SELAMA beberapa hari terakhir ini kita melihat intrik politik secara lebih telanjang. Lebih tepatnya sebuah political showdown antara Jokowi dengan partai yang mengusung dirinya jadi presiden. Kemarin, situasi itu berbalik sama sekali. Tiba-tiba, Jokowi menoleh ke rival beratnya waktu Pilpres, Prabowo Subianto. Jokowi menghidupkan kembali Prabowo dari kuburan politiknya. Tiba-tiba dia datang seperti arwah gentayangan di Istana Bogor.
Dengan kelonan satu selimut sama Prabowo, Jokowi mengirimkan pesan kepada Simbok penguasa PDIP: Jokowi bisa tetap berkuasa tanpa PDIP. Berselingkuh dengan koalisinya Prabowo, yang jumlahnya lebih besar dari koalisinya PDIP, tentu akan membikin kerjaan makin mudah untuk Jokowi. Tapi ya itu … bagaimanapun perselingkuhan ya tetep perselingkuhan. Ia adalah cinta jalan belakang, lewat pengkhianatan, dusta dan dendam. Biasanya ya ndak awet. Ketika udah bosen, ya main tendang-tendangan lagi. Bukankah sering terjadi perselingkuhan menimbulkan perkelahian dan bahkan pembunuhan?
Yang menarik adalah, seperti yang dikemukakan beberapa kawan saya, PDIP itu ternyata tidak tahan berkuasa. Begitu mereka menang dan berkuasa, dengan segera mereka menghancurkan kekuasaan yang mereka dapat dengan susah payah itu. Lho kok bisa? Lha ya itu juga pertanyaan saya. Tapi saya ada beberapa spekulasi. Bisa bener, bisa nggak. Mungkin cocok untuk bahan bacaan pagi di kakus.
Yang pertama, PDIP ini sebenarnya sebuah partai otoriter. Semuanya tergantung dari SDI atawa Sendiko Dawuh Ibu, Yang Mulia Ibu Suri, Yang Mulia Simbok. Si Ibu ini semacem matriarch yang sangat kuasa, haram hukumnya dibikin marah atau kecewa— sekali marah efeknya akan lamaaaaa sekali. Susilo Bambang Yudhoyono—laki-laki yang selalu bimbang, peragu, dan hanya marah untuk pencitraan itu—pernah merasakan akibatnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun dia di-jothaki, didiamkan, sama simbok Mega.
Karena watak didalamnya itu otoriter dan SDI, maka partai ini sebenarnya tidak banyak berisi orang-orang yang bisa berpikir bebas, orang-orang pinter strategi dan juga sekaligus orang yang tahu mau bikin apa kalau berkuasa. Istilahnya, orang-orang yang punya agenda, yang biasanya lahir dari keyakinan ideologis. Orang-orang seperti ini yang hilang. Dulu pernah ada, terutama ketika partai ini masih jadi basis oposisi terhadap Orde Bau.
SDI itu hanya menyuburkan ‘kader kathok.’ Yaitu kader-kader yang cuma pinter ngathok alias pinter cari muka dan menjilat. Biasanya ya kader-kader medioker—atau yang memediokerkan diri demi keamanan perut sendiri. Mereka ini tak berani bicara atau ambil inisiatif apapun. Kalaupun bicara dan melakukan gerakan politik, itu demi mengamankan agenda politiknya simbok, yang hidup-mati harus dibela.
Jangan salah. Kader kathok, kader penjilat ini juga bisa galak setengah mati. Kalok nggonggong, kerasnya luar biasa. Itu karena dia menggonggong tidak saja supaya didengar sama orang yang digonggong, tetapi juga supaya didenger sama simbok yang nun jauh di sana. Itu sebabnya akhir-akhir ini kita mendengar gonggongan yang sangat memekakkan telinga.
Karena simbok adalah penguasa mutlak maka para kader ini bersaing mendekati simbok. Perjuangan mendekat ke simbok itu jauh lebih susah dari perjuangan menjaring suara dalam pemilihan umum. Mau gimana lagi. Perjuangan ini membutuhkan ketrampilan ngathok. Dan inilah yang sulit karena harus pintar-pintar mengambil hati dan tahu suasana hati yang dijiliat. Generasi saya, generasi yang sampai umur 30 lebih hanya kenal satu presiden, tentu kenal banyak kader seperti ini. Salah satu yang fenomenal adalah Harmoko. Jangan kira menjadi Harmoko itu mudah lho. Butuh kreativitas luar biasa untuk bisa menjadi kathok yang baik.
Yang kedua, ya karena tidak bisa berkuasa itu tadi. Partai ini bisa dibilang tidak punya pengalaman berkuasa. Pada pemilihan umum tahun 1999, mereka meraih suara terbanyak (33 persen) dari jumlah suara. Tapi tidak bisa berkuasa. Mereka ditelikung oleh Poros Tengahnya Amien Rais cs. Karena apa? Ya karena nggak tahu caranya mengelola kekuasaa! Waktu itu mereka kesusahan cari teman untuk koalisi. Lha, gimana nggak kesusahan? Mereka mau menduduki semua pos basah dan hanya menyisakan yang kering-kering untuk mitra koalisinya. Ya jelas nggak ada yang mau.
Tahun 2014 sebenarnya prestasi PDIP nggak bagus-bagus amat. Mereka hanya berhasil meraih 18 persen suara dalam pemilihan legislatif, jauh di bawah perolehan suara tahun 1999. Juga jauh dari target untuk mendapat setidaknya seperempat suara dan seperempat kursi di DPR. Namun kali ini mereka ditolong oleh seorang kader yang kebetulan bukan kathok. Kader ini lahir dari bawah, naik dari bawah, dan sesudah besar akhirnya terpaksa diambil oleh simbok-nya. Kader non-kathok ini berhasil pula menggeser simbok untuk maju menjadi capres.
Namun toh setelah sang kader non-kathok jadi presiden, partai ini tidak sepenuhnya berdiri dibelakangnya. Lagi-lagi dalam bagi-bagi kursi kekuasaan kabinet, partai ini terponthal-ponthal. Mereka harus berhadapan dengan anak didik Suharto – mantan diktator yang keahliannya dalam soal-soal membegal dan menjagal tiada duanya di Indonesia atau bahkan dunia.
Opppsss … nanti dulu. Suharto? Iya. Kayaknya PDIP perlu berguru dan belajar dari Suharto. Terutama dalam soal berkuasa. Apa kira-kira pandangan Suharto terhadap PDIP? Mudah untuk membayangkan kalo Suharto akan menggoblok-gobloki partai ini benar-benar bodoh! Sama seperti dia pernah menggoblok-gobloki Umar Wirahadikusuma, yang diangkatnya menjadi Wakil Presiden tetapi tetap miskin karena tidak memanfaatkan jabatannya. Untuk Suharto, politisi itu ya harus ‘sugih tanpo bondo’, alias kaya tanpa harta benda. Maksudnya, kaya tanpa keliatan kaya. Itu sebabnya bondo colongan itu perlu disembunyikan rapat-rapat. Perbuatan mencolong dan menyembunyikannya adalah satu kesatuan utuh dan integral yang tidak terpisahkan (ingat bahasa P4!).
Kualitas seperti itu yang tidak ada pada politisi PDIP. Mereka nyolong jor-joran. Yang dicolong pun tidak besar jumlahnya. Beberapa milyar saja. Jumlah yang nggak terlalu besar — yang bahkan untuk bekal pemilihan umum saja nggak cukup. Sudah gitu ketahuan lagi!
Nah di sini gawatnya. Sesudah ketahuan, bukannya mereka memainkan jurus-jurus halus mengelak, tapi malah koar-koar nantang kayak preman pasar. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Bapak Suharto, yang mengajarkan kalau nyolong harus besar sebesar-besarnya dan kalau ketahuan ya harus membela diri dengan sesantun-santunnya. Itulah sebabnya lawyer yang baik dan mumpuni adalah bagian satu kesatuan utuh dan integral yang tidak terpisahkan dari upaya pencolongan. Sedemikian besarnya colongan itu sehingga kalau ketahuan dan diutak-utik, maka negara bisa runtuh. Atau dalam bahasa Inggrisnya, ‘too big to fail.’
Jelas PDIP harus berbenah diri dalam hal ini. Kalau tidak mereka tidak akan pernah beranjak dari sekedar preman pasar dan sudah pasti nasibnya akan selalu dikadalin murid-muridnya Suharto.
Nah, sembari menunggu mereka berbenah (yang tidak tampak tanda-tandanya), kita juga menunggu langkah-langkah apa yang akan diambil si kader non-kathok Jokowi ini. Jangan dikira dia juga terbebas dari penyakit seperti partai pengusungnya, PDIP. Jokowi punya penyakit lain. Saat berkuasa, dia lupa pada pendukungnya. Bahkan pada saat krisis pun, dia tidak minta bantuan pendukungnya, yang saat pilpres kemarin berkutat pada jaringan relawan. Kalau dia cuma bermain di elit, maka siap-siaplah dia diterkam sama murid-murid si guru besar begal dan jagal itu. ***