DI TENGAH-tengah heboh disahkannya UU Pilkada oleh DPR pada 26 September 2014, kita tak boleh lupa bahwa beberapa hari sebelumnya, terjadi tawuran TNI dan Polisi di Batam. Tawuran ini menyebabkan tertembaknya empat personil TNI oleh Polisi. Dalam tawuran ini tampaknya skor kemenangan 1:0 ada pada polisi, yang sebelumnya selalu dipecundangi oleh TNI dalam berbagai ajang tawuran sebelumnya.
Tentu saja tawuran kedua institusi bersenjata ini bukan hal baru. Dari tahun ke tahun setelah tumbangnya Orde Baru, polisi dan tentara sudah kerap ‘bertempur’. Dan seperti biasa, tawuran ini diselesaikan begitu saja di tingkat panglima untuk kemudian muncul kembali tawuran berikutnya. Tidak ada penyelesaian hukum yang terbuka kepada publik (seperti layaknya tawuran anak SMA, atau antar mahasiswa), sehingga publik bisa mengetahui mengapa kedua lembaga super power di Indonesia ini bisa tawuran. Publik pun sepertinya sudah maklum, kalau Polisi dan TNI tawuran, ya tawuran saja, walaupun dalam tawuran itu seringkali jatuh korban di pihak sipil akibat salah tembak peluru nyasar, misalnya.
Kembali ke Batam. Kenapa terjadi tawuran antara Polisi dan TNI? Jangan tanya pada keduanya. Jangan tanyakan pula, siapa yang salah. Berita samar-sama di koran berbahasa Inggris menyebutkan bahwa pemicu tawuran ini sebenarnya adalah konflik ekonomi yang berkaitan dengan kelangkaan dan peredaran BBM liar di pasaran. Penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap lokasi yang diduga menimbun BBM, ternyata ada dalam wilayah ‘perlindungan’ TNI.
Jika soalnya adalah rebutan kapling kepentingan ekonomi, maka tawuran antara Polisi vs TNI ini tidak akan pernah selesai di tingkat panglima. Soalnya berhulu pada sistem dan ideologi pertahanan nasional kita yang dianut TNI. Dengan ideologi Perang Semestanya, yang secara kelembagaan diwujudkan melalui keberadaan struktur komando teritorial TNI dari pusat hingga ke desa-desa, maka TNI secara politik keamanan ‘merasa’ terpanggil dan berhak untuk turut campur dalam urusan publik sehari-hari. Urusan publik ini bisa berupa urusan politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum. Dengan kekuasaan dan kewenanangan istimewanya dalam penggunaan senjata, maka TNI sebenarnya berada di atas dan karenanya kebal hukum. Kasus penembakan brutal tahanan di penjara Cebongan, Yogyakarta beberapa tahun lalu, adalah salah satu buktinya. Pada titik inilah maka potensi untuk bentrok dengan Polri, yang juga memiliki struktur komando teritorial yang sama dengan TNI, menjadi sangat mungkin.
Kedua, ideologi Perang Semesta plus keberadaan struktur komando teritorial jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembiayaannya. Di masa damai, dana-dana ini berasal dari sumber resmi seperti tercantum dalam APBN, tetapi juga berasal dari dana-dana siluman, baik dalam bentuk keterlibatan TNI (terbuka maupun terselubung) dalam bisnis, perlindungan bisnis TNI terhadap usaha-usaha korporasi, serta praktik korup para panglima dan prajuritnya. Jelas saja bahwa hal yang sama dilakukan oleh Polri, sehingga memunculkan konflik kepentingan dan akhirnya berujung tawuran di antara keduanya.
Ketiga, lima belas tahun setelah reformasi kita dapati fakta bahwa seluruh tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kedua institusi ini, terutama TNI, tidak bisa dibawa ke wilayah hukum sipil. TNI menganggap bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan anggotanya hanya bisa diadili di pengadilan militer, walaupun pelanggaran tersebut berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan urusan militer, seperti perang. Ketika prajurit TNI menembak mati warga sipil yang tidak berdaya, maka si prajurit tidak bisa dibawa ke pengadilan sipil. Ketika TNI melakukan tindakan korupsi, maka pihak KPK tidak bisa melakukan tindakan penyelidikan terhadapnya. Ketika Kompolnas menengarai terjadi praktik korupsi di tubuh Polri, lembaga ini langsung bereaksi negatif dan hendak mengkriminalkan anggota Kompolnas Adrianus Meliala, yang pertama kali mengangkat isu itu.
Intinya, dalam lima belas tahun reformasi ini, bisa dikatakan kita tidak sepenuhnya berhasil mengontrol lembaga TNI dan Polri agar tunduk pada politik sipil. Kondisi ini diperparah dengan performa para politisi sipil dan partai politik yang sangat buruk. Akibatnya, reformasi di tubuh TNI-Polri berjalan tersendat-sendat tidak hanya akibat perlawanan dari kedua institusi ini, melainkan juga akibat ketidakbecusan partai politik dalam mengelola kehidupan politik sipil. Tawuran TNI vs Polri, dengan demikian adalah cerminan dari masalah politik nasional yang terjadi selama ini.***