KALAU Anda kebetulan masih Taman Kanak-kanak pada tahun 1998, tentu Anda tidak banyak mengalami bagaimana serdadu dan keserdaduan menjadi sangat penting dalam hidup sehari-hari Anda. Sejak seorang serdadu yang bernama Suharto jatuh dari kekuasaannya, serdadu tidak lagi menonjol. Paling tidak, itulah yang tampak di atas kertas. Namun, pada kenyataannya, manusia tegap berseragam itu tetaplah penting. Kalau dia naik angkot, tidak ada yang berani menarik bayaran. Jika dia menyodorkan uang, kenek angkot akan menerima. Kalau kurang, kenek tidak akan menagih. Tapi kalau kebanyakan, adalah kewajibannya mengembalikan
Itu serdadu yang prajurit, para tamtama rendahan. Di lapisan masyarakat kelas bawah, mereka dikenal cukup sebagai ‘anggota.’ Mereka ditakuti, paling tidak disegani, dengan kadar yang sama dengan ketakutan terhadap preman atau gentho. Masyarakat bawah seringkali sulit untuk membedakan antara ‘anggota’ dengan preman atau gentho ini. Keduanya sama-sama memiliki kekuatan fisik dan keberanian (baca: kenekatan). Kekuatan seperti itu cukup intimidatif untuk massa-rakyat yang hidup sehari-harinya sudah cukup sulit itu.
Kekuatan yang mengintimidasi inilah yang muncul di pikiran saya ketika seorang editor IndoPROGRESS menyodorkan usulan untuk menulis pengantar kliping ini. Yang dibahas kebetulan adalah sebuah buku yang ikut saya bidani kelahirannya sembilan belas tahun lampau. Buku ini adalah hasil dari sebuah kolaborasi aneh antara seorang antropolog post-strukturalis dengan pegawainya yang baru lulus perguruan tinggi. Lebih aneh lagi karena sang antropolog, dalam kehidupan sehari-harinya dipaksa untuk mengajar antropologi kepada mahasiswa-mahasiswa teologi. Saya tidak terlalu paham bagaimana antropologi bisa survive di kelas-kelas teologi.
Buku yang berjudul ‘ABRI: Siasat Kebudayaan 1945-1995’ itu sengaja dibikin untuk menyambut 50 tahun Indonesia merdeka. Tujuannya untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan itu adalah murni milik ABRI (baca: bukan milik rakyat) yang ketika itu belum memisahkan antara TNI dengan Polri. Perlu diingat bahwa saat buku itu ditulis, Indonesia sudah berada dibawah pemerintahan militer selama 29 tahun. Orang seperti saya hanya mengenal satu presiden. Kita juga tidak tahu kapan ini akan berakhir.
ABRI (sekarang disebut TNI) ketika itu tampak ‘normal.’ Tidak ada pemberontakan. Tidak ada demo. Tidak ada huru-hura politik. Korupsi bisa disembunyikan dengan sangat rapi dibalik karpet yang bernama Pembangunan. Segala sesuatu tampak tertib seperti militer. Dari atas sampai ke bawah. Jika presiden menginstruksikan senam pagi, maka seluruh negeri akan bersenam pagi. Jika presiden menghendaki petani menanam padi varietas unggul maka semua petani menanam apa yang dimaui presiden. Kalau tidak? Ada petugas ‘keamanan’ yang siap mencabut apa saja yang ‘mbalelo.’
Dari atas ke bawah, semua mengalir lancar: instruksi, perintah, himbauan, paksaan. Sementara dari bawah ke atas disumbat dengan rapi. Bukankah tidak perlu ada suara dari bawah? Karena itu hanya akan menimbulkan hiruk pikuk dan kekacauan. Pemerintah adalah bapakmu. Dalam kehidupan sehari-hari, engkau dibimbing oleh bapak-bapak anggota. Kau tidak perlu bingung memilih. Bapak-bapak anggota yang akan memilihkan untukmu. Semua akan aman damai sentosa gemah ripah loh jinawe!
Ketika itu TNI adalah tulang punggung aliran perintah dari atas ke bawah ini. Persoalan yang ingin kami gali ketika itu adalah mengapa massa-rakyat tampak jinak dan menerima begitu saja apa-apa yang disodorkan dari atas? Apakah karena ketakutan melawan perintah ‘bapak anggota’? Sekalipun tidak menyangkal faktor represi, kami beranggapan bahwa represi saja tidak cukup. Kami melihat ada semacam strategi dari pihak ABRI sendiri untuk membikin represi ini tampak normal. Buku ini membahas usaha penormalan itu.
Hasilnya adalah sebuah normalitas yang tidak ada pijakan dalam kenyataan (detached from reality). Misalnya, menjadi aneh ketika pihak ABRI mempopulerkan tarian Yosim Pancar dari Papua sementara mereka memerangi orang Papua. Namun, tidak itu saja yang terjadi. Bapak anggota ABRI ini juga hadir dalam segala macam perayaaan dan upacara: tujuhbelasan, hari pahlawan, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, bahkan di Hari Kartini sekalipun. ABRI dengan upacara. Peranan mereka sentral. Orang tidak perlu mengingat-ingat bahwa ABRI belum lahir ketika Sumpah Pemuda disumpahkan. Bahkan ABRI belum ada ketika kemerdekaan diproklamirkan.
Usaha penormalan itu juga dilakukan dengan mengaitkan ABRI dengan kepahlawanan. Sehingga gambaran yang diberikan adalah tanpa pamrih, selalu setia dan sedia berkorban untuk negara. Massa-rakyat tidak perlu melihat bahwa ABRI memiliki bisnis yang luar biasa besar. ABRI juga kekuatan politik yang punya kepentingan. Pendek kata, ABRI bersiasat untuk tampil normal dan tugas kami menguliti apa yang tampak normal itu.
Secara khusus pengantar ini ingin menyoroti bab V dari buku ini. Bab yang termaksud membahas tentang memori, memoar (sic!) dan biografi. Memori disini dipakai lebih dekat dengan pengertian kenang-kenangan. Sama seperti lirik lagu pop ‘Melodi Memori’ ciptaan Obbie Messakh yang menjadi hits di tahun 1980an. Bab ini memang membahas secara panjang lebar tentang banyaknya para elit militer yang mengeluarkan buku-buku biografi, baik yang ditulis sendiri (autobiography) maupun yang dituliskan oleh orang lain.
Buku-buku biografi yang ditulis kalangan militer tersebut ternyata bukan sekedar buku biografi dalam pengertian standar Barat. Buku-buku ini sebagian besar adalah kenang-kenangan (memori). Ia tidak berisi riwayat perjuangan hidup yang keras dalam meraih karier, seperti umumnya buku biografi di Barat. Melainkan kebanyakan buku-buku ini adalah tentang peranan para penulisnya di dalam ABRI.
Ada dua hal penting yang disorot dalam hal memoar ini. Pertama adalah biografi sebagai teks interogatif. Dalam hal ini buku biografi memberikan informasi baru yang eksklusif. Seperti dalam biografi Benny Moerdani, misalnya. Banyak orang tidak tahu bahwa Benny, penerima Bintang Sakti itu, sangat dekat dengan Sukarno dan bahkan pernah dijodohkan dengan salah satu putri Sukarno. Kedua adalah biografi sebagai politik masa lalu dan masa kini. Ketika mantan Kasad Jendral Soemitro (yang lebih populer di jalanan dengan sebutan Mitro Kebo) mengeluarkan buku biografinya, dengan segera informasi yang tertulis didalamnya memancing kemarahan Jendral Maraden Panggabean.
Konflik yang muncul akibat buku biografi tidak hilang seiring runtuhnya Orde Baru. Bahkan ada tanda-tanda menguat. Biografi dan memoar cukup disadari memiliki fungsi politik. Buku biografi biasanya dipakai untuk memperkenalkan sesorang yang ingin meraih jabatan politik. Namun ada yang lebih dari itu jika kita mengamati biografi dan memoar petingi militer Indonesia.
Ketika tahun 2009 Letjen Sintong Panjaitan mengeluarkan buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, dengan segera ia mendapat tentangan dari sesama bekas anggota militer. Buku Sintong mengungkap banyak informasi yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Penerbitan biografi ini menjadi sumber pertengkaran baru di kalangan perwira-perwira TNI. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa militer Indonesia bukanlah organisasi yang solid. Faksionalisme dan patronase sangat kuat mewarnai. Dengan demikian, kita pun mahfum bahwa pamrih di dalam tubuh militer juga sangat tinggi.
Lain daripada itu, tampak bahwa para petinggi militer yang menulis biografi ini memiliki kesadaran sejarah yang amat tinggi. Mereka ingin dicatat di dalam sejarah. Mereka tidak ingin dilupakan. Mereka tidak ingin hilang begitu saja. Kuburan saja tidak cukup untuk mereka. Mereka ingin abadi. Menjadi fosil dalam biografinya.
Unduh Bab 5: Memoar, Memori atau Biografi?
Atau
* Made Supriatna adalah peneliti dan jurnalis lepas