MENURUT banyak antropolog dan ahli genetik, simpanse adalah primata yang paling dekat dengan manusia dalam tahap evolusi. Mereka bisa punya perasaan, organisasi sosial, politik, bahkan sistem perang. Tapi antropolog-antropolog dan para ahli genetik itu tidak tahu, bahwa para peneliti sebelum mereka, yang pernah mereka tampik karena dinilai tidak manusiawi, sesungguhnya benar. Ya, beberapa ratus tahun yang lalu, beberapa pengikut Darwin memformulasikan sebuah tesis penting yang dilupakan dari sebuah usaha besar mencari spesies-spesies prasejarah yang konon sudah punah. Mereka bicara soal bangsa-bangsa yang tinggal di Asia, Afrika dan Australia. Bangsa-bangsa yang evolusinya dinilai belum selesai dan bahkan tahapnya berada jauh di bawah Homo Sapiens-sapiens, atau manusia yang berakal budi.
Tentunya penelitian dan tesis yang diajukan tersebut banyak kelemahan, karena bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Australia secara fisik memang sudah homo sapiens-sapiens. Banyak dari mereka sudah mampu berpikir logis, mencipta teknologi dan mampu melakukan apa yang mampu dilakukan manusia kromagnon Eropa. Penelitian mencari manusia prasejarah akhirnya berhenti di situ. Yang tersisa adalah para peneliti amatir yang sibuk mencari Bigfoot/sasquatch di Amerika, atau Yeti di Tibet. Akhirnya ini menjadi folklore saja, bukannya sains.
Padahal jika pencarian spesies manusia prasejarah ini diteruskan dengan optimis dan keterbukaan pikiran serta kesabaran menunggu dan mengobservasi fenomena, maka kita akan menemukan ini di banyak tempat di Asia, Afrika dan Australia. Kita akan menemukan manusia-manusia yang tak mampu berpikir logis dan deduktif, tidak mampu belajar logika walau sudah diajari, bahkan pendidikan hingga tingkat post-doctoral tak mampu membuat mereka menjadi cerdas. Kita bisa menemukannya di Somalia, di Iran dan Syiria, dan di Jakarta. Ya, salah satu contohnya baru kita lihat tadi malam hingga dini hari di Rapat Paripurna MPR/DPR.
Saya akan mempermudahnya agar lebih gampang Anda cerna. Bayangkan di sebuah hutan di Congo, ada beberapa kelompok simpanse. Mari kita sebut kelompok-kelompok simpanse ini fraksi. Supaya akrab dengan dunia kita, pembaca Indonesia, maka kita sebut fraksi-fraksi simpanse ini GERINDRA, PKS, PAN, PPP, dan Golkar. Gabungan fraksi-fraksi itu menamakan diri mereka Koalisi Monyet Merah-Putih. Mereka sedang berseteru dengan fraksi-fraksi yang lebih kecil yaitu PDIP, PKB, dan HANURA. Sementara itu ada juga sebuah fraksi yang ketuanya jadi alpha male keseluruhan komunitas ini, namanya Fraksi Demokrat. Ketuanya seekor simpanse tua yang besar seperti gorila, tapi pasifnya seperti orang utan yang bernama Susila.
Sekali lagi saya tegaskan, cerita ini terjadi di hutan di Congo. Bukan di Jakarta. Nama-namanya saja yang sengaja saya samakan agar kita gampang mencerna.
Monyet-monyet ini, seperti biasanya tradisi simpanse, mulai rapat dan berteriak-teriak, bercanda-canda, lalu marah-marah. Loncat-loncat, teriak-teriak, marah-marah, lalu tertawa-tawa. Ini sudah jelas menandakan cacatnya syaraf motorik mereka dan kegagalan logika mereka untuk berpikir terstruktur dan logis. Saling selak, saling interupsi, saling pakai tarian-tarian kejantanan, lempar-lempar daun adalah hal yang biasa dalam komunitas simpanse seperti ini. Namun sesungguhnya, mereka sebenarnya sedang mengadakan rapat sekaligus pertunjukkan besar demi merebut kekuasaan dari seluruh rimba raya.
Seharian penuh mereka kumpul di lobby hutan buat bercengkrama, ketawa-ketiwi, dan merencanakan bagaimana agar mereka bisa menguasai hutan. Mereka juga mengkreasi sebuah cara agar wartawan-wartawan alam dari National Geographic bisa terkesima dan senang dengan rapat mereka. Mereka ingin menunjukkan image pada para wartawan itu bahwa mereka sudah cerdas dan sudah dekat dengan evolusi homo sapiens. Lantas, terjadilah kejadian ini: mereka menginginkan adanya voting untuk menentukan apakah Pilkada harus langsung atau lewat DPRD—yaitu monyet-monyet yang ada di cabang-cabang fraksi yang tersebar di seluruh rimba raya. Pemimpin Rapat berasal dari fraksi yang ingin kekuasaan penuh dikontrol oleh komunitas monyet DPR dan partai-partai. Namanya Priya. Ia selalu berusaha bercanda, ketawa-ketiwi, terkadang panik dan melotot, angkat tangan, menggunakan bahasa isyarat jari yang maknanya ia pun tak tahu
Fraksi simpanse Demokrat dari si Alpha Male Simpanse Besar Yunowhu, sok-sok–an bilang: ‘Orghughhhgghhurghgurghugrgrgrrooookk…’ yang terjemahannya adalah: ‘Kami mengajukan opsi ketiga, pemilihan langsung dengan 10 syarat.’ Apa yang dilakukan Fraksi simpanse Demokrat ini hanya demi (1) bikin keributan lalu selfie-selfie di depan kamera Nat Geo, seperti yang dilakukan simpanse botak bernama Luhut Sitompul, yang ketika keributan berlangsung mengacungkan symbol ‘peace’ sambil melihat kamera dan tertawa-tawa—padahal keputusan yang harus diambilnya adalah demi monyet-monyet yang telah memilihnya. Setelah itu (2) mereka pergi dari rapat monyet paripurna dengan alasan ingin netral dan menyelesaikan konflik yang tadi mereka bikin sendiri.
Setelah itu monyet-monyet tersebut berteriak-teriak lagi dan pempimpin monyet bernama Priya dengan sok bijak memberi hak bicara sambil cengar-cengir, karena ia tahu, apapun yang dikatakan, argumentasi apapun, monyet-monyet dari para fraksi yang menamakan diri Koalisi Monyet Merah-Putih itu pasti menang karena fraksi monyet Demokrat sudah ke luar gedung. Ingat, mereka monyet. Jadi tidak bisa berargumen. Akhirnya sudah diketahui, para monyet dari Koalisi Monyet Merah-Putih itu menang. Sehabis itu mereka memutuskan membubarkan diri lalu foto-foto lagi. Mumpung ada wartawan National Geographic.
Itu kejadian di Congo. Sayangnya, para pembuat dokumenter dan fotografer National Geographic ada di sana dan bukan di Jakarta. Karena di Jakarta terjadi hal yang sama persis di gedung MPR/DPR Senayan. Bedanya di sini, monyet-monyetnya berwujud homo sapiens-sapiens. Di Jakarta secara khusus, dan Indonesia secara umum, sebenarnya kita bisa menemukan ‘the missing chain’ atau rantai yang hilang dari evolusi manusia: banyak manusia Indonesia mudah lupa, tidak logis, gampang terbawa berita bohong, mudah ditipu dan tidak menghargai kematian manusia-manusia yang berjuang demi kecerdasan dan hak suara mereka.
Psikolog Steven Pinker menulis dalam bukunya The Better Angels of Our Nature (2011), menggunakan teori Leviathan dari Thomas Hobbes untuk membahas kemajuan evolusi manusia dari binatang yang agresif menjadi manusia yang pasif. Menurut Pinker, Leviathan-nya Hobbes yang mewujud di pemerintahan Negara semakin disempurnakan hari ke hari dengan memberikan hak suara pada rakyat. Dan rakyat dengan sadar memilih dan menggunakan pemerintah sebagai mesin yang mewakili mereka, mengontrol mereka. Mereka pun ikut perintah pemerintah dengan logika bahwa yang mereka pilih dan mewakili mereka akan menjadi Leviathan yang efektif untuk mengatur hidup mereka.
Ketika Leviathan atau pemerintahan ini kembali ke abad pertengahan, dimana kebijakan dipegang oleh monarki atau oligarki elit, maka yang terjadi nanti adalah opresi kekerasan oleh pemerintah dan pengkhianatan sipil (civil treason), seperti yang terjadi di zaman itu juga. Karena raja dan bangsawan seenaknya memilih ksatrianya dan dengan bebas dan tak tahu malu menindas rakyatnya yang pasif. Di dalam rapat tadi malam kita temukan bukan hanya kemunduran demokrasi, tapi kemunduran evolusi.
Tapi jangan salah. Kita bukan hanya diwakili oleh parlemen dengan perilaku seperti monyet. Kita juga dikelilingi segelintir rakyat yang seperti monyet. Rakyat yang diam dan menurut pada alpha male dan kelompok berkuasa tanpa mampu melawan. Rakyat yang tidak percaya diri untuk diberi hak suara dan monyet yang dengan gampang mengklik website sembarangan lalu berteriak-teriak. Karena itu, ada saja yang mendukung pengambilalihan kekuasaan seperti ini hanya untuk kembali menjadi monyet.
Para kepala daerah yang dipilih secara langsung dituduh DPR tidak berjalan baik. Rakyat dituduh belum saatnya memilih, karena, kata mereka, otak rakyat masih naif—seperti manusia prasejarah. Padahal, walau banyak daerah yang terkesan feudal dan pemimpin daerah banyak yang terlibat kasus korupsi dan skandal (seperti Gubernur Riau yang baru diciduk KPK, atau Ratu Atut dari Banten), kita juga menemukan pemimpin-pemimpin daerah yang berjalan baik dan efektif justru karena dipilih langsung oleh rakyat, seperti Ahok di Jakarta atau Ridwan Kamil di Bandung. Para manusia prasejarah di DPR ingin menjaga rakyat Indonesia untuk tetap menjadi prasejarah, atau lebih bagus lagi, menjadi monyet saja. Dan mereka separuh berhasil. Karena ada saja rakyat yang pemimpinnya tidak terpilih, berteriak-teriak seperti monyet cerewet yang tak mau kalah—bukannya jadi legowo dan logis seperti manusia yang bermartabat.
Sisanya terserah kita. Apa kita manusia dalam wujud manusia, atau manusia prasejarah dalam wujud manusia modern? Itu kita yang harus memilih. Kita harus berpikir dan dengan demikian kita yang harus bertindak. Karena kalau kita manusia yang mampu berpikir, sungguh tak logis ketika kita membiarkan hak suara kita dalam memilih pemimpin diambil oleh golongan oligarki yang selama ini tidak terlihat kinerjanya, besar korupsinya, banyak skandalnya, dan ketika rapat mencontoh monyet-monyet di Congo.***