BAIKLAH, nak. Kemari dan berbaringlah di pangkuanku. Akan kukisahkan kepadamu sebuah cerita. Ini bukan cerita rekaan, bukan pula roman picisan.
Dulu pada masa yang belum terlalu lampau, di negeri kita ini, hidup seorang lelaki. Lelaki berani, yang maqom keberaniannya sangatlah sulit kau temukan samanya. Tubuhnya kurus, tak sebesar Hulk. Ototnya kecil, tak seperkasa Dwyne Johnson dalam Hercules: The Tracian Wars. Tapi pukulannya kuat sekali, lebih kuat dari pukulan palu si Thor. Dan nyalinya besar, nak. Tangguh sekali. Lebih tangguh dari Achilles dalam kisah Troy.
Namun, tak seperti dongeng-dongen kepahlawanan yang sering kuceritakan kepadamu, lelaki ini tak hidup dalam bayang-bayang mitologi. Ia nyata. Keberaniannya tumbuh dalam bilik-bilik sunyi tempat ketidakadilan bermekaran.
Lelaki kecil berambut merah dan berkumis lebat ini, hadir tepat di tengah diskriminasi dan kedzaliman berkecambah. Di sudut-sudut dusun yang kumuh, juga di gubuk-gubuk reot kaum buruh. Ia datang kepada mereka yang ditinggalkan, menumbuhkan asa dan menyambung harapan mereka tentang keluarga yang hilang; tentang ayah, tentang suami, atau tentang anak yang tak pernah pulang.
Ia menghapus tangis kehilangan mereka dengan sapu tangan keberanian, mengajari mereka untuk tak tunduk kepada penindasan, bahwa keadilan tak turun dari langit dan mesti disuarakan. Wajib diperjuangkan. Ketika kemanusiaan terkoyak dan pertolongan Tuhan tak kunjung datang, maka manusia sendirilah yang harus turun tangan. Sebab kesewenang-wenangan itu tak bisa dibiarkan dan kemungkaran harus dilawan.
Ia, lelaki yang tak ada takut dalam dirinya itu, berdiri jauh dari lingkar kekuasaan, dari glamoritas yang memabukkan. Ia adalah kawan bagi mereka yang terbuang, sekaligus menjadi lawan bagi mereka yang membungkam. Dari sana, dari tempat yang jauh itu, kepal tinjunya dibentuk lalu berkali-kali menohok tepat di jantung sang tiran.
Nak, sudah saatnya bagimu, untuk mendengar cerita seperti ini. Sebab aku tak ingin imajinasi masa kecilmu dibangun di atas ruang hampa. Imajinasi kanak-kanakmu wajiblah tumbuh dari denyut nadi sosial yang nyata, bahwa hidup tak seindah seperti yang dipidatokan penguasa. Dan ketimpangan, ketidakadilan, juga kemiskinan bukanlah sekedar angka-angka statistik.
Kulanjutkan cerita ini, nak. Akhirnya, seperti halnya ketakutan kepada rezim yang telah lama menjalar, keberanian lelaki itu pun menular seperti virus. Bibit perlawanannya menyebar. Orang-orang tak lagi takut dipukul dan ditampar. Di hadapan laras dan pentungan tentara, pemuda-pemuda tak lagi gentar. Semakin tirani berlaku kasar, semakin besar pula api perlawanan mereka terbakar. Tak menunggu lama, tepat di jantung kekuasaan, singgasana Sang Tiran dibongkar dan penguasa itu pun terlempar.
Lalu berakhirkah setelah itu perjuangannya?
Tidak, nak. Ketika kawan-kawannya bersorak gembira dan mulai bicara soal bagi-bagi kuasa, ia tetap seperti dulu. Tetap setia bersama orang-orang yang kehilangan. Ia terus berjuang. Ketika kawan-kawannya bicara tentang permaafan, ia menggugat dengan pertanggungjawaban. Ketika kawan-kawannya meminta untuk melupakan, ia mendesak pengakuan atas yang dihilangkan.
Pendiriannya tak goyah. Ia tetap memilih berkawan dengan para ibu, para janda, para anak-anak yang kehilangan dan ditinggalkan. Ia tetap menjadi pembela kaum mustadh’afin.
Lalu kekhawatirannya terbukti benar, kekhawatiran yang diabaikan banyak kawannya. Bahwa si Tiran boleh jatuh, tapi kaki tangan beserta lingkarannya tak benar-benar tumbang. Mereka berganti kulit dan berganti wajah. Mulut mereka cakap mendalilkan kemerdekaan dan hak asasi manusia juga ketimpangan dan ketidakadilan baru. Betapa mudahnya publik kita terhipnotis. Mereka berlindung di balik jubah demokrasi, lalu menyusup lagi ke dalam kekuasan. Mereka tak pernah jauh dari lingkaran kekuasaan. Lalu ketika ingatan publik kita yang memang pendek itu mulai lupa, saat itulah mereka memulai perhitungan. Satu-satu persatu dendam masa lalu mereka tuntaskan.
Sampai akhirnya takdir pula yang bicara, keberaniannya tak sanggup melampaui batas kodratinya. Ia tetaplah manusia. Dan di jalan perjuangan yang ia pilih, di situ pula ia menutup usia. Ia menjadi target pembalasan dendam mereka yang sakit hati atas kejatuhan sang Tiran. Lalu di atas udara, keberaniannya tak lagi sanggup melawan penindasan. Ia meregang nyawa, dipaksa bungkam selamanya oleh racun dalam tubuhnya. Tepat empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania. Dua jam sebelum tiba di Belanda. Pamitnya kepada istri dan anaknya sebelum berangkat adalah pamitan terakhir, sekaligus menjadi pamitan kepada kaum yang dibelanya. Ia pergi selamanya, bersama perjuangannya yang belum selesai.
Lalu saat ini, nak. Lima belas tahun lalu. Satu-satunya pelaku yang didakwa membunuhnya dibebaskan oleh pengadilan rezim pemimpin berkuasa. Pemimpin yang oleh kawan-kawannya dipercaya akan sanggup menuntaskan tanya pada misteri kematiannya.
Nak, kuceritakan kisah ini kepadamu sebab aku setuju dengan Milan Kundera, bahwa perjuangan melawan kekuasan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Dan jikalau besok pagi kau kembali ke sekolah, tak usah kau sebut tokoh The Avengers, ketika gurumu bertanya tentang sosok pahlawan idola. Sebutlah namanya, nak.
Munir!***