HARI-hari ini kita menyaksikan Jokowi yang sedang galau. Sebagai presiden, langkah-langkah dan kebijakan politiknya jauh dari semangat Nawacita yang diusungnya sendiri di masa kampanye. Mendekati 100 hari pemerintahannya, tak ada kebijakan visioner yang ditelurkannya, tidak juga ada perubahan substansial yang dilakukannya, malahan ia asyik melakukan akrobat politik yang konservatif: mulai dari penyusunan kabinet yang buruk, kebijakan pencabutan subsidi BBM, pembebasan Pollycarpus Priyanto, pengangkatan Jaksa Agung, sikap diamnya atas pembantaian warga Papua di Paniai, niat mengangkat calon kapolri yang terlibat skandal korupsi, hingga eksekusi mati enam terpidana mati.
Apa yang sedang terjadi dengan Jokowi? Jawabannya karena ia telah memunggungi pendukung sejatinya, rakyat segala kecil, yang sehari-hari bergulat dengan pertanyaan ‘besok mau makan apa?’
Dalam hampir setengah abad terakhir ini, kekuasaan Negara (baca: tentara, polisi, birokrasi, parlemen, dan teknokrat) di Indonesia begitu kuat dan besar. Dihancurkannya seluruh anasir-anasir kekuatan rakyat pasca 30 September 1965, membuat kekuasaan Negara tidak lagi memiliki tandingannya. Sehingga, siapapun yang ingin melakukan perubahan mendasar, harus berkonsultasi dan mendapatkan persetujuannya oleh Negara. Di tangannya rezim otoriter Orba dan rezim kapitalisme-neoliberal, perubahan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak tidak mungkin datang dari Negara, karena ia telah menjadi simbol, subjek dan benteng politik utama dalam melanggengkan struktur sosial yang menindas ini. Perubahan karenanya harus muncul, digerakkan dan dilakukan oleh aktor-aktor non-Negara yang tidak alergi dengan kekuasaan Negara.
Dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti bencana alam maha dahsyat, krisis ekonomi yang sangat parah atau revolusi politik, kekuasaan Negara mengalami goncangan dan retak di sana-sini. Pada momen-momen itu, perubahan mendasar bisa mungkin terjadi. Misalnya, kita tak bisa bayangkan Habibie akan membuat kebijakan referendum di Timor Timur, jika tak ada Peristiwa Mei 98. Atau Gus Dur yang ‘berani gila’ melakukan terobosoan-terobosoan politik untuk memangkas kekuatan TNI, tanpa Peristiwa Mei 98. Atau sulit kita bayangkan adanya kesepakatan damai di Aceh, jika tak ada badai Tsunami yang membunuh lebih 200 ribu penduduk dalam sepersekian detik.
Peristiwa-peristiwa seperti bencana alam maha dahsyat dan revolusi politik ini kita sebut sebagai momentum. Khusus revolusi politik, kehadirannya tidak terduga walaupun kita tahu ia akan datang. Karenanya tidak ada kaum revolusioner yang bisa memastikan kapan revolusi akan terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah bekerja mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sedetil-detilnya dan sekonsisten-konsistennya ketika momentum itu tiba.
Jokowi adalah contoh bagaimana ia pernah memiliki momentum dan sekaligus kehilangan momentum itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pemilu di Indonesia, rakyat begitu antusias untuk terlibat secara aktif. Sebelumnya, rakyat atau konstituen yang aktif dalam pemilu disebabkan oleh dua hal: pertama, mereka dimobilisasi oleh mesin partai, khususnya di masa Orba dan setelahnya; kedua, mereka pergi ke kotak suara karena politik uang. 15 tahun pasca Orba dan khususnya dalam Pemilu 2014, praktek politik uang begitu massif dan sistematis terjadi di seluruh wilayah pemilihan.
Namun demikian, dalam pemilu presiden 2014, kita menyaksikan gambar yang begitu kontras dimana rakyat terlibat aktif dalam proses pemilu secara sukarela, khususnya di kelompok capres Jokowi-JK. Untuk pertama kalinya rakyat menyumbangkan uangnya sendiri untuk kandidat presidennya; dan juga untuk pertama kalinya partai politik tidak bisa mengklaim secara eksklusif bahwa kemenangan Jokowi-JK melulu karena kerja mereka sendiri. Dalam kasus Jokowi-JK, tanpa peran aktif relawan maka sulit buat keduanya untuk bisa menang, karena mesin partai pendukung tidak bekerja secara benar.
Berbekal dukungan luas dan sukarela dari rakyat ini, Jokowi sebenarnya memiliki modal politik yang luar biasa untuk melakukan atau merealisasikan janji-janji kampanyenya. Ia memiliki momentum yang jarang tiba itu. Celakanya, setelah terpilih, ia memunggungi pendukung utama dan rakyat pemilihnya dan memilih bermain api dengan oligarki kapitalis. Akibatnya, ia kehilangan momentum itu. Semakin hari kita melihat bahwa Jokowi tidak lebih sebagai politisi biasa saja, yang kebijakan-kebijakannya semakin ngawur, yang membuat legitimasinya semakin buruk. Kini, sulit sekali buat Jokowi untuk memperoleh dukungan rakyat secara sukarela sebagimana yang dinikmatinya sebelum menjadi presiden.
Apakah ini sebuah tragedi bagi para pendukungnya? Apakah ini tanda kemenangan buat mereka yang sejak awal menolak untuk memilih, baik Jokowi maupun Prabowo karena mereka tidak lebih dari barisan kaum borjuasi? Sama sekali tidak. Ini justru sebuah kemajuan penting dalam kesadaran politik rakyat Indonesia. Setelah sukses memblok kemenangan calon presiden yang fasis-militeris Prabowo, kini rakyat memperoleh pengalaman penting lainnya, bahwa untuk memilih seorang pemimpin politik maka gagasan tentang ‘Orang Baik’ seperti Jokowi, atau nanti Ahok, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Risma, sangat tidak memadai. Ketidakmampuan Jokowi menghadapi kekuasaan Negara yang begitu kuat, sukses menghancurkan ilusi tentang ‘orang baik’ yang begitu luas dikampanyekan oleh para pengusung moralisme politik.
Dengan pengalaman politik pada pilpres 2014, dimana rakyat terbukti mampu melakukan mobilisasi gerakan politik secara massif dan sukarela, sungguh merupakan modal politik utama buat kita untuk membangun gerakan politik yang mandiri, dengan program-program anti-neoliberal yang konsisten, serta kepemimpinan yang memiliki rekam jejak dan teruji dalam perjuangan bersama rakyat. Walaupun kita menghadapi kekuasaan Negara yang begitu konservatif, tetapi politik kita bukan politik anti Negara atau politik yang menjauh dari kekuasaan Negara. Moralisme politik semacam ini tidak banyak gunanya dalam merealisasikan kebijakan-kebijakan pro-rakyat. Prinsip politik kita adalah, ‘hanya dengan melibatkan kekuatan rakyat secara luas dan terorganisir dalam pengelolaan politik sehari-hari, barulah kita bisa melakukan perubahan yang mendasar dan substansial.’***