PERMAINAN video (video game) adalah sistem permainan dengan media video melalui interaksi berbasis antarmuka pengguna (user interface). Dewasa ini, muncul perdebatan tentang permainan video yang berkisar pada persoalan: apakah permainan video merupakan seni atau bukan? Penelitian Grant Tavinor (2009: 196) menunjukkan bahwa permainan video memenuhi segala kriteria seni rupa yang dewasa ini kian longgar. Pada amatan sekilas, permainan video dapat dibaca sebagai seni rupa. Tentu saja, karena hal itu memuat seluruh elemen yang menyusun pengertian ‘seni rupa’, yakni seni yang dicirikan oleh visualitasnya. Namun permainan video tidak hanya bertopang pada citra visual, tetapi juga pada citra auditif. Dalam arti itu, permainan video bisa dibaca juga sebagai seni musik. Tak berhenti sampai di situ, permainan video juga mengandung unsur sastrawi dan koreografi, sebab di dalamnya termuat cerita, penokohan, ungkapan teatrikal dan olah tubuh. Sampai di sini, permainan video setara dengan sinema yang merupakan perpaduan dari seni rupa, musik, sastra, dan tari.
Namun ada satu elemen khas pada permainan video yang belum ada (setidaknya tidak secara inheren) pada sinema dan seluruh cabang seni yang lain: partisipasi. Berbeda dengan film atau karya video yang akan tetap jadi film atau karya video ketika tidak ditonton, permainan video bukanlah permainan video kalau kita tak memainkannya. Kekhasan permainan video adalah bahwa ia mesti dimainkan. Di situ partisipasi menjadi elemen inheren permainan video. Jadi permainan video adalah sinema plus partisipasi—dengan kata lain, sintesis dari seluruh cabang seni (Gesamtkunstwerk) ditambah dengan partisipasi. Berbeda dari film, musik atau novel yang menempatkan para penikmatnya dalam posisi pemirsa yang pasif mengikuti cerita, permainan video memposisikan para penikmatnya sebagai subjek cerita yang melalui pilihan-pilihannya membentuk hasil akhirnya sendiri. Kalau pada film, musik dan novel ruang keaktifan pemirsa hanya terbatas pada interpretasi, pada permainan video ruang partisipasi aktif itu tak hanya tersedia pada aras penafsiran, tetapi juga pada keseluruhan proses permainan itu sendiri. Misalnya, apabila multiple endings dalam film dan cerpen terwujud secara metaforis sebagai hasil dari tafsiran penonton, multiple endings dalam permainan video terwujud secara harfiah sebagai akibat dari perbuatan sang pemain game sebagai si tokoh utama cerita. Diskusi ini akan membahas sejarah perkembangan permainan video, perdebatan seputar statusnya sebagai seni, dan kedudukannya sebagai suatu ‘karya seni total’ (Gesamtkunstwerk).
Sejarah Permainan Video
Sebelum membicarakan status seni permainan video, kita perlu mengulas terlebih dulu sejarah kemunculan permainan video itu sendiri. Kronologi berikut ini bisa dijadikan orientasi dasar dalam sejarah permainan video dan konvensi genrenya.
Begitulah sejarah permainan video, begitu banyak yang terjadi selama 67 tahun (1947-2014). Kita dapat mencatat beberapa kecenderungan umum dari perkembangan permainan video:
- Meningkatnya elemen partisipasi: permainan video terbaru ditandai dengan interaktivitas yang lebih intensif. Apabila permainan seperti Super Mario Bros menawarkan plot yang linear di mana pemain hanya perlu mengikutinya sampai tamat, permainan baru seperti Mass Effect 3 membuat pemain mengambil sendiri pilihannya dan karenanya menciptakan ending yang konsekuen dengan pilihan tersebut. Dengan begitu, pemain berpartisipasi dalam permainan, dalam jantung cerita, ketimbang sekadar menonton cerita yang dituturkan dalam permainan.
- Menurunnya representasi dan meningkatnya presentasi langsung: permainan video terbaru dicirikan oleh desain yang berupaya menghadirkan pemain ke dalam situasi alih-alih sebagai pengamat yang direpresentasikan oleh tokoh dalam permainan. Apabila permainan klasik seperti Spacewar memaksa kita membayangkan titik sebagai simbol pesawat, permainan terbaru yang dimainkan lewat Oculus Rift menghapuskan jarak imajinasi itu dengan membuat kita berada secara langsung dalam situasi virtual. Peningkatan presentasi langsung ini juga tercermin dalam makin banyaknya permainan, khususnya RPG, yang memungkinkan pemain mengubah-ubah sendiri (customize) tampilan avatarnya sedekat mungkin dengan wajah kita. Dalam Skyrim atau Fallout 3 misalnya, tampilan wajah avatar dapat dipermak tanpa mengandalkan preset yang terberi.
- Makin bebasnya muatan moral: permainan video terbaru cenderung membuang segala aspek moralis-didaktis. Kalau RPG klasik seperti Final Fantasy dimuati pesan moral tentang, misalnya, kesetiakawanan, kejujuran, dsb., RPG terbaru seperti Neverwinter Nights memungkinkan pemain mengambil pilihan moral sebebas mungkin sehingga yang baik dan jahat menjadi kabur. Banyak permainan video belakangan ini yang sama sekali lepas dari beban didaktis dalam strategi penceritaannya. Dalam Grand Theft Auto 4, misalnya, pemain bebas menghabisi nyawa semua orang dalam suatu kota.
- Meningkatnya watak sosial-kolektif: permainan video terbaru, khususnya daring, memungkinkan partisipasi kolektif dalam dunia virtual. Apabila permainan video klasik seperti Tetris hanya bisa dimainkan oleh satu atau dua orang, MMORPG seperti World of Warcraft dapat dimainkan oleh ribuan orang secara serentak, atau bahkan jutaan (tergantung kapasitas servernya). Dengan ini, pengalaman bermain adalah juga sekaligus pengalaman sosial (membantah anggapan tradisional bahwa permainan video membuat orang semakin individualistis).
- Makin rancunya batas antara yang riil dan virtual: permainan video terbaru kerapkali merancukan batas antara realitas dan virtualitas. Permainan video yang mulanya cenderung bergenre casual game (semisal Pac Man) mulai bergeser menjadi permainan yang menuntut alokasi waktu hingga berminggu-minggu hingga bertahun-tahun (permainan daring seperti Ragnarok, misalnya, membutuhkan lebih dari dua tahun bagi pemain untuk meningkatkan avatarnya hingga ke level 99 dengan job class tertinggi). Bermain game kian menjadi aktivitas yang memakan waktu. Hal ini mendorong identifikasi pemain sebagai avatar dalam permainan sehingga merancukan yang riil dan virtual. Permainan video dengan narasi dan visualisasi berlapis seperti Alone melipat-gandakan efek kerancuan itu. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pemain game online di Indonesia mencakup sekitar 15 juta orang. Enam juta di antaranya adalah pemain yang militan; artinya, orang yang setiap hari bermain game online. Militansi bermain MMORPG ini disebabkan oleh identifikasi antara diri aktual dan avatar maya. ‘Kadar ideologis’ para pemain militan itu terbukti lewat berbagai berita tentang para pemuda yang meninggal di warnet. Ada yang karena 36 jam bermain non-stop, ada yang karena berminggu-minggu hidup di warnet dengan makan mie instan seduhan, ada juga yang terkena serangan jantung akibat faktor-faktor kelelahan dan komplikasi lainnya.
- Peningkatan mutu mimetik: sejarah evolusi permainan video tampak seperti sejarah perlombaan ke arah fotorealisme. Hampir semua capaian dalam sejarah permainan video diukur dari perspektif mimetik: sejauh mana gambar yang ditampilkan tampak menyerupai kenyataan? Walaupun begitu, ada juga perkembangan permainan video yang mengabaikan ambisi mainstream ke arah fotorealisme. Scribblenauts (2009; Nintendo DS), misalnya. Dalam permainan dengan tampilan 2D ini, pemain dapat mengetikkan kata benda (nyaris) apa pun dan benda tersebut tercipta di hadapannya. Permainan ini ditandai dengan emergent gameplay, yakni kemunculan jalan cerita berbasis komponen yang dipilih untuk dihadirkan dalam permainan secara arbitrer oleh pemain. Dewasa ini, permainan-permainan video yang bercorak high brow dan anti-mainstream semacam itu makin banyak.
Permainan Video sebagai Seni
Sekarang kita kembali ke persoalan paling awal: apakah permainan video dapat disebut sebagai seni? Sekilas permainan video nampak seperti bukan seni dan lebih seperti komoditas atau setidaknya produk seni terapan. Namun dalam amatan lebih jauh kenyataannya tidak seperti itu. Bahkan dalam hitungan yang paling konservatif sekalipun, yakni hitungan estetika Romantik yang memilah tegas ‘seni’ (art) dari ‘kerajinan’ (craft), permainan video justru termasuk ke dalam kategori seni. Pasalnya, berbeda dari arsitektur atau desain produk yang dievaluasi berdasarkan kegunaannya (fungsi), permainan video tidak mungkin dievaluasi berdasarkan kegunaannya. Kenikmatan bermain video tidak datang dari kegunaannya (misalnya, supaya pemainnya jadi pintar berbahasa Inggris), melainkan datang dari permainan video itu sendiri. Artinya, dimungkinkan evaluasi tanpa-pamrih (disinterested) terhadap permainan video, persis seperti halnya evaluasi tanpa-pamrih terhadap instalasi Duchamp. Ini berbeda sekali dengan produk seni terapan semacam lemari yang dinikmati karena berguna untuk menyimpan baju. Jadi kita bahkan tidak perlu memanfaatkan estetika pascamodern (yang meleburkan kriteria ‘seni’ dan ‘bukan seni’) untuk melegitimasi permainan video sebagai seni. Kita bahkan bisa melegitimasinya melalui kerangka estetik yang paling konservatif sekalipun.
Persoalannya kemudian: tergolong ke dalam cabang seni macam apakah permainan video itu? Permainan video adalah cabang seni paling muda. Ia dilahirkan setelah sinema dan seni video. Dalam arti tertentu, permainan video dapat dipandang sebagai salah satu ranting dari cabang seni video. Semua elemen pembentuk seni video juga dapat kita temukan dalam permainan video. Namun ada satu elemen yang tak selalu ada dalam seni video tetapi niscaya ada dalam permainan video: partisipasi aktif pemirsa. Interaksi antara pemirsa dan karya sesekali kita temukan dalam seni video. Tetapi interaktivitas itu bukan ciri esensial seni video. Ada karya video yang sama sekali tidak interaktif, karya video Nam June Paik pada era 1960-an, misalnya. Lain halnya dengan permainan video. Bahkan Perangkat Hiburan Tabung Sinar Katode pada 1947 sudah mengandung elemen partisipasi pemirsa. Dalam permainan video, semuanya adalah tentang interaktivitas. Alasannya jelas: karena permainan baru terjadi kalau ada yang bermain. Interaktivitas atau partisipasi pemirsa sudah menjadi elemen kunci dari definisi ‘permainan’ itu sendiri.
Jadi permainan video adalah seni video dan sinema plus partisipasi. Namun tak hanya itu, permainan video juga merupakan percampuran dari cabang-cabang seni lainnya. Kita dapat memvisualkan hubungan antara permainan video dan berbagai cabang seni melalui diagram berikut:
Tanda panah dalam diagram di muka menunjukkan keberadaan elemen dari cabang seni yang satu dalam cabang seni yang lain (bukan hubungan kronologis). Misalnya, seni komik merupakan perpaduan dari seni grafis dan sastra sebab komik lazimnya terdiri dari gambar dan jalan cerita yang dituturkan lewat teks. Sinema, contoh lainnya, merupakan turunan sekaligus perpaduan dari seni video, teater dan musik sebab elemen-elemen dari berbagai cabang seni itu jika dipadukan secara bersamaan akan menghasilkan sinema. Dengan logika semacam ini, terlihat bagaimana seni permainan video merupakan perpaduan dari seluruh cabang seni. Permainan video, dengan demikian, merupakan rangkuman—sebuah summa—dari seluruh cabang kesenian.
Dalam arti inilah saya menyebut permainan video sebagai Gesamtkunstwerk, suatu ‘karya seni total’. Pada abad ke-19, komponis-cum-estetikawan Richard Wagner mengimpikan Gesamtkunstwerk yang menurutnya terealisasi dalam seni opera. Menurut Wagner, opera merupakan ‘karya seni total’ karena di dalamnya tercakup hampir seluruh cabang seni: musik, teater, tari, sastra dan seni rupa (untuk lukisan latar dan desain panggung). Namun opera tidak betul-betul ‘total’, tidak betul-betul ‘mencakup segalanya’, sebab salah satu dimensi arkhais (sekaligus demokratis) seni tidak muncul di dalamnya: partisipasi. Konsepsi Gesamtkunstwerk Wagner masih berdiri di atas asumsi ‘estetika aristokratik’—meminjam istilah Augusto Boal—yang menceraikan seniman dari pemirsa. Konsepsi ‘rekonsiliasi seni’ Wagner masih dirumuskan dalam ilusi Romantik tentang seniman sebagai ‘individu jenius’ dengan ‘inspirasi Ilahi’-nya. Inilah yang membedakan konsepsi Gesamtkunstwerk Wagner dari konsepsi serupa yang diketengahkan di sini.
Kesatuan karya seni secara total dalam seni permainan video adalah konsepsi kesatuan yang muncul pada era sekarang—era post–avant-garde. Seniman bukanlah sosok individual dengan privilese artistik yang tak bisa dipertanyakan lagi. Seniman tak lagi punya hak menggurui pemirsanya sebab distingsi antara seniman dan pemirsa kian kabur. Pengalaman penikmatan karya seni juga bukan lagi proses yang sepenuhnya privat, bukan lagi konsumsi segelintir elit kultural. Perkembangan street art mendorong kolektivisasi pengalaman estetis. Dalam konteks zaman post-avant-garde seperti inilah konsepsi Gesamtkunstwerk berbasis seni permainan video menunjukkan relevansinya. Seni permainan video merealisasikan apa yang selama ini diperjuangkan oleh seni rupa post-avant-garde: menghancurkan distingsi Romantik yang kolot antara seniman dan publiknya, serta mendemokratiskan pengalaman estetis. Sebagai contoh, permainan video merealisasikan apa yang selama ini belum berhasil diwujudkan oleh sastra kontemporer: pemirsa sebagai partisipan yang ikut membuat jalan cerita ketimbang menafsir jalan cerita. Sebagai rangkuman dari seluruh cabang seni, permainan video adalah bentuk eksplisit dari tendensi utama seluruh cabang seni dewasa ini: gerak ke arah partisipasi.
Namun, di balik gemerlap partisipasi yang ditawarkan permainan video, masih ada faktor sosiologis yang membuat potensi partisipatoris itu terhambat. Permainan video, walau bagaimanapun, adalah juga industri milyaran dollar. Ada banyak laba yang didapat dari industri permainan video. Oleh karenanya, kepentingan industri dapat menumpulkan mutu artistik permainan video sebagai sebuah seni. Inilah yang terjadi dalam gelombang permainan video mainstream yang miskin konsep dan kebaruan biarpun dipupuri dengan teknologi grafis yang fotorealistik. Masih banyak seniman permainan video—dalam tekanan industri—yang memperlakukan permainan video sebagai komoditas dan membuatnya dengan tujuan laku keras, bukan demi pencapaian estetis yang baru. Dalam konteks industri inilah pula, tawaran partisipasi yang diajukan permainan video kontemporer bisa jadi adalah partisipasi yang penuh ilusi. Dalam sejumlah permainan MMORPG, misalnya, partisipasi pemirsa dikapitalisasi lewat kemestian untuk membeli (atau bahkan menyewa) barang-barang yang diperlukan bagi avatar sang pemain (perlengkapannya, kemampuannya, bahkan aksesori kosmetiknya). Jadi partisipasi paripurna dalam seni permainan video tak akan mungkin terwujud tanpa perombakan struktur industri kapitalistis itu sendiri. Sebab, walau bagaimanapun, seni permainan video—seperti setiap cabang seni yang lain—bertopang di atas realitas sosio-historis yang konkret. Karakter partisipasi yang ditawarkannya, karena itu, juga dibatasi oleh karakter ekonomi-politik masyarakat yang melandasinya.
*Tulisan ini sebelumnya disampaikan dalam diskusi Program Sarjana Muda yang diadakan oleh ruangrupa, Jakarta pada 19 November 2014.
Daftar Bacaan
Sejarah Permainan Video
Barton, Matt. 2008. Dungeons and Desktops: The History of Computer Role-Playing Games. Nattick, MA.: A.K. Peters.
Dillon, Roberto. 2011. The Golden Age of Video Games: The Birth of a Multibillion Dollar Industry. Boca Raton: CRC Press.
Dyer-Witheford, Nick and Greig De Peuter. 2009. Games of Empire: Global Capitalism and Video Games. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Kent, Steve L. 2001. The Ultimate History of Video Games: From Pong to Pokemon and Beyond—The Story Behind the Craze that Touched Our Lives and Changed the World. New York: Three Rivers Press.
Loguidice, Bill and Matt Barton. 2009. Vintage Games: An Insider Look at the History of the Most Influential Games of All Time. Burlington: Focal Press.
Wolf, Mark J.P, ed. 2008. The Video Game Explosion: A History from PONG to Playstation and Beyond. Connecticut: Greenwood Press.
——— . 2012. Before the Crash: Early Video Game History. Michigan: Wayne State University Press.
Estetika Permainan Video
Clarke, Andy and Grethe Mitchell. 2007. Videogames and Art. Bristol: Intellect.
Cogburn, Jon and Mark Silcox. 2008. Philosophy Through Video Games. London: Routledge.
Domsch, Sebastian. 2013. Storyplaying: Agency and Narrative in Video Games. Berlin: Walter de Gruyter.
Egenfeldt-Nielsen, Simon, Jonas Heide Smith and Susana Pajares Tosca. 2008. Understanding Video Games: The Essential Introduction. London: Routledge.
Jones, Steven E. 2008. The Meaning of Video Games: Gaming and Textual Strategies. London: Routledge.
Nitsche, Michael. 2009. Video Game Spaces: Image, Play and Structure in 3D Worlds. Cambridge, MA: The MIT Press.
Tavinor, Grant. 2009. The Art of Videogames. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Wolf, Mark J.P. and Bernard Perron, ed. 2003. The Video Game Theory Reader, 1. London: Routledge.
——— . 2009. The Video Game Theory Reader, 2. London: Routledge.