JOKOWI baru saja mengumumkan kabinet. Hasilnya kita ketahui bersama: tak satu pun berasal dari kalangan relawan akar serabut, kelompok relawan ideologis yang betul-betul rela bekerja keras tanpa asupan vitamin dan gizi cukup. Sebagian wajah lama, pernah menjadi bagian dari rezim sebelumnya.
Semua orang sudah tahu bahwa Indonesia sedang dirundung masalah di berbagai bidang. Dan bagi para pendukung Jokowi, terutama relawan akar serabut, kemenangan Jokowi adalah kemenangan yang harus berkelanjutan dan pembentukan kabinet adalah anak tangga pertama dan paling utama. Karena itu Jokowi diharapkan merancang kabinet berisi orang-orang yang dikenal luas mempunyai gagasan progresif, berkomitmen terhadap perubahan, memiliki rekam jejak bersih—bukan orang-orang yang dekat dengan kalangan status quo.
Namun, tampaknya jauh panggang dari api: panggangnya di ujung kanan dan apinya nun jauh di kiri.
Kita dibuat menghela napas panjang ketika mendengar hasilnya. Sejumlah nama jelas jauh dari kesan progresif (bahkan dari kesan pun tidak), tak dikenal punya komitmen perubahan, jejak rekamnya meragukan, dekat dengan kalangan-kalangan lama yang bermasalah, serta pernah bertindak atau mengeluarkan pernyataan yang melukai perasaan korban pelanggaran HAM—atau setidaknya kita yang peduli dengan kemanusiaan.
Selang beberapa hari setelah pasangan Jokowi-JK dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014 lalu, Jokowi mengatakan, ia butuh masukan masyarakat soal siapa yang pantas layak masuk kabinet.
Sejumlah portal maya pun membuat daftar nama-nama yang layak menjadi menteri dan menyediakan kesempatan kepada pengunjung untuk memilih siapa saja yang dinilai cocok. Sebutlah misalnya jokowicentre.com, kabinetrakyat.org, aspirasikita.org, kabinetkita.org, kawalmenteri.org, dan detik.com. Lalu muncullah nama-nama pilihan terbanyak. Namun, upaya Jokowi menjaring calon menterinya tidak hanya bersandar kepada data statistik yang bersumber dari jejaring media on-line. Inilah realitas politik yang harus kita pahami sejak awal.
Jokowi meminta saran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK), dua lembaga negara yang berwenang menentukan bersih atau kotornya seseorang melalui harta dan rekam jejak transaksi keuangan. Hari rabu 22 Oktober 2014 lalu, Jokowi sedianya akan mengumumkan nama-nama menterinya. Tapi sejumlah nama dibubuhi warna kuning dan merah oleh KPK, sehingga pengumuman tertunda sampai 4 hari kemudian.
Memilih KPK dan PPTAK sebagai lembaga negara yang bisa memberikan masukan, adalah pilihan Jokowi yang tepat. Namun kita tidak pernah tahu, seperti apa cara kerja KPK dan PPTAK, serta apa saja hasil temuannya dalam proses itu. Lebih jauh lagi, kenapa hanya KPK dan PPTAK yang menjadi tempat Jokowi meminta saran? Kenapa Jokowi tidak meminta saran Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan lembaga negara terkait lainnya yang pernah berurusan dengan nama-nama calon menteri.
Meminta saran lembaga negara seperti Komnas HAM semestinya juga menjadi prioritas. Sebab, tangan yang kotor bukan hanya karena uang, tapi juga darah.
Beberapa hari sebelum pengumuman Kabinet Kerja, tepatnya saat Jokowi dilantik, aksi long march kelompok relawan ideologis pendukung Jokowi yang tergabung dalam Geruduk (Gerakan 20 Oktober), memberi sinyal kepada Jokowi agar tak perlu takut kepada kelompok oligark, karena banyak yang akan mendukungnya sepenuh hati.
Namun, Jokowi tampaknya gagal menangkap tanda terang itu. Para relawan Geruduk yang menyeruak masuk ke Istana Merdeka sesaat setelah pelantikan Jokowi, sebenarnya mengharapkan pidato politik dari pria kurus sederhana itu, pidato yang menggemakan Trisakti dan Nawacita, dua kata kunci penting bagi ide Revolusi Mental. Tapi semua sirna. Suasana pelantikan berlanjut dengan selebrasi di Monas, tumpeng dipotong dan pidato yang sudah sering kita dengar diulang-ulang, tanpa pernyataan politik yang punya dampak efektif.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa selebrasi di Monas adalah bentuk partisipasi rakyat. Namun sebetulnya partisipasi rakyat yang dibutuhkan oleh Jokowi bukan pesta pora sorak-sorai, melainkan: dukungan penuh atas gagasan Revolusi Mental-nya itu yang masih perlu dijabarkan agar lebih terang; dan peringatan jika dia lalai menjalankan cita-cita rakyat. Kenapa pernyataan politik perlu disampaikan oleh Jokowi? Kita tahu bahwa, pemerintahannya bisa saja digerogoti oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Belum lagi soal legislatif yang dikuasasi oleh Koalisi Merah Putih, kekuatan politik yang paling menentangnya menjabat presiden Indonesia.
Apa mau dikata, calon menteri sudah bukan calon lagi karena sudah dilantik. Yang bisa dilakukan saat ini adalah terus memberi peringatan kepada Jokowi dengan berbagai cara. Semestinya Jokowi menyadari bahwa yang memenangkannya bukan hanya para elit, tapi massa-rakyat yang sadar dan memiliki harapan besar terhadapnya. Dia menang bukan karena segelintir elit saja yang saat ini sedang kipas-kipas kegirangan karena telah berhasil meloloskan orang-orang ke kabinet.
Dan semestinya Jokowi masih bisa diberitahu. Bukankah itu yang diyakini oleh kita para pemilihnya, bahwa dia, Jokowi, lelaki kurus berwajah kampungan, bisa diajak bicara tanpa rasa takut akan diculik dan dibuang dari helikopter ke rawa-rawa tak bernama?
Harapan lain adalah langkah perombakan kabinet yang bisa diambil oleh Jokowi jika muncul tuntutan luas dari rakyat. Perombakan mungkin akan terlalu dini untuk dibicarakan, tapi bukan sebuah kemustahilan jika ada tekanan sosial dan politik yang diorganisir secara serius.
Tugas kita yang lain, tentunya, mempersiapkan sosok yang cakap dan bisa dipercaya bekerjasama dengan rakyat, figur tepat yang bisa membangunkan kita (atau kita ingatkan) setiap saat ketika lengah sebagai manusia yang seharusnya maju dalam segala bidang—ketika lalai dari cita-cita: berdikari secara ekonomi; berdaulat dalam politik; dan berkarakter dalam kebudayaan.
Tuan Presiden, selamat menempuh harapan baru dari pemilih Anda yang berakar serabut, harapan yang mungkin tidak diketahui atau sangat berbeda dengan sebagian nama-nama yang Tuan pilih menjadi menteri.***