KAWAN SAYA, KOMEDIAN stand up ternama Soleh Solihun, suatu hari pernah melempar lawakan mengenai feminisme. Lemparan tersebut kurang-lebih berbunyi, “Feminis itu perempuan yang mengalami bad sex life.” Lawakan tersebut disambut dengan ombak tawa para penonton. Saya yang menonton via Youtube pun sedikit tertawa. Tawa yang miris. Bukan karena ini lawakan yang lucu. Tapi, ah, sudahlah.
Meskipun menarik, tidak ada gunanya membahas apakah benar kehidupan seks berpengaruh pada kesadaran kritis seorang perempuan mengenai eksistensi dirinya. Saya ingat betul bahwa kesadaran kritis saya sebagai perempuan muncul jauh sebelum saya mengenal aktivitas seksual. Kelas dua SD, kurang-lebih. Seorang teman laki-laki mengejek saya pada Hari Kartini, katanya, walaupun ada perayaan Hari Kartini, perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki karena pipisnya duduk, tidak berdiri seperti anak laki-laki. Konyol sekali, bukan? Tapi apa daya, namanya juga bocah SD. Apa pun yang bisa dijadikan bahan lelucon, kun faya kun jadilah lelucon. Saat itu, meskipun masih bocah SD ingusan, saya ingat betul apa yang saya rasakan: Tidak adil… sejak kapan cara pipis menjadi ukuran jenis manusia mana yang paling hebat?
Di bangku SMP, kesadaran kritis tersebut menghilang. Entah kenapa. Mungkin karena sedang puber. Mungkin juga karena pengaruh apa yang saya baca di majalah dan apa yang saya lihat di TV. Sebagai bocah remaja, saya bermimpi jadi ibu rumah tangga yang mengabdi untuk anak dan suami. Sungguh mulia, bukan? Entah bagaimana, bocah SMP ini merasa hidup seorang perempuan ya memang seperti itu, tidak ada pilihan lain. Sungguh saya sibuk menyusun strategi untuk bisa memiliki suami kaya-raya pada usia duapuluhan nanti. Saking sibuknya bermimpi jadi Cinderella, saya sampai lupa bahwa saat itu keadaan politik di Indonesia sedang panas-panasnya. Tiba-tiba terjadilah krisis moneter, kerusuhan 1998, dan lengsernya Presiden Voldemort Soeharto.
Bagaimana dengan masa SMA? Kejam. Sungguh kejam. Pernah nonton chick flick Mean Girls yang dibintangi oleh Lindsay Lohan? Nah, seperti itulah masa SMA saya. Setelah gagal menjadi cewek populer di sekolah, saya memutuskan untuk menjadi nerd saja dan sepertinya cukup berhasil. Tapi ada satu hal yang—saya ingat betul momennya—lagi-lagi mengusik kesadaran kritis saya dan membuat saya sadar bahwa menjadi feminis itu bukan pilihan tapi konsekuensi hidup. Saat itu seorang teman perempuan yang sangat brilian mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Dia memiliki semua hal yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin: tegas, pekerja keras, cerdas, bijaksana, dan gemar menabung. Saya sebagai seseorang yang sangat mengenalnya tentu mendukungnya habis-habisan, bahkan berjanji akan menjadi manajer kampanye. Teman saya pun mengikuti proses seleksi awal dengan gemilang. Beberapa guru membocorkan bahwa teman saya memiliki nilai proses seleksi yang nyaris sempurna. Tapi sungguh malang nasib perempuan yang ingin menjadi pemimpin, teman saya bahkan tidak masuk tiga besar calon ketua OSIS. Ketiga calon yang terpilih adalah laki-laki. Ketika saya bertanya perihal ketidaklolosan teman saya pada seorang guru yang juga panitia seleksi, Pak Guru dengan santai berkata, “Memang dia bagus, tapi sebagai perempuan, apalagi agamanya Kresten, tidak pantas menjadi pemimpin.” Betapa perih mendengarnya. Saat itu saya tahu ada yang salah dengan logika berpikir seperti ini. Namun, sebagai bocah SMA yang berhadapan dengan seorang guru, saya tidak punya senjata apa pun untuk membantahnya. Saya dan teman saya menelan kenyataan ini dengan pahit—sepahit brotowali.
Barulah ketika saya duduk di bangku kuliah, saya mempelajari ideologi feminisme melalui bacaan. Betty Friedan dan Simone de Beauvoir menjadi jagoan saya. Rasa pahit dan gundah yang pernah saya alami menjadi sangat jelas. Pelan-pelan saya paham betul bagaimana tubuh dan identitas saya sebagai perempuan menjadi bagian dari tiang-tiang konstruksi sosial. Kesadaran kritis itu sudah lama ada, bukan karena saya mengalami bad sex life atau pengalaman buruk dengan laki-laki. Di bangku kuliah, saya baru paham bahwa kesadaran kritis ini bernama feminisme.
Tapi feminisme adalah ideologi yang cukup kusut. Poros-poros dalam feminisme memiliki arus yang kuat dan kadang saling melawan satu sama lain. Misalnya, sudah menjadi masalah klasik bahwa ideologi ini sangat bergantung pada privilese kelas menengah. Di Amerika Serikat sendiri pun kelompok feminis pernah terjebak dalam dilema kulit putih kelas menengah. Kelompok feminis gelombang pertama ini baru mulai sadar ada yang “kurang” dalam gerakan yang mereka lakukan ketika Sojourner Truth, seorang budak perempuan kulit hitam, menyampaikan pidato “Ain’t I a Woman” dalam konferensi perempuan di Amerika Serikat di Akron, Ohio 1851. Dalam “Ain’t I a Woman”, Truth menuntut pergerakan feminisme di Amerika Serikat untuk menjadi lebih inklusif sehingga mampu menembus batas kelas dan ras.
Pidato Truth sudah dikenal sejak 1851, tapi bukan berarti saat ini hegemoni kelas menengah dan kulit putih tidak lagi berpengaruh dalam gerakan feminisme di dunia. Pernah suatu ketika saya dibuat risih oleh seseorang yang mengaku feminis asal Ekuador. Dengan santai, dia berkata bahwa semua perempuan Muslim itu korban dari patriarki karena jilbab yang harus mereka kenakan. Jelas perempuan ini hanya paham satu jenis feminisme (yang mungkin juga sudah usang) dan sama sekali tidak pernah berkenalan dengan feminisme poskolonial yang sangat kritis terhadap persepsi Barat terhadap negara-negara yang pernah terjajah. Sama risihnya ketika saya melihat beberapa teman feminis di Indonesia juga kadang terjebak dalam bias yang sama, mungkin karena referensi utama yang kita baca sampai saat ini masih berasal dari feminisme yang dikembangkan oleh perempuan kulit putih kelas menengah ke atas. Bukan berarti feminisme yang seperti ini buruk, tetapi sudah saatnya gerakan feminisme di Indonesia melakukan refleksi kritis dengan menggunakan referensi yang lebih inklusif, misalnya dengan mengedepankan feminisme interseksionalitas yang tidak pernah hanya mengutamakan satu axis of power tertentu. Mungkin, hanya mungkin lho, ketika ini dilakukan, feminisme menjadi suatu hal yang tidak lagi menakutkan bagi orang awam, dan setidaknya Soleh Solihun bisa punya bahan lawakan lain mengenai para feminis.
Ketika seorang teman meminta saya untuk menyusun sebuah mixtape dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional, saya paham betul bahwa memenuhi permintaan itu adalah suatu tantangan. Pertama, saya agak skeptis dengan perayaan-perayaan tahunan semacam ini. Kadang perayaan tahunan sekadar menjadi alat “to pacify”—mengalihkan perhatian kita dari hal-hal lain yang sebenarnya lebih penting sehingga kita menjadi lebih “kalem”. Kedua, mengingat kusutnya ideologi feminisme, akan sangat sulit merepresentasikan semua arus yang ada.
Tapi kemudian saya sadar, untuk apa saya berusaha mewakilkan semua arus yang ada? Saya hanya perlu mewakilkan arus yang saya percaya dan, yang terpenting, mengangkat hal-hal yang selalu dilupakan oleh kaum anti-feminis, misalnya semangat feminis laki-laki. Dengan pertimbangan ini, saya sadar betul banyak anthem feminis yang tidak diikutsertakan dalam mixtape ini (mohon maaf bagi para penggemar Riot Grrrl). Kenapa? Saya merasa beberapa anthem hanya mempersempit perspektif feminisme yang sesungguhnya bisa sangat lebar dan inklusif. Bahkan, ada beberapa lagu yang mungkin tidak terbayang oleh penciptanya bisa diikutsertakan dalam mixtape ini. Toh lirik, tema, dan emosi yang diangkat dalam lagu tersebut bisa mewakilkan permasalahan-permasalahan utama yang banyak diperjuangkan oleh para feminis.
“Song of the Women”, pembuka mixtape ini, dibacakan dari sebuah esai yang populer dalam gerakan feminisme gelombang pertama. Saat itu, gerakan feminisme berfokus pada persoalan legal, seperti hak untuk mengikuti pemilu dan memiliki tanah dan menerima warisan. “Respect” oleh Aretha Franklin bisa dibilang salah satu dari sedikit anthem feminis yang tetap saya ikutsertakan—dan saya rasa mengawali mixtape ini dengan musik soul akan memberi warna tersendiri.
Beberapa lagu dalam mixtape ini dipilih karena tema yang diangkat oleh penulis liriknya dan saya rasa tema-tema yang menyentuh ruang domestik sangat penting dan tidak boleh dilupakan. Kate Bush dengan “Babooshka” berbicara tentang konflik rumah tangga—seorang istri menguji kesetiaan suaminya dengan menulis surat cinta palsu. Penyanyi-pencipta lagu Hindi Zahra, lewat “Oursoul”, bisa mewakili pengalaman perempuan dari belahan dunia selain Barat. Yang menjadikan lagunya menarik adalah bahwa lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Berber asal Moroko dan terjemahan baris liriknya antara lain, “They told me stay at home! and your husband will come to you…,” sebuah gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana perempuan hanya diberi pilihan dalam ruang domestik. Sewarna dengan Hindi Zahra, Naomi Wachira, penyanyi-pencipta lagu asal Kenya, juga saya pilih untuk mewakili suara perempuan Afrika.
Isu anti-pemerkosaan dan anti-pelecehan seksual selalu menjadi isu utama dalam diskursus feminisme. Dalam mixtape ini, Fiona Apple bertemu dengan Stone Temple Pilots dan Nirvana; mereka mengupas dengan cara dan musikalitasnya masing-masing bagaimana perkosaan dan pelecehan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang berbahaya. Yang menarik untuk dicatat adalah bagaimana Kurt Cobain (Nirvana) dan Scott Weiland (Stone Temple Pilots) mendekati isu perkosaan dalam “Polly” dan “Sex Type Thing”: dua lagu gubahan mereka yang saya sertakan di sini menggunakan sudut pandang pelaku. Walhasil, “Polly” berhasil menggambarkan pemerkosa sebagai lelaki dungu. Sementara, “Sex Type Thing” sukses menyinyiri sekelompok lelaki hornian yang kerap menunjukkan kemachoan dalam pelbagai kasus pemerkosaan-dalam-kencan. Ya, Scott Weiland memang nyinyir karena toh lelaki-lelaki dungu ini, dalam suatu pengertian, juga korban—setidaknya korban konstruksi sosial ini: lelaki itu macho, perempuan itu feminin.
Pun, atas saran pengampu rubrik mixtape LKIP, saya juga menyertakan Fugazi dan Mc Lars. Sementara Fugazi dalam “Suggestion” menyerang ragam pelecehan seksual yang paling kerap dianggap tak bermasalah, catcalling, dan pembiaran yang kerap kita lakukan, Mc Lars dalam “Male Feminist” dengan genial menghujat lirik-lirik rap yang menurutnya kebanyakan berbau misoginis. Penyertaan Nirvana, Fugazi, Stone Temple Pilots, dan Mc Lars—terlepas mereka memang mengaku feminis laki-laki atau melek isu feminisme—terus-terang penting dalam membentuk aliansi yang kuat dalam pergerakan feminisme di mana pun.
Pengalaman masing-masing perempuan itu unik, termasuk pengalaman mereka yang “memilih” untuk menjadi perempuan. Baru-baru ini vokalis band punk rock Against Me! Berani melela (come out) sebagai seorang transgender. Dia langsung menjadi salah satu jagoan saya, karena saya mengerti tidak mudah melepaskan diri dari citra laki-laki macho, punk, “anak band”, untuk kemudian menjadi seorang perempuan berambut panjang dan ber-makeup. Ini bukti bahwa kaum transgender tak melulu datang dari salon, dan aliansi kelompok LGBT dan feminisme, menurut hemat saya, adalah progresi terkini yang penting untuk terus didukung.
Jujur saja, ada beberapa lagu yang saya pilih karena saya sedang ingin bermain-main. Salah satu yang saya lemparkan pada pendengar sekalian adalah “Venus as a Boy” oleh Bjork. Ini sebenarnya lagu cinta-cintaan, tetapi frase “Venus as a boy” menjadi menarik dan menggelitik, apalagi jika dikaji dengan feminisme posmodern yang gemar mengutak-atik bahasa. Ada juga “Dear Daily Mail” oleh pahlawan saya, Amanda Palmer. Palmer menulis lagu ini secara impromptu sebagai respons terhadap tabloid Inggris Daily Mail yang meliput “nipple slip” Amanda Palmer saat sedang manggung di Glastonbury. Perhatikan liriknya, salah satu kritik kocak namun terarah tentang bagaimana media menulis dan menampilkan wanita!
“I was doing a number of things on that stage up to and including singing songs (like you do…),
But you chose to ignore that and instead you published a feature review of my boob.”
Dan ini dia bagian favorit saya!
“I’m tired of these baby bumps, vadge flashes, muffintops,
Where are the newsworthy COCKS?”
Tentunya, saya tidak mungkin melupakan lagu-lagu asal negeri sendiri. Ada tiga lagu lokal yang sangat saya banggakan. Saya selalu merinding setiap mendengar “Berapa Harganya?” oleh Adrian Adioetomo; sindikat perdagangan manusia (yang kebanyakan korbannya adalah perempuan) bukanlah suatu hal yang bisa disepelekan. Ada juga Oppie Andaresta dengan “Ingat-Ingat Pesan Mama” yang saya rasa berhasil menggambarkan kompleksitas hubungan ibu dan anak perempuannya dalam latar musik 90-an yang sangat kental. Terakhir, Inul Daratista wajib disertakan dalam mixtape ini; seperti kata akademisi kajian budaya Indonesia Ariel Heryanto, tubuh Inul menjadi arena pertandingan antara kelompok fundamentalis dengan kelompok pro-demokrasi dan pembebasan tubuh.
Perempuan itu kompleks dan feminisme itu kusut. Tapi kekusutan ini juga berarti bahwa ideologi feminis adalah ideologi yang produktif dan terus berkembang. Entah gelombang feminsime seperti apa yang akan muncul dalam satu dekade ke depan dan seperti apa musik-musik yang terinspirasi olehnya. Bahwasanya mixtape ini berupaya merayakan Hari Perempuan Internasional yang telanjur lewat beberapa minggu lalu, itu cuma tetek-bengek masalah ritual. Lagu dan isu di dalamnya toh bisa didengarkan kapan saja!
*Teraya Paramehta adalah pengajar di Program Studi Inggris, FIB UI dan vokalis band Wonderbra