KENAIKAN harga-harga, apalagi karena kenaikan harga BBM, pasti membuat upah buruh tak lagi cukup untuk hidup layak. Celakanya, bila buruh memrotes soal kenaikan harga-harga dan upah yang tidak cukup untuk hidup layak, sontak kebanyakan kelas menengah mengecam dan menuduh tuntutan itu gak pantas, merugikan bisnis, memaksakan kehendak, dan merugikan ekonomi nasional. Tapi benar kah tuntutan buruh itu salah? Artikel yang ditulis di koran Inggris The Guardian, memuat kutipan berikut:
‘Brand representatives have privately admitted that higher wages deliver higher productivity and lower other costs such as absenteeism and employee turnover.
Perwakilan pemilik merk dagang, dalam kesempatan terbatas, mengakui bahwa upah yang lebih tinggi membawa produktivitas yang lebih tinggi pula dan menurunkan biaya-biaya lain, seperti problem buruh tidak bisa masuk kerja atau gonta ganti pekerja (karena tidak kuat bertahan kerja).’
Terlebih lagi upah layak/living wage (upah yang dibutuhkan untuk hidup bermartabat), begitu lanjut artikel tersebut, merupakan Hak Asasi Manusia! Ini tampak dari pengakuan yang tertuang dalam berbagai aturan internasional, seperti pada Pedoman PBB untuk bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Guiding Principles on Business and Human Rights).
Hidup layak itu dihasilkan dari cara hidup bersama yang layak pula – termasuk kelayakan mengelola energi yang dibutuhkan bersama. Kenaikan harga-harga yang dipicu oleh kenaikan biaya energi, khususnya dari kenaikan harga BBM, jelas menurunkan kualitas hidup layak kita secara bersama pula. Maka, sekarang tantangan keras buat Jokowi dan pendukung pencabutan subsidi BBM (yang ternyata tetap tidak dilakukan secara partisipatif, tak berbeda dengan cara rezim terdahulu) adalah membuktikan bahwa dampak kebijakan yang kalian paksakan ini tidak merampas upah untuk hidup layak. Yang terlihat hari-hari ini justru upaya hebat mempersalahkan para korban (blaming the victim) yang dituduh terbiasa hidup boros karena subsidi BBM (sic).
Pada dasarnya, kebijakan menaikkan harga BBM subsidi oleh Jokowi ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek Hidup Layak dalam kerangka Hak Asasi Manusia. Seperti juga pemerintahan SBY, argumentasi Jokowi dan pendukungnya adalah memaknai kenaikan harga BBM subsidi dalam bingkai untung rugi á la perusahaan/koorporasi. Rakyat diposisikan semata sebagai konsumen dari sebuah komoditas yang memiliki arti penting bagi operasi keuntungan perusahaan bernama ‘Republik Indonesia’.
Sekarang ini, untuk membangun konsep hidup layak dengan harga pasar maka pemerintah dan pendukungnya (intelektual, aktivis, dan media massa) gencar menghembuskan perasaan bersalah dan tudingan ‘Menanggung Dosa Mafia Migas’ kepada masyarakat yang menolak pencabutan subsidi BBM. Dipompakan kepada kita perasaan bahwa walau pahit tapi pencabutan subsidi BBM diperlukan untuk mengurangi borosnya konsumsi BBM untuk keperluan pribadi masyarakat — khususnya pengguna motor yang mayoritas menggunakan premium (BBM subsidi). Seolah kurang puas dengan dua jurus ini, sebuah jurus tambahan diluncurkan dengan menuduh masyarakat kecanduan memuja energi fosil (BBM) dan menutup ‘menutup kemungkinan akan adanya alternatif sumber energi yang lain.’
Hidup layak rakyat saat ini tak bisa dibantah sangat bergantung pada sumber energi BBM. Ketergantungan ini bersifat struktural ekonomi politik dan bukan problem mental rakyat ataupun kemiskinan imajinasi gerakan sosial tentang upaya mengatasi krisis energi. Mengacu pada data Bloomberg, kita dapat melihat bahwa dalam perbandingan dengan negara-negara lain maka ketidakmampuan mengonsumsi secara layak (unaffordability) BBM masyarakat di negeri kita telah sampai pada peringkat lima besar dunia. Untuk mengonsumsi 1 liter BBM dengan harga pasar dunia, setara dengan sekitar 11 persen dari upah satu hari dari rata-rata penduduk. Besaran pengeluaran yang jelas mengancam kemampuan rakyat kebanyakan untuk hidup layak secara bermartabat.
Berhadapan dengan problem konsumsi yang akut dan kronis tersebut, kita bertanya apakah rakyat telah diajak dalam perang mengurangi ketergantungan energi fosil yang terus didengungkan penguasa dan pendukung pencabutan subsidi BBM? Apakah selama belasan tahun argumen krisis energi yang diulang-ulang ini telah mengakibatkan berkurangnya juga jumlah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum) BBM setiap kali subsidi BBM dikurangi oleh negara? Sementara itu apakah bertambah pula jumlah SPBU Gas atau bahkan sumber energi lainnya? Jika rezim Jokowi sungguh-sungguh ingin mengajak rakyat memperjuangkan hidup layak dengan energi alternatif, maka tak bisa hanya mempersalahkan kebijakan pemerintahan-pemerintahan busuk sebelumnya. Bukan hanya menggunakan jurus bayar kompensasi dengan itikad mempertebal rasa bersalah rakyat yang kecewa.
Dengan membaca data BPS selama tujuh tahun terakhir, kita bisa menemukan bahwa tren yang terjadi adalah, semakin subsidi BBM dikurangi maka jumlah pemilik kendaraan pribadi semakin meningkat — yang boros konsumsi BBM-nya. Penjelasan logis atas data tersebut adalah, rakyat semakin berorientasi mengonsumsi BBM secara privat (dengan kendaraan pribadinya) karena terjadi peralihan pemberi ‘subsidi’ dari negara ke pemberi kredit barang konsumsi. Dalam kurun waktu 2005-2012, tidak terjadi pertambahan upah secara substansial — nilai upah riil tidak bertambah karena harga barang-barang justru lebih jauh lagi meningkat. Maka bisa dipastikan, pertambahan jumlah motor disebabkan oleh adanya kredit buat angsuran membeli motor dan mobil.
Jadi, singkatnya, penerima manfaat terbesar dari kebijakan pencabutan subsidi adalah: (1) kesejahteraan perusahaan finansial yang menyalurkan kredit-kredit konsumsi kendaraan pribadi; (2) perusahaan produsen kendaraan pribadi (motor dan mobil); dan (3) pengusaha transportasi, karena dalam kondisi yang terbentuk dari tidak adanya subsidi BBM maka masyarakat tidak bisa menolak membayar mahal untuk biaya transportasinya (karena mereka yang menolak sudah menyicil motor atau mobil) – perhatikan rencana pemerintah menaikkan ongkos kereta api segera setelah kenaikan harga BBM. Selain ketiga penerima manfaat tersebut, tentu saja kita harus menunjuk jari kita pada jaringan pedagang dan pengusaha yang terlibat dalam bisnis penjualan BBM.
Tidakkah dengan fakta-fakta sederhana di atas kita bisa menuding balik bahwa penerima kesejahteraan utama dari pencabutan subsidi itu adalah MAFIA? (Bandingkan dengan definisi mafia menurut ketua satgas (satuan tugas) mafia migas yang baru dibentuk di pemerintahan Jokowi). Layak kah kita larut dalam perasaan berdosa utk kejahatan operasi kesejahteraan versi pemodal? Jawabannya jelas Tidak. Konsekuensinya, kita harus mengakhiri serangan terhadap hidup layak yang terus menerus dilancarkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang bersifat neoliberal. Karena hidup layak bukan seperti yang dikhotbahkan secara dangkal oleh Mario Teguh dan para pemberi maaf kenaikan harga BBM subsidi.***