DALAM Pemilu Presiden 2014 lalu, salah satu alasan kenapa kita tidak memilih calon presiden Prabowo Subianto, karena ia terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ada kesadaran yang luas bahwa agar negara dan rakyat bisa bangkit dari keterpurukannya, maka dibutuhkan pemimpin yang tak terkait atau terbebani dengan berbagai persoalan berat di masa lalu. Itu sebabnya, Jokowi menjadi alternatif yang ideal. Ia tidak terlibat kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, ia juga bukan bagian dari gurita oligarki yang bersifat parasitik. Kepada Jokowi diletakkan harapan bahwa bersamanya kita akan bisa menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung dibereskan oleh presiden-presiden sebelumnya.
Dengan harapan dan antusiasme yang membuncah, rakyat kemudian memenangkan Jokowi sebagai presiden. Apa lacur, setelah berkuasa Jokowi justru menjadi aktor utama memudarnya harapan para pemilihnya tersebut. Jokowi seperti lupa dengan janji-janji masa kampanyenya dan segala jejak langkah prestasinya sebagai pemimpin lokal. Ia berjanji untuk memprioritaskan program Nawacita, tapi hingga kini kita tak tahu apa realisasi dari program itu. Di masa kampanye, Jokowi juga berkampanye untuk mencari Wiji Thukul yang hilang akibat perbuatan Prabowo, tapi hingga kini Jokowi tak melakukan sesuatu untuk menunjukkan keseriusannya dalam memenuhi janjinya ini. Di masa kampanye, ia berjanji untuk memberantas korupsi dan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terjadi malah sebaliknya, ia membiarkan pelemahan terhadap KPK.
Mungkin saja pemerintahannya sedang mengerjakan sesuatu untuk merealisasikan janji-janji masa kampanyenya itu, tapi kita tak tahu sejauh mana progressnya. Tak ada pernyataan dan penjelasan resmi kepada publik bahwa program itu sudah berjalan hingga di tahap tertentu, dengan segala hambatan dan capaian-capaiannya. Yang terjadi adalah para pendukungnya sibuk membelanya berdasarkan penafsiran mereka yang subjektif dan cenderung konspiratif terhadap kinerja pemerintahan ini.
Yang pasti terbaca adalah Jokowi seperti tidak tahu apa prioritas mendesak yang harus dilakukan pemerintahannya. Misalnya, dalam bidang ekonomi tidak tampak prioritas untuk membawa arah ekonomi nasional ke jalan yang lebih berdikari, sebagaimana slogan Trisakti yang diusung oleh partainya. Sebaliknya, ia malah bermuhibah ke luar negeri untuk menjual Indonesia sebagai surga bagi para investor asing. Dalam bidang HAM, ia malah tidak bertindak apa-apa terhadap para serdadu TNI yang menembak mati para remaja di Paniai, Papua. Ketidakpedulian Jokowi pada pelanggaran HAM ini makin diperburuk dengan kebijakannya untuk mempercepat eksekusi mati para terpidana narkoba.
Prioritasnya untuk mempercepat eksekusi para terpidana mati narkoba ini sungguh di luar nalar. Entah apa yang sedang dikejar Jokowi dengan kebijakan ini, sebab sama sekali tidak memberi dampak bagi percepatan realisasi program Nawacitanya. Percepatan eksekusi ini bahkan tidak membuat pemerintahannya semakin dihormati dan dirinya sebagai presiden makin disegani sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Bahkan sebaliknya, melalui kebijakan ini, Jokowi bukan saja mengabaikan korupnya sistem pengadilan di Indonesia, atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) via UU No.12/2005 yang telah diratifikasi Indonesia, tetapi juga menutup peluang bagi perlindungan hak hidup ratusan warga negara Indonesia di luar negeri yang tengah menunggu eksekusi mati. Sebagai sebuah negara, melalui kebijakan eksekusi ini Indonesia potensial untuk dikucilkan dari pergaulan negara-negara beradab di tingkat internasional. Dan sebagai presiden, ia menunjukkan bahwa dirinya bukan pemimpin yang visioner melainkan sekadar manajer yang ingin tampil beda dengan manajer sebelumnya.
Jika Prabowo Subianto masyhur dengan julukan pelaku Penghilangan Paksa para aktivis pada 1998, maka Jokowi kini tengah memahat keras-keras namanya sebagai pelaku Pencabut Nyawa manusia. Pada Prabowo, cap itu membuatnya gagal menjadi presiden pada pemilu presiden 2014 lalu. Pada Jokowi, stempel ini menjadi paspor buat dirinya untuk dikenang sebagai presiden yang tangannya paling berdarah setelah Soeharto. Dan jika ia bisa bertahan sampai lima tahun ke depan, maka tagar untuk kampanye 2019 sudah jelas #janganpilihpresidenpencabutnyawa.***