POLEMIK tentang desentralisasi politik bergulir lagi di hadapan kita beberapa waktu terakhir ini. Yang satu, terjadi di tanah air terkait rencana penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) lansung oleh koalisi oligarki merah putih. Yang kedua terjadi sekitar 12 ribuan kilometer jauhnya dari negeri kita, yaitu di Britania Raya. Di sana, rakyat bangsa Skotlandia harus melakukan referendum untuk menentukan apakah mereka masih mau bersatu dengan kekuasaan yang bersentral di negara-bangsa Inggris atau berpisah menjadi negara merdeka.
Hasil dan perkembangan dari kedua peristiwa tersebut menarik diikuti. Di Skotlandia hasil referendum menentukan bahwa penduduk negeri itu memilih tetap bergabung dengan Kerajaan Britania Raya, dengan selisih kemenangan 4 persen (sekitar 400 ribu) suara. Sementara rencana penghapusan pilkada langsung masih belum tuntas, proses di DPR masih berlangsung dengan belokan di tikungan yang mengejutkan. Uniknya SBY secara tergopoh-gopoh menyatakan tidak mendukung kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagaimana aspirasi dari koalisi merah putih selama ini. Unik karena SBY adalah kepala pemerintahan dan ketua umum Partai Demokrat, yang justru memotori inisiatif penghapusan pilkada langsung.
Ada suara yang bertanya apa beda dan gunanya pilkada langsung? Bukankah pilkada langsung menyebabkan maraknya politik uang dan telah menghasilkan begitu banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi? Kritik lain juga karena biaya penyelenggaraan pilkada jauh lebih besar ketimbang bila pemilihan dilakukan oleh para anggota DPRD. Pilkada dikritik juga karena menyita banyak waktu rakyat untuk terlibat dalam sekitar 502 pemilihan kapubaten/kotamadya dan 32 pemilihan provinsi (kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang karena status istimewanya tidak melakukan pemilihan langsung)
Suara sumbang juga mempertanyakan apa guna dan bedanya Skotlandia menjadi negara merdeka? Skotlandia saat ini pemerintahan dan parlemennya tidak dikuasai oleh partai kiri melainkan oleh partai nasionalis (Scottish Nationalist Party), yang dikritik bergaris politik reaksioner karena kecenderungan memisahkan dirinya dari Inggris. Skeptisisme pada ide Skotlandia merdeka, berdasarkan pula pada perbandingan dengan pengalaman Irlandia yang merdeka dari Inggris secara resmi sejak tahun 1948 dan ternyata tetap menjalankan ekonomi politik kapitalisme – bahkan Irlandia adalah salah satu negara yang terpukul paling hebat dari krisis ekonomi termutakhir yang melanda Eropa dan Amerika. Skotlandia merdeka juga dikritik karena tidak akan memperkuat persatuan perjuangan kelas pekerja di seluruh Britania Raya, karena besarnya ketergantungan ekonomi mereka pada industri minyak.
Paparan editorial ini dapat dikritik dengan tudingan tidak memperbandingkan ‘apel dengan apel’. Fenomena yang pertama adalah soal pemilihan langsung kepala daerah dalam kerangka desentralisasi dalam satu negara yang bersatu, sementara fenomena yang kedua adalah pemisahan menjadi dua negara yang berbeda. Jawabannya, perbandingan tidaklah selalu berguna dilakukan di antara apel tapi juga dengan buah lain yang memiliki irisan substansial dalam elemen yang diperbadingkannya. Perlu memperbandingkan apel dengan buah lain yang juga kaya kandungan anti oksidannya, seperti kiwi, stroberi, kismis, anggur, blackberry, dll. Dalam perbandingan antara pilkada langsung dan kemerdekaan Skotlandia (juga mungkin disusul oleh Catalonia yang sekarang bergabung dengan Spanyol, dll) kita memperbandingkan dimensi kesetaraan ekonomi politik (political equality) yang didapatkan rakyat.
Kekuasaan ekonomi dan politik terlampau tebal diselubungi oleh kabut legal-formal dan peliknya soal prosedur, sehingga kita lupa alasan utama adanya perjuangan politik: kesetaraan. Persoalan utamanya pada prosedur dan kelembagaan politik yang harus tersentralisasi dan terdesentralisasi ada pada soal kesetaraan mengakses kesejahteraan dan kendali atas politik oleh rakyat. Begitu juga negara yang merdeka dapat didasarkan pada faktor pengikat berupa identitas kebangsaan (nasionalisme), tapi beberapa negara bangsa dapat pula bersatu membentuk republik federasi demi cita-cita keadilan sosial bersama, seperti dicontohkan oleh Republik Sosialis Uni Sovyet, Republik Sosialis Yugoslavia, adanya daerah otonomi di Republik Rakyat Tiongkok, atau bahkan ide dasar republik pada negara Amerika Serikat.
Sialnya, dalam puluhan tahun era sterilisasi ideologi pengetahuan tentang politik dan pemerintahan, semenjak dominasi neoliberalisme paska berakhirnya perang dingin, maka imajinasi politik kita terkungkung oleh satu mantra yang punya satu tarikan nafas: ‘efektif dan efisien.’ Desentralisasi dipromosikan, sejak awal, lebih karena diyakini mengurangi beban fiskal pemerintah pusat sehingga persoalan anggaran negara diharapkan menjadi lebih efisien. Demokratisasi di tingkat lokal didisain bersifat harmonis sebagai hasil dari masyarakat sipil yang bersemangat mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengawasi efektivitas kerja pemerintah daerah. Sementara, Britania Raya dipromosikan sebagai ‘better together’ (lebih baik bersama) karena membuat negara bersatu itu lebih efektif dalam posisinya, terutama dalam persaingan antar negara di Eropa.
Selalu dalam wacana ‘efektif dan efisien’ itu kita seringkali lupa bertanya, untuk siapa rupanya tujuan tersebut? Efektif dan efisien sebagai suatu wacana, punya hubungan erat dengan operasi kekuasaan korporasi (perusahaan) yang membutuhkan prinsip itu demi mencapai profit yang paling maksimal. Sementara itu dalam politik, apalagi yang bersifat radikal dan bertujuan progresif, profit tidak menjadi orientasi utama. Profit bahkan bisa menjadi musuh yang ganas karena kecenderungan terjadinya ketidaksetaraan sebagai imbalan dari nafsu mengejar pertumbuhan profit yang selalu dijanjikan akan menetes ke bawah (trickle down effect). Kesetaraaan dapat mengekang pertumbuhan dan kendali nyaris tanpa batas dari kekuatan terorganisir yang dapat memonopoli kekuasaan dalam masyarakat.
Konteks penolakan kubu oligarki terhadap pilkada langsung ataupun status quo terhadap kemerdekaan Skotlandia adalah melawan kesetaraan politik, yang meski belum besar, tapi terus berkembang sehingga membahayakan kepentingan mereka. Tentu saja dalam perlawanan politik tersebut ada campur aduk kelompok yang kepentingannya satu sama lain bisa saling bertentangan. Tetapi jelas bahwa kekuasaan harus dibagi dan suara orang banyak semakin menjadi faktor yang tak bisa disepelekan dalam praktek politik yang sebelumnya berlangsung ‘normal’ dan menguntungkan para politisi korup.
Rakyat Skotlandia yang sebelumnya apatis dengan politik, kini bangkit dengan kesadaran bahwa persoalan yang mereka hadapi adalah kekuasaan neoliberalisme dengan kebijakan pemotongan subsidi dan anggaran kesejahteraan sosial (austerity) yang telah dengan ganas menggerus negara kesejahteraan dan demokrasi sosial yang selama ratusan tahun menjadi gagasan politik yang menyala dalam perjuangan intelektual dan rakyat pekerja di sana. Politik anti neoliberal, khususnya perlawanan terhadap ‘politik efektif-efisien’ ala austerity harusnya akan semakin tajam. Desentralisasi dan otonomi Skotlandia terhadap Inggris, mestinya menjadi semakin kuat paska referendum ini. Sementara itu di Indonesia, kita berharap bahwa rakyat pekerja juga terbangun dan mengambil posisi membela pilkada langsung demi kepentingan strategis melawan oligarki dan mewujudkan kesejahteraan dan demokrasi sosial sejak tingkat lokal. Tentu saja ada argumen yang menunjukkan bahwa calon independen, apalagi yang berasal dari kelas pekerja, masih minim yang bertarung dalam pilkada apalagi memenanginya. Tapi kita harus mencermati adanya ruang politik yang terbentuk dalam beberapa tahun terakhir dimana aspirasi politik kesejahteraan sosial semakin meningkat dan terus mendesak sebagai agenda yang harus dibicarakan dan dijanjikan secara serius oleh para kandidat kepada pemilih yang mayoritas rakyat pekerja. Atas dasar itulah argumen efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Pilkada dan kehendak memberantas para pelaku korupsi di kalangan pejabat pemerintahan daerah, tidak harus memberangus hak politik rakyat untuk terus mewujudkan kesetaraan politik.
Karena itu, penting kembali memahami tujuan utama politik kaum progresif, yakni universalisme kesejahteraan dan internasionalisme. Selain itu penting menghadirkan sistem politik dengan keseimbangan kekuatan (balance of powerI) demokratik yang mengabdi pada kesetaraan ekonomi dan politik. De/Sentralisasi dan demokrasi dalam tradisi kiri progresif mengejawantah dalam semangat ‘Sentralisme Demokrasi’. Demokrasi membutuhkan pembagian dan pendelegasian kekuasaan untuk memperkuat kapasitas rakyat dalam mengajukan kebutuhan dan kepentingannya, sehingga untuk itu, kadang kala, kita butuh desentralisasi cara berkuasa. Tapi tujuan utama mengubah kapitalisme membutuhkan juga sentralisasi kekuatan bersama, dimana kesatuan bertindak menjadi bentuk konkritnya. Kita tidak fanatik buta pada model pengaturan kuasa yang tersentralisasi atau yang terdesentralisasi, keduanya harus diletakkan dalam konteks dan relasi struktural politiknya. Pilkada langsung ataupun kemerdekaan punya arti ketika rakyat bergerak untuk kesetaraan ekonomi dan politik melawan neoliberalisme dan oligarki.***