SEJARAH gerakan Kiri, di seluruh dunia, adalah sejarah perlawanan, kemenangan, ditumpas, kalah, dan bangkit kembali. Di Indonesia, sejarah ini mengikuti denyut napas proses ‘menjadi Indonesia.’ Berlawan sejak zaman kolonial, lalu ditumpas, kemudian bergerak di bawah tanah hingga zaman Jepang, bangkit dan mengalami kemenangan setelah kemerdekaan, lalu dibantai hingga ke akar-akarnya oleh rezim orde baru, untuk kemudian bangkit kembali di periode ‘90an.
Lintasan sejarah seperti ini telah melahirkan kekayaan teoritik dan strategi taktik yang luar biasa jenius dan beragam di masing-masing periodenya. Kekayaan dan terutama keragaman itu membuat gerakan Kiri tidak tunggal, mereka tersebar dalam berbagai bentuk kubu atau faksionalisasi gerakan yang membuatnya saling belajar dan kenal-mengenal satu dengan lainnya. Tetapi, pada saat yang bersamaan perkubuan dan faksionalisasi ini melahirkan pertengkaran tiada akhir, dimana masing-masing memberikan justifikasi teoritik dan pengalaman praktis untuk mengklaim bahwa kelompoknya lah yang paling benar. Sektarianisme bermula dari sini: kehendak untuk mencari, merumuskan dan mencapai Kiri yang murni. Selain dari kami telah menyimpang, telah menjadi kolaborator kelas, hanya bisa berteori tapi miskin pengalaman praktik, dsb, dsb. Dalam rekaman sejarah, perkubuan ini bisa berakhir dengan saling pukul dan bunuh yang mendirikan bulu roma di antara sesama Kiri.
Apakah gerakan Kiri sekarang bisa menghindari ‘kutukan sejarah’ ini? Bagaimana seharusnya memaknai perbedaan pendekatan teoritik dan stratak politik di antara kita? Bisakah kita mengatakan, dengan penuh kesadaran, bahwa ‘benar mereka berbeda dengan kita tapi memiliki tujuan yang sama sehingga solidaritas harus melampaui sekat-sekat perbedaan itu.’ Bisakah kita membangun sebuah Persatuan Kiri yang organik, dalam arti, kita secara sadar menerima kepelbagaian itu, menghormatinya, tanpa harus memaksakan pandangan kita, yang kita anggap benar, sebagai satu-satunya yang paling benar kepada yang lain?
Di sini menarik untuk menyimak salah satu pengalaman sejarah Kiri dalam memaknai perbedaan-perbedaan ini, bahkan terhadap mereka yang bukan kiri. Alkisah pada masa-masa awal pemerintahan Bolshevik 1917, dibentuk sebuah organisasi yang disebut First All-Union Congress of Proletarian Cultural Organization pada 1918. Organisasi yang diinisiasi oleh filsuf Alexander Bogdanov ini kemudian meluncurkan sebuah gerakan yang disebut Protekult. Gerakan ini menganggap bahwa sosialisme tidak mungkin bisa dibangun dan berkembang dengan nilai-nilai non-sosialis, bahwa proletariat hanya akan bisa mencapai kemenangan yang sejati jika dilambari dengan budaya proletariat (proletarian culture) pula. Untuk itu gerakan ini meluncurkan program pembangunan budaya proletariat di seluruh lapangan kehidupan: ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dan sosial-budaya. ‘Tanpa ilmu pengetahuan maka sosialisme menjadi mustahil, tapi juga tidak mungkin dengan ilmu pengetahuan borjuis.’
Dalam waktu singkat Protekult ini memperoleh sambutan luas dalam masyarakat baru tersebut. Dalam kondisi yang belum mapan dan tengah menghadapi gempuran militer musuh-musuh dari luar, tawaran akan sesuatu yang murni, yang terbebas dari pengaruh asing, memang menggiurkan, khususnya bagi para pemuda yang baru pulang dari garis depan medan pertempuran. Lenin juga pada mulanya memberikan restu dan dukungannya karena ia setuju akan perlunya dibangun kultur proletariat. Tetapi ketika Protekult mulai melancarkan pembersihan pada kelompok dan individu-individu yang dianggap borjuis dan terus mengamalkan iman borjuisnya, maka ia mulai was-was dan pada akhirnya melawan dengan gigih propaganda dan pengaruh dari Protekult hingga pada akhirnya gerakan ini kalah. Bagi Lenin, budaya proletariat itu memang penting tetapi ia tidak bisa dipaksakan keberadaannya. Budaya proletariat itu harus tumbuh dan berkembang secara organik. Karena proletariat lahir dari sistem sosial borjuasi maka Lenin tidak percaya bahwa budaya proletariat itu bisa dibangun di luar pengaruh budaya borjuasi. Dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya, Lenin lantas memberikan penegasan bahwa ada bedanya antara pengetahuan dan ideologi, dan dalam kaitan itu ia percaya bahwa ada sesuatu dalam ilmu pengetahuan yang melampaui pandangan dunianya borjuasi.
Sepenggal potongan sejarah ini mengajarkan pada kita bahwa sektarianisme dalam gerakan adalah penyakit yang sungguh berbahaya. Penyakit yang mesti kita lawan sekuat-kuatnya sampai ia menderita kekalahan. Sekali lagi, kita jangan takut dengan perbedaan teori dan stratak politik, hadapi itu sebagai kekayaan, momen untuk saling kenal-mengenal. Tugas paling mendesak gerakan Kiri sekarang justru adalah bagaimana membangun kesatuan dalam keragaman itu. Inilah tugas sejarah Kiri saat ini, jika ingin tetap relevan.***