Mama, perempuan tinggi besar berkulit kuning bermata kecil. Rambutnya ikal panjang. Suka bercelana panjang kudorai dan gaun sebatas betis, naik motor besar dan berkeliling kota sendirian. Katanya tawanya besar dan matanya tak sungkan memandang orang lain, apapun jenis kelamin dan berapapun usianya. Sedang apa kau di kubur, Ma? Kalau masih hidup dan gayamu begitu, akan berapa kali kau kena cambuk Wilayatul Hisbah? Untung kau sudah mati. Apa mungkin kau sedang menunggu siksa neraka karena selama hidup tak berpakaian seperti suruhan Qanun No 11 tahun 2002 pasal 13?
Selamat ulang tahun ke 55, Ma. Maaf aku belum juga bisa pulang.
AKU ingin pulang. Tapi entah di mana rumahku sekarang.
Kp. Baru, Lorong Asrama Putri No.2, Bireun-Aceh Utara 24211, adalah satu-satunya rumah yang aku ingat. Ada dua pohon kelapa di halaman rumah, pintu pagar kayu berwarna putih, lusuh, berderak-derak ketika dibuka dari luar. Mbah perempuan, setiap sore duduk di teras dan menyapa hampir semua orang yang lewat: ‘Mau kemana?’ katanya, tanpa benar-benar peduli jawaban orang-orang itu. Mamak akan menyusulnya duduk di teras, membawa segelas teh panas di gelas duraleks panjang, kadang-kadang dengan pisang goreng. Aku akan duduk di pangkuan Mbah, yang selalu mengangkat kedua kakinya duduk di kursi teras.
Aku suka menggoda mereka dengan berteriak memanggil Wawak, seorang perempuan paruh baya, yang kadang lewat depan rumah. Mamak dan Mbah akan setengah marah menghardikku. Aku tahu tak boleh menegur dia. Hanya saja, besar keinginan untuk mengetahui responnya. Wawak tinggal satu rumah disebelah tetangga kami. Dia kakak Papaku. Kami tak pernah bicara. Sejak aku lahir dan bisa bicara, rasanya dia seperti orang asing yang wajahnya masam terus. Aku dilarang main ke rumahnya, bahkan kadang dilarang main sama anak-anaknya. Untung anak-anaknya laki-laki, anak perempuan tidak main dengan anak lelaki di lorongku.
Permusuhan Wawak dan keluargaku adalah memori pertama yang melekat kuat membentuk identitasku sebagai ‘orang Aceh’. Aku besar untuk belajar tidak menjadi orang Aceh, jika fungsinya hanya untuk memelihara kebencian karena perkawinan beda suku dan status sosial. Mama dari keluarga besar transmigran Jawa yang tercerai-berai dan hidupnya pas-pasan, Papa dari keluarga Aceh yang sepertinya sakinah dan hidupnya lebih sejahtera.
Entah kenapa Wawak tak mau ajak aku bicara sampai hingga Mbah tiada, dan aku akhirnya tinggal bersama Papa. Kabarnya dia sampai pernah mengutuki kepergian Mama dan Papa kerja ke luar negeri, dan mendoakan agar Mama tak kembali. Mbah laki saat itu sangat marah padanya, dan sejak awal tak mau Mama menikah dengan Papa, apalagi Mama baru saja selesai SMP. Mungkin doa Wawak terkabul. Mama mati tanpa aku sempat mengenalnya. Mbah laki menyusul mati beberapa bulan kemudian karena memendam sedih.
Aku besar dengan membenci keluarga Aceh. Aku bicara tanpa bisa menggunakan bahasa Aceh.
Pada November 1999, kali pertama aku melihat foto seorang tentara bersenjata lengkap, tersenyum gembira, memegang potongan kepala. Ya Tuhan… apa yang terjadi di Aceh sana? Aku berkenalan dengan KontraS pertama kalinya, ketika kami menyelenggarakan seminar Aceh di Fakultas Sastra Jepang, Universitas Padjajaran. Aku dan Lina, bergerilya mencari dana sampai dapat—prestasi yang sangat kami banggakan. Kami datangi kerabat-kerabat Aceh yang kukenal. Seorang pejabat BPN Bandung memberikan sumbangan paling besar hingga acara bisa terselenggara.
Untuk pertama kalinya ada desir aneh, seperti bangga, menjadi orang Aceh. Tapi juga sedih. Kemana saja aku selama ini? Kenapa aku tidak tahu kejahatan negara terhadap pergerakan Aceh Merdeka dan rakyat sipil disana? Saat itu tiba-tiba ingatan melesat pada Wak Amat, suami Mamak, yang Polisi Militer dan bertugas di Takengon, Aceh Tengah. Dia mati kecelakaan, dalam perjalanan pulang dari tugas. Kabarnya dia juga bertugas untuk memberantas AM (Aceh Merdeka) atau GAM. Wak Amat berwajah bulat hitam dan legam. Pangkatnya hanya Sersan, anaknya 7 hanya berselang setahun. Setiap pulang tugas wajahnya tampak tambah legam dan mata memerah. Ketika aku datangi dan memegang jemarinya, baru ia tersenyum hingga matanya menjadi ramah. Ia julurkan kedua kakinya hingga aku bisa membuka sepatu PDH-nya.
Wak Amat mati meninggalkan 7 anak dan Mamak. Kami semua tinggal di rumah Mbah, karena pangkat Wak Amat tak cukup untuk membeli rumah. Ada dua janda, 5 gadis, dan 2 bujang hidup di rumah itu. Setelah Mbah perempuan meninggal, aku pun hengkang untuk tinggal bersama Papa dan keluarga Aceh barunya. Tak lama berselang, aku memilih kuliah di kota Jatinangor dan tinggal seorang diri. Pilihan itulah yang akhirnya menimbulkan sedikit debar menjadi orang Aceh.
Debar lainnya ada dalam lirih Aneuk Yatim-Rafli ketika kunyanyikan di panggung akbar di depan banyak orang, sepertinya sekitar tahun 2004:
“deungo lon kisah saboh riwayat
kisah baro that… baro that di Aceh raya
lam karu Aceh.. Aceh timu ngon barat ngon barat
di saboh teumpat… teumpat meunoe calitra…”
(“Dengarkan saya bercerita,
kisah yang baru, baru di Aceh (raya)
pada masa prahara, di timur dan di barat,
di suatu tempat… ceritanya begini…”)
Untuk kedua kalinya aku merasa berguna menjadi orang Aceh.
Aku ingin pulang. Tapi kenapa sekarang dengan hijab dan baju panjang?
Lelaki-lelaki bujang dulu duduk-duduk di lapangan dan pos-pos kemanan lingkungan di sekitar Kp. Baru. Bau cimeng berseliweran disekitaran mereka. Bila bergadang, di pagi harinya kadang bertebaran botol-botol cap kepala kambing. Aku tak tahu apa itu. Mungkin minuman keras.
Para perempuan juga duduk-duduk di pinggir lapangan bola. Tertawa-tawa, berbaju warna warni, celana pendek, rok, sedikit saja yang berjilbab. Kadang jilbab hanya dipakai untuk acara-acara pesta. Kalau duduk di lapangan bukan acara resmi, jadi berpakaian santai saja. Bertukar gosip dan melirik-lirik orang lewat. Menggoda-goda cowok bujang yang lewat juga tak pernah tabu. Aku suka berlarian di lapangan itu. Angin sayup dan segar sekali setiap sore. Aku benci bila ada pertandingan bola. Perempuan-perempuan jadi tersingkir tak bisa nongkrong sore di sana. Lapangan dipenuhi lelaki dan pedagang kacang goreng dan rebus.
Tidak ada polisi syariah yang mengejar-ngejar kami. Tidak ada aturan berpakaian. Tidak ada lelaki dan perempuan yang dicambuk. Hanya ada angin sore di lapangan bola Kp. Baru. Sepeda federal andalanku dikayuh bersama-sama kawan lelaki dan perempuan berangkat ke Laut Krueng Juli. Rambut kami tergerai, ketawa kami terkekeh-kekeh. Kadang naik motor, bonceng tiga, anak laki pemboncengnya. Laut Krueng Juli adalah tujuan favorit. Sekarang tak boleh lagi pergi berpasangan, apalagi bonceng tiga berlainan jenis.
Aku ingat pada satu malam bermotor berdua dengan dia yang kutaksir sejak lama, di malam terakhir sebelum meninggalkan Bireuen. Malam terasa panjang, perjalanan dengan motor terasa lama, tetapi genggaman tangan kami terasa cepat saja. Ah, tak ada polisi syariah mengejar-ngejar pada saat itu. Kami baik-baik saja. Tak berkurang suatu apa. Tak melanggar hak siapa-siapa. Kami hanya menyesali masa, kenapa menyia-nyiakan waktu sepanjang SMP tanpa pernah mengkonfirmasi rasa.
Sekarang dia sudah menikah, anaknya dua atau tiga. Setiap kutanya tentang perda syariah, dia hanya tertawa.
Sekarang semua orang yang kukenal disana, teman yang tak banyak kupelihara, tak satupun bicara soal Qanun Aceh. Entah tahu atau tidak, empati atau tidak pada perempuan-perempuan, dan laki-laki, yang dipermalukan didepan umum, ketika disemprot pilox celana ketatnya, ditangkap ketika sembunyi pacaran, ditangkap karena menonton musik, ditangkap karena berambut mohawk, dicambuk di depan umum, bunuh diri karena tak sanggup dipermalukan oleh pemberitaan media.
Tampaknya itu bukan masalah orang-orang yang kukenal itu. Mereka hanya menikmati hidup di Aceh. Ingin rasanya mendengar kabar dari mereka bahwa masyarakat Aceh menjadi jauh lebih beradab sekarang, lebih sejahtera, perempuan-perempuan dan laki-laki lebih bahagia, anak-anak remaja bersahaja, hidup lurus bagai perintah agama. Ah, bahagianya mereka, beruntungnya masyarakat di sana.
Ingatanku pada seorang Ibu. Yang dipisahkan dari putri yang masih disusuinya. Pernikahannya tak pernah disetujui keluarga. Dipaksanya ia meninggalkan putrinya, dinikahkan kembali ia pada lelaki, saudara dekatnya, yang tak pernah dicintainya. Ia pernah berkata: malam itu dirinya serasa diperkosa. Lahirlah anak-anak dari pernikahan itu. Kini ia tetap hidup, sedang tertawa dan mungkin juga bahagia. Nasib ada di tangan Allah saja. Pasrah adalah kunci untuk menemukan bahagia.
Menjadi orang Aceh dan menjadi perempuan membuatku dekat dengannya. Ibu itu hanya perempuan Aceh biasa. Yang seluruh hidupnya adalah pengabdian: untuk ibu bapaknya, suaminya, adik kakaknya, dan anak-anaknya.
Menjadi orang Aceh dan menjadi perempuan membuatku tak bisa dengan gampangnya pulang dan menutup tubuh dengan selendang. Apa yang harus aku tutupi, kecuali kemunafikan?
Atau memang bisa semudah itu saja patuh pada Qanun 11 pasal 13 itu? Toh hanya cara berpakaian saja, tips biar tak kena razia. Bila begitu, baiklah, tahun depan aku akan pulang. Mengunjungi Mama di kuburan, bertukar cerita dengan Ibu yang menghabiskan hidupnya dalam pengabdian, merayakan 70 tahun usia Mamak, janda Wak Amat, kakak perempuan Mama, yang walau masih saja mendukung Golkar, tapi bisa menerima berbagai tanda gambar di kedua lenganku. Mereka semua orang-orang yang kusayang, dan Wilayatul Hisbah tak boleh menang dalam teror pakaian.
Aku akan pulang, dan berusaha agar tidak kena razia. Segampang itu saja ternyata menipu diri dan Tuhan, demi mengakali Wilayatul Hisbah dan Qanun 11 pasal 13.
The thieves of honour are men who speak about nothing else except honour.
They have sex within marriage as outside it,
pretending to be honourable.
They cheat on their wives with the wives of other men,
with mistresses, black slaves and servants,
with white foreigners and secretaries,
then claim that they are honourable men
who have loyalty to the nation.
They are never punished
because they have the law,
Shari’a and the constitution
on their side.
Cairo 1990, Thieves of Honour-Nawal El Saadawi***