GELOMBANG skandal elit yang menggerogoti kepercayaan publik telah silih berganti mengguncang kekuasaan Jokowi, di saat belum genap enam bulan ia menjabat sebagai Presiden. Mulai dari kontroversi pemilihan Kapolri yang para kandidatnya terindikasi punya ‘rekening gendut;, disusul dengan kisruh terkait kasus hukum yang didakwakan pada beberapa pimpinan KPK, pembakaran kapal-kapal nelayan yang dianggap mencuri di perairan dalam negeri, hingga perihal eksekusi hukuman mati buat para terpidana kasus narkoba. Singkatnya, bila membaca berita politik hari-hari ini, kita mendapati betapa vitalnya soal-soal kriminal menentukan keberlangsungan negara dan masyarakat.
Jokowi, yang di masa pertarungan pemilu presiden populer dengan citra sebagai orang baik, sederhana, dan secara sejarah bukan berasal dari kumpulan para penjahat politik warisan orde baru, tak punya kemewahan untuk menghindar dari belantara pertarungan kekuasaan yang ada. Mungkin situasi ini berkebalikan dengan perkiraan naif dari kebanyakan orang yang telah mendukungnya di masa pilpres lalu. Bisa jadi, di sisi lain membangkitkan harapan dan peluang bermanuver bagi lawan-lawan politik Jokowi. Sementara itu bagi rakyat kebanyakan, mungkin sudah tidak mau terlalu ambil pusing karena terbiasa bingung dengan kegaduhan politik elit yang terus berkecamuk seputaran isu korupsi selama belasan tahun era reformasi ini.
Seolah sudah jadi hal yang dianggap mafhum oleh kita semua bahwa politik era reformasi dipenuhi oleh skandal elit yang bertarung untuk memenangkan arena hukum demi akses atas kekuasaan negara. Sejak hari pertama paska rejim otoriter Suharto, yang menjadi pusaran konflik adalah soal elit mana yang dapat ditangkap dan dilemahkan kekuasaannya karena terbukti dan diproses secara hukum akibat kejahatannya – terutama kejahatan korupsi. Singkatnya, panggung utama politik selama era Reformasi seperti merupakan pertarungan untuk dan antara mereka yang dapat beradaptasi dengan praktik-praktik kriminal.
Menariknya corak utama politik yang kriminal tersebut terus ditanggapi dengan antitesa yang mengedepankan politik gerakan moral, dimana idealisasi politik adalah kepemimpinan yang tegas. Mengimbangi pengetahuan politik rakyat yang terus bertumbuh di era paska otoriterisme, maka sejak pemerintahan SBY tidak lagi dibantah bahwa peranan tindakan kriminal memang memainkan peranan penting atas Negara. Dikumandangkan lah perang terhadap ‘Mafia’ dengan membentuk komisi-komisi untuk memberantasnya. Di masa Jokowi, perang terhadap ‘Mafia Migas’ juga menjadi salah satu program andalan, yang dapat diperkirakan berpeluang sangat besar untuk gagal, seperti komisi anti mafia hukum di masa SBY.
Konstruksi mafia yang dikembangkan sungguhnya menyesatkan, karena mengandaikan adanya semacam entitas atau organisasi yang melakukan kejahatan secara eksternal terhadap Negara. Kenyataannya, jaringan kekuasaan yang kriminal itu eksis secara legal dengan cara menguasai Negara, dan bukannya eksternal. Mari kita lihat operasi kuasa jaringan kriminal tersebut dalam kasus nyata. Di beberapa kasus skandal elit tersebut, kita mendengar istilah kriminalisasi, yang kurang lebih bermakna, adanya penerapan gugatan hukum yang membuat posisi sejumlah tokoh politik terpojok. Yang menarik untuk dicermati bahwa hukum digunakan oleh jaringan oligarki sebagai cara untuk mengaburkan sama sekali batas antara yang legal dan yang kriminal. Ini menunjukkan jaringan kuasa oligarki telah berkembang sedemikian besar dengan kemampuan kriminalisasi yang sangat besar dalam tubuh Negara selama era reformasi.
Kekuasaan hukum yang netral dari relasi kuasa yang kriminal ini adalah ilusi, yang membuat gerakan reformasi yang selama ini mengusung idealisme tentang supremasi hukum yang tertata baik secara kelembagaan dan dihormati oleh semua pihak tidak berlangsung efektif. Kenyataanya, relasi kuasa dalam masyarakat tidak berubah secara signifikan. Ketimpangan kuasa yang membuat para pemain politik utama tetaplah jaringan oligarki yang menguasai semua partai politik, menyebar luas di kalangan birokrasi dan penegak hukum (di semua institusi tanpa terkecuali), bahkan memiliki jangkauan berjejaring di banyak organisasi masyarakat.
Strategi kriminalisasi efektif membuyarkan kenaifan gerakan moral soal posisi orang baik versus penjahat dalam kerangka pertarungan politik. Ujian dari strategi ‘kriminalisasi’ ini menunjukkan pada kita bahwa ukuran kekuatan dalam pertarungan politik yang didominasi para kriminal bukan lah pada kemegahan citra tokoh gerakan dan politisi. Yang dibutuhkan adalah ketersediaan material mewadahi dukungan massa dan kekuatan politik terorganisir untuk berjaringan guna menandingi jaringan politik dan kriminal oligarki.
Negara yang bersih dari orang-orang jahat, begitulah visi gerakan moral kita selama ini. Tentu saja tidak ada yang salah dengan sikap moral yang mengidolakan politisi yang bersih, akan tetapi sudah jelas kita tidak bisa mengabaikan landasan material yang menjadi kenyataan politik yang kita jalani. Kita dapat bersepakat dengan posisi filsuf kiri Jerman, Walter Benjamin yang membangun asumsi mendasar bahwa seluruh masyarakat modern terkriminalisasi dan bukan hanya secara parsial saja. Relasi kuasa dalam masyarakat kapitalis modern didasari oleh eksploitasi (pencurian nilai lebih), manipulasi, dan kekerasan yang menyertai proses produksi yang penuh eksploitasi, mulai dari tahap produksi hingga sirkulasi di masyarakat. Relasi hadir, berkembang, dan bertahan dalam jaringan sosial yang nyata dan berkelanjutan.
Benjamin (1921) membahas soal kriminalisasi dan politik dalam situasi jaman yang dihadapinya, dimana Negara terbukti merepresentasikan monopoli hukum lewat kekerasan. Akibatnya, tidak dapat diharapkan adanya pemisahan antara kekerasan yang legal dan illegal, ataupun antara yang legitimate dengan yang kriminal, dimana hukum dan penegak hukum (khususnya polisi) tidak hanya amoral, tapi juga bobrok dan busuk. Yang terjadi, Negara dan hukum memfasilitasi kekerasan dan kejahatan yang menguntungkan kepentingan jaringan oligarki.
Kenyataan ini terpampang sangat gamblang di depan hidung kita. Dan celakanya, situasi ini terus diwariskan dari masa Orde Baru hingga dalam semua skandal yang menerpa Jokowi saat ini. Sementara itu jaringan kita untuk menandinginya masih terus lemah dan naif.***