SEBAGAI hasil dinamika politik pemilu 2014, maka sejak hari Senin, 20 Oktober 2014 kemungkinan besar kita akan memiliki seorang presiden yang, mengutip editorial Daniel Dhakidae di website jurnal Prisma (16 Oktober 2014), mirip seekor “angsa lumpuh” (lame duck president). Presiden yang dipilih langsung namun berpotensi sangat lemah posisinya karena harus berhadapan dengan parlemen yang dikuasai oleh kubu koalisi partai-partai kandidat presiden yang kalah dalam pemilu 2014. Editorial tersebut mengingatkan, sebagai akibat besarnya kekuasaan oposisional di parlemen maka “setelah menang (pilpres 2014) sang presiden seolah-olah terputus tali pusar dengan rakyat yang melahirkannya”.
Tulisan terbaru dari Indonesianis sekaligus aktivis demokrasi asal Australia, Max Lane (16 Oktober 2014), juga mengingatkan bahwa sangat besar kemungkinannya bahwa kepresidenan Jokowi akan mengalami krisis pemerintahan akibat tantangan yang datang dari kubu oligarki Koalisi Merah Putih yang mendominasi parlemen. Lane menyatakan harapan dan pertanyaan pada kekuatan gerakan rakyat untuk melakukan mobilisasi dan transformasi guna membentuk kekuatan politik yang dapat mempengaruhi proses di parlemen. Potensi untuk itu tersedia dari kekecewaan rakyat luas yang menolak UU ‘Pilkada Tidak Langsung’ yang dihasilkan KMP melalui DPR baru-baru ini.
‘Tali pusar penghubung’ (Jokowi) dengan rakyat memang mungkin saja tidak terbatas pada kekuatan formal yang mendominasi parlemen, sebagaimana bingkai pertarungan elite di ranah institusi politik dalam opini Dhakidae. Namun bingkai Lane untuk berharap pada kemungkinan transformasi gerakan rakyat mengimbangi dinamika kekuatan elit di Parlemen, juga tidak serta merta akan membuat terjadinya hubungan organis antara rakyat dengan Jokowi. Hubungan organis yang teruji melampaui pawai-pawai kampanye. Hambatan yang luas membentang perlu diperhatikan juga datang dari penetrasi jaringan oligarki dalam barisan pendukung Jokowi.
Memang Jokowi adalah presiden pemenang pemilu dengan bermodalkan citra kesederhanaan sebagai kebalikan dari citra mayoritas politisi di republik ini. Tapi 10 tahun di era SBY, sebagai presiden pencitraan, harusnya cukup memberi pelajaran bahwa kekuasaan dan kebijaksanaan politik adalah soal pertarungan kepentingan ekonomi politik yang nyata di dalam masyarakat. Bingkai citra seharusnya jangan lagi membuat daya politik masyarakat dalam ruang demokrasi tidak memiliki kemampuan kreatif dan inovatif dalam menghasilkan strategi dan politik baru. Politik tidak harus dipahami sebagai suatu jalinan yang statis dan linear. Pertarungan yang nyatalah yang mempengaruhi dinamika struktur berkait dengan citra yang nampak di permukaan.
Rakyat butuh bingkai baru yang mampu mewujudkan hubungan organis antara rakyat dan kekuatan politik formal, sehingga mampu membuat rakyat terlibat dalam melawan oligarki, politik warisan orde baru, dan kebijakan neoliberal yang telah mencengkeram semua pemerintahan pasca 1998. Situasi akan berkembang cukup rumit bagi kita yang senang dan nyaman dengan analisa berbingkai hitam putih saja, analisa orang baik versus orang jahat, ataupun analisa tanpa ruang buat pertarungan politik bagi massa rakyat berhadapan dengan dominasi elit. Jokowi bukan solusi untuk semua persoalan, tapi juga tidak bisa naif menganalisa kesempatan untuk memajukan kemungkinan-kemungkinan dari pertarungan di antara oligarki dan elit.
Untuk itu kita mungkin perlu secara serius membuka lagi sejarah rezim Gus Dur yang hanya berumur singkat. Kondisi yang dilingkupi keterbatasan dan kepungan elite-elite oportunis dan pewaris politik Orde Baru, telah mendorong Gus Dur mengikuti formula ‘transisi menuju demokrasi’ yang menganjurkan arti penting konsolidasi elit demi tersedianya stabilitas politik. Tragedi dimulai semenjak dini hari reformasi 98, ketika ‘Perjanjian Ciganjur’ berhasil memfasilitasi konsolidasi elit yang justru mematikan energi perlawanan gerakan rakyat dan memberikan banyak kompromi dan konsesi pada elit-elit busuk dan penuh tipu daya. Gus Dur tidak pernah berhasil membangun rezim politik yang memanfaatkan energi perubahan yang sangat besar di massa rakyat kala itu. Akibatnya yang terjadi adalah ia dijungkalkan dari jabatannya sebagai Presiden oleh para elite yang menjadi prioritasnya untuk dirangkul.
Prabowo baru-baru ini melansir surat terbuka tentang posisinya terhadap kepresidenan Jokowi. Secara implisit dalam surat itu ia mengakui kemenangan Jokowi, namun sekaligus mendorong berbagi kekuasaan, dan ancaman halus untuk bertindak bila keadaan memungkinkan. Tak lama berselang kita menyaksikan berita kemesraan antara Jokowi yang blusukan menemui elite politisi KMP seperti Aburizal Bakrie maupun Prabowo. Khalayak banyak bergembira dan memuji pertemuan itu sebagai pertanda baik bagi politik nasional, bahwa tidak akan ada gejolak politik lanjutan dari perseteruan anti oligarki, anti Orde Baru yang memanas sejak masa pilpres. Respon yang mirip dengan kabar kemesraan elite politik pasca ‘Pertemuan Ciganjur 98’ yang disangka akan menghasilkan ‘perdamaian’ dan ‘stabilitas’ demi komitmen bersama buat reformasi.
Terlalu dini untuk meramalkan apa yang akan terjadi dalam rezim baru dengan Jokowi sebagai presiden Republik ini. Untuk itu, kita butuh pengetahuan baru untuk membentuk bingkai pemahaman baru tentang apa yang bisa dan harus dimenangkan dalam rezim yang baru ini. Pengetahuan yang hanya mungkin tumbuh kalau kaum progresif dan rakyat terkonsolidasi mengorganisir perjuangan untuk bertarung dengan cerdik dan keras merebut posisi dan agenda-agenda strategis dalam ruang politik rezim baru. Kini saatnya membuktikan kita bisa belajar untuk bertarung ke luar dari bingkai politik semata yang diinginkan elite dan kaum oportunis.***