua hal itu.
Hari Buruh tahun ini setidaknya punya dua hal menarik untuk dicatat. Pertama, rencana Gerakan Buruh Indonesia (GBI, gabungan dari tiga konfederasi buruh terbesar di Indonesia; KSPSI, KSBI, dan KSPI) untuk berubah menjadi partai buruh. Ini bukan hal baru. Selepas Reformasi, sejumlah partai yang mengatasnamakan buruh dirintis. Sebagian besar tumbang di tengah jalan. Hanya satu yang bertahan lebih dari satu Pemilu: Partai Buruh Nasional. Itu pun perolehan suaranya tidak pernah mencapai 1% dari keseluruhan suara dan tidak pernah mendapat satu kursi pun di DPR. Pada Pemilu 2014 kemarin partai tersebut gagal lolos verifikasi administratif KPU.
Ambisi menyatukan gerakan buruh—atau, yang sedikit berbeda namun masih punya irisan yang sangat dekat, gerakan Kiri—dan mengerucutkannya dalam bentuk partai politik makin santer belakangan ini. Masing-masing bagian dari gerakan sama memahami signifikansi dan urgensinya langkah itu. Berbagai kecurigaan dan kekhawatiran pun banyak berseliweran. Namun jarang muncul pertanyaan—apalagi jawaban—tentang sejarah ambisi itu sendiri. Apabila konsolidasi gerakan begitu penting dan urgen, kenapa setelah Reformasi memasuki masa puber sweet seventeen-nya hal itu tak kunjung terjadi? Kenapa upaya-upaya yang pernah dilakukan ke arah penyatuan gerakan tidak berbuah? Memang ada teori, ada beberapa kalangan yang berupaya menjelaskan hal itu di forum-forum terbatas, namun belum ada upaya untuk menjelaskan hal ini secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Kedua, fenomena Hari Buruh tahun ini yang lebih ringan, tak seruwet yang pertama, dan lebih relevan dengan pembicaraan kita: kebudayaan. Perayaan Hari Buruh 2014 lalu adalah perayaan pertama di Indonesia yang diakui Negara setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Pengakuan ini, tak pelak lagi, adalah sebuah kemenangan. Tuntutan untuk menjadikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional sudah disuarakan dalam aksi-aksi buruh pada awal Reformasi. Namun ini hanya kemenangan kecil. Gerakan buruh telah berhasil memberi nama pada tanggal 1 Mei. Gerakan buruh telah menjadikan Hari Buruh sebagai ruang bagi ingatan kolektif Indonesia tentang buruh.
Minggu lalu, dua tahun setelah Negara resmi menamai 1 Mei sebagai ruang ingatan buruh, kapitalisme segera menancapkan satu praktik sosial di dalamnya: belanja online. Berbagai lapak online ramai-ramai membuat diskon dengan tema May Day Madness. Ya, memang sinting. Hari Buruh dijukstaposisikan dengan budaya konsumeris. Tapi, di balik kesintingannya—dengan segala hormat dan tanpa mengurangi semangat kekirian laman ini—ini strategi jenius! Di luar kenyataan bahwa 1 Mei adalah tanggal muda, kapitalisme berusaha mengambil ruang ingatan yang, dalam sejarahnya, dimaknai dengan semangat melawan kapitalisme untuk diputarbalikkan dan digunakan sebagai bahan pemasaran. Strategi kultural ini pernah juga dipopulerkan oleh gerakan Situasionist International, misalnya lewat karya René Viénet. Viénet menyulih suara film silat produksi massal sehingga ceritanya berubah sama sekali menjadi kisah tentang pergerakan kaum komunis.
Lalu, apa yang diingat tentang buruh pada Hari Buruh?
Kita bisa melacaknya dari media—lagipula, media adalah salah satu pembentuk sekaligus arsip penyimpanan ingatan kolektif, bukan?—dan menemukan bahwa ingatan Indonesia tentang buruh bukanlah ingatan yang menyenangkan. Ingatan tentang buruh dalam media Indonesia adalah ingatan tentang—seperti telah disebut di muka—kemacetan, timbunan sampah, kerusuhan, serta tuntutan yang tidak masuk akal. Hari Buruh di Indonesia dewasa ini bukanlah hari untuk mengingat tentang sejarah panjang perjuangan buruh dalam, bukan hanya perbaikan kualitas hidupnya, namun juga produksi kebutuhan hidup sehari-hari umat manusia yang diletakkan di punggungnya. Hari Buruh di Indonesia justru jadi ajang untuk menunjuk segerombolan khalayak banal yang tak pandai bersyukur, yang berharap hidup mulia hanya dengan bekerja kasar. Kita bisa dengan mudah menemukan pernyataan-pernyataan demikian di kolom komentar berita online tentang aksi buruh.
Tentu saja, kita bisa menunjuk hidung media massa yang dikuasai kapitalis ngehe yang, dalam rangka melanggengkan hegemoninya, memulas wajah buruh dengan coreng-moreng jelaga. Namun, bisa jadi masalahnya lebih besar daripada itu. Bisa jadi masalahnya adalah bahwa perjuangan kelas tidak secara sekaligus dimaknai sebagai perjuangan kebudayaan. Bagaimana bisa begitu? Bukankah dalam tiap aksi buruh sering ada pembacaan puisi, aksi teatrikal, atau pertunjukan musik?
“Kebudayaan itu Biasa”, demikian tajuk esai Raymond Williams yang kami alih bahasakan untuk rubrik Kliping edisi ini. Kebudayaan itu lumrah, berserakan di mana-mana—kebudayaan melingkupi kita sedemikian rupa sampai kita tidak lagi menyadari keberadaannya sebagai kebudayaan. Kebudayaan adalah praktik dan ingatan kolektif yang melekat pada aktivitas keseharian manusia. Kebudayaan adalah ingatan tentang tiket perjalanan pulang ke kampung halaman, diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan, serta opor ayam yang melekat dalam hari Idul Fitri. Kebudayaan adalah berhenti di lampu merah dan lagu cinta yang disiulkan pekerja di sela interaksinya dengan mesin-mesin pabrik.
Kelumrahan dan keseharian kebudayaan ini pula yang berusaha ditangkap oleh esai-foto Handrianus K. Belutowe pada rubrik Karya edisi ini. Berto Tukan, dalam pengantar atas esai-foto tersebut, mengontekstualisasikan praktik melinting bako koli di Flores Timur dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, dengan pembatasan penjualan minuman beralkohol yang diberlakukan oleh Rachmat Gobel. Keduanya, melinting tembakau dan konsumsi alkohol, merupakan praktik kultural yang lumrah dan punya sejarah panjang bagi masyarakat Indonesia. Negara, dengan segenap argumen moralnya, jadi punya justifikasi untuk melakukan intervensi terhadap praktik kultural yang sudah ada sebelum Negara itu sendiri lahir. Problem yang muncul di sini bukanlah soal apakah praktik kultural tertentu baik atau buruk, melainkan dampak Negara dalam memaksakan kekuasaannya terhadap praktik sosial tertentu tanpa negosiasi yang setara.
Selain kapitalisme yang mencaplok tiap sendi kebudayaan untuk mengakumulasi modal, Negara juga punya andil dalam pembentukan lekuk-lekuk kebudayaan kita. Viriya Paramita, melalui “Jukstaposisi Sensor dan Demokrasi” yang termuat dalam rubrik Catatan Kawan, menunjukkan bagaimana Negara masih menggunakan teknik kekuasaan Orde Baru dalam berhadapan dengan kebudayaan pada era Reformasi ini: sensor.
Di tengah himpitan dua raksasa yang mencengkeram erat kebudayaan—ingatan—kita, maka lagu-lagu heroik, aksi teatrikal, serta puisi perjuangan di jalanan pun tampak seperti batu yang dilemparkan Daut ketika ia melawan Goliath. Perjuangan buruh dalam ingatan kolektif Indonesia menjadi seperti ingatan buram tentang bibir pemuda yang pernah dicecap oleh perempuan mungil, yang kini lena dalam pelukan lelaki bertampang dungu yang mesti ia sebut “pacar” lantaran tekanan sosial.
Namun harapan adalah api abadi bagi mantan—eh, pergerakan. Dalam rubrik Kritik, kami menyajikan dua tulisan yang menyingkapkan bara itu. Berto Tukan, dengan “Sihir Seni dan Semangat Zamannya”, mengulas buku Russel Martin, Perang Picasso: Hancurnya Sebuah Kota dan Lahirnya Sebuah Mahakarya. Buku tersebut merenik bagaimana perjalanan Guernica, salah satu karya agung Pablo Picasso tentang Perang Saudara Spanyol, melintasi galeri-galeri dunia sambil membuka percakapan tentang perang dan fasisme Franco di Spanyol pada masyarakat internasional. Akbar Yumni, dengan “Bumi Bergolak/La Terra Trema (1948): Sebuah Realisme dalam ‘Keseharian’”, mengulas La Terra Trema, sebuah karya sutradara neorealis Italia Luchino Visconti, yang membuka kemungkinan bagi sinema sebagai produk kebudayaan kaum buruh.
Kedua artikel tersebut adalah salah satu upaya untuk menyelami kemungkinan penggunaan medium-medium para raksasa dalam membentuk kebudayaan dan ingatan buruh tentang dirinya sendiri. Apabila strategi politik gerakan mulai memasuki arena elektoral, maka gerakan perlu pula merumuskan strategi kebudayaan dalam ranah industri kebudayaan itu sendiri.
Pada masa Orde Baru, Wiji Thukul berjuang dengan puisi di dalam aksi-aksi jalanan. Pada era ini, perjuangan mesti masuk dalam tajuk utama koran-koran mainstream, menelusup dalam kisah cinta chicklit, didendangkan dalam tayangan Dahsyat dan Inbox, dan film horor murahan bikinan klan Punjabi.