Kalau November tiba bertandanglah ke Kyoto! Kita pasti akan disambut oleh pelukan alam nan permai dalam keindahan warna-warni musim rontok. Sebelum akhirnya berguguran, pada bulan kesebelas itu dedaunan berubah warna: maka tidak hanya hijau belaka, tapi lebih meriah lagi karena juga ada merah, kuning, oranye, coklat, bahkan kebiru-biruan. Rupanya begitulah cara mereka berpekik-seru seolah meronta supaya tak dirontokkan oleh suhu yang terus mendingin. Tapi alam memang tanpa ampun. Pada bulan Desember, tatkala salju bak bulu-bulu lembut luruh dari angkasa, sebagian besar tanaman sudah gundul, tak berdaun lagi. Kita, yang sudah terbiasa dengan kehangatan tropis, selalu punya bayangan romantis tentang salju. Akibatnya satu unsur penting terlupakan: udara dingin. Mengapakah gerangan dingin sering dilupakan kalau kita terlalu berasyik-masyuk dalam romantisasi salju? Percayalah: dia takkan pernah bisa kita ceraikan dari hawa dingin. Maka, November adalah bulan paling tepat untuk melawat ke Kyoto, tatkala alam begitu riuh rendah dalam warna dan warni; tetapi hawa masih belum terlampau dingin.
Salah satu cara menikmati keindahan musim gugur seperti itu adalah bersepeda di pinggiran Sungai Kamo yang membelah Kyoto dari utara ke selatan. Tapi sepedaan itu sebaiknya dilakukan terbalik: dari Kyoto Eki (Stasiun Kyoto) di selatan ke Kurama Yama (Gunung Kurama) di sebelah utara. Sebenarnya tak perlu benar-benar sejauh itu, apalagi sampai harus mendaki gunung dengan bersepeda. Sekitar lima kilometeran dari Kyoto Eki, di sepanjang Sungai Kamo, kita akan sampai pada apa yang disebut Demachi. Pada delta perceraian Sungai Kamo dari Sungai Takano itu kita bisa rehat, duduk-duduk sambil mengagumi warna-warni yang terbentang pada tiga gunung yang merengkuhi Kyoto: Gunung Kurama di sebelah kiri, Gunung Hiei di sebelah kanannya, dan Gunung Daimonji di sisi kanan Kawabata Dori (Jalan Kawabata).
Demikianlah cara Tsu—panggilanku untuk Hirai Tsuyoshi—mengiklankan kotanya. Harus kuakui:sebenarnya ke dalam cara orang Jepang yang begitu liris-puitis memasang reklame bagi kotanya sempat kuselipkan catatan usilku! Itu, yang soal salju dingin, itu ulahku. Maklum aku tak betah pada sikap kita yang begitu romantis terhadap salju. Selain itu, mari kita membaca dengan jeli: bukankah di balik langgamnya yang begitu puitis, dalam cara orang Jepang satu ini mengiklankan kotanya juga terdapat keanehan? Bagaimana mungkin dia begitu melambungkan Jepang di musim rontok? Bukankah negeri matahari terbit ini lebih terkenal dengan musim seminya, tatkala bunga sakura bermekaran di mana-mana?
Jawabannya terletak pada keterkaitan kami, persisnya pada bagaimana dulu kami bertemu dan saling kenal untuk kemudian, selama dua tahun belakangan, menjalin hubungan khusus. Itulah yang akan kututurkan, termasuk apakah kira-kira aku termakan juga oleh iklan Tsu yang begitu merajuk-rajuk dan mendayu-dayu.
Sebelum itu perlu kukemukakan dulu soal bersepeda: itu sebenarnya bukan pembawaanku. Lahir dan besar di lembah Merbabu dan Merapi—tepatnya di kota kecil Salatiga— terus-terang saja aku lebih terbiasa dengan motor atau mobil milik orangtua. Sepeda pasti pernah meramaikan jalan-jalan Salatiga, tapi jelas tidak lagi pada zamanku. Sekarang, ketika sudah terbiasa dengan motor dan mobil, sulit juga membayangkan zaman ketika kotaku masih dipenuhi sepeda. Apalagi dengan perbedaan ketinggian yang ada di mana-mana. Bersepeda dari Tengaran di utara ke Beringin di timur mungkin masih terbayangkan, karena jalan rata-rata turun. Tapi bagaimana sebaliknya, ketika sebagian besar tanjakan? Karena itu, diriku menjadi akrab dengan sepeda ketika sudah tidak di Salatiga lagi, kota asal yang kini sudah lima tahun lebih kutinggalkan. Bahkan, aku belajar bersepeda dengan baik tidak di jalan-jalan kotaku. Memang dulu aku pernah belajar sebentar, tapi begitu bisa mengayuh, tak pernah kunaiki sepeda ke segala penjuru Salatiga. Tak lama kemudian Ayah membelikanku motor: sepertinya beliau tidak tega menyaksikan diriku harus bersepeda sementara teman-teman sekelas di SMP sudah riuh dengan motor mereka.
Lima tahun yang lalu, lantaran menekuni dunia akademis, kutinggalkan kota kelahiranku. Aku ke Belanda, negeri bekas penjajah. Semula ke Leiden, untuk jenjang S2, dan begitu selesai, lamaranku ke Amsterdam untuk jenjang S3 diterima. Dua-duanya dalam bidang sejarah. Maka, kutinggalkan pula Leiden untuk pindah ke ibukota, dan di Amsterdam inilah aku bertemu Tsu. Sebenarnya ketika berada pada jenjang S2 di Leiden aku sudah mulai bersepeda, walaupun cuma pinjam dan itu pun kadang-kadang saja. Tapi begitu jadi warga Amsterdam, aku beli sepeda, karena dengannya pemondokan lebih cepat dijangkau dari Vrije Universiteit, tempatku menimba ilmu.
Perjumpaanku dengan Tsu cukup unik dan, karena itu, tak terlupakan. Mungkin bakalan ada yang nyeletuk, “Dasar orang kampus!” Tak apalah, kami memang orang kampus, tapi selalu berusaha tidak sok intelek, apalagi menggurui. Sebelum kisahnya kututurkan, aku sangat berharap jangan sampai namanya dilafalkan sebagai “cu”. “Tsu” lebih ringan ketimbang “cu” dan “tsu” juga bukan “su”. Seraya berharap “Tsu” bisa dilafalkan semestinya, berikut kisah kami.
***
Musim semi itu, untuk menulis disertasi, aku mulai mengadakan penelitian di IISG, singkatan bahasa Belanda untuk Institut Internasional Sejarah Sosial yang terletak di Amsterdam timur. Aku perlu membukai koran Belanda Het Volk terbitan 1913 sampai 1919. Enam tahun itu adalah masa pembuangan Soewardi Suryaningrat di negeri penjajah. Kelak beliau dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Koran Het Volk memuat banyak tulisan Soewardi, maklum di Belanda sang pahlawan pernah bekerja sebagai redaksinya. IISG menyimpan koran-koran itu dalam bentuk film mikro, yang dikelompokkan berdasarkan tahun.
Pada suatu pekan aku sedang sibuk dengan Het Volk edisi tahun 1917, tapi hari Rabunya aku datang agak siangan karena harus ke dokter dulu. Dari dokter, aku tahu bahwa diriku alergi serbuk sari bunga-bunga. Alergi macam itu disebut hooikoorts oleh orang Belanda, atau hay fever bahasa Inggrisnya. Aku bersin-bersin dan kepala pusing tak keruan. Semula kuduga cuma masuk angin atau mungkin kodrat bulanan kaumku. Karena tak jua berlalu, kuputuskan ke dokter saja. Dokternya—orang Indonesia bernama Nannie—langsung tahu, aku alergi serbuk sari. Aneh, tahun-tahun pertama di Belanda tubuhku masih kebal, tapi tahun keempat ini daya tahan tubuh rasanya, kok, anjlok. Musim semi dengan bunga-bunga yang bermekaran malah mendatangkan petaka. Pagi itu, selain ke dokter aku juga masih harus ke apotek mengambil resep obat antialergi. Akibatnya, agak siangan baru aku tiba di IISG.
Begitu meminta film mikronya, petugas perpustakaan memberi tahu bahwa Het Volk edisi 1914 sampai 1919 dipinjam orang. Corine, begitu nama perempuan petugas bertubuh gempal ini, dengan ketus memperingatkan bahwa seharusnya aku pesan dulu. Menyesal juga kenapa sehari sebelumnyatak kureservasi, maklum kupikir siapa, sih, akan melihat koran tua ini. Ketika kutanya siapa peminjamnya, ia menunjuk seorang pria yang sekarang duduk persis di kursi yang selama ini selalu kududuki. Dia tengah menggeser-geser film mikro pada mesinnya, mencoba membaca isinya.
Semula aku masih sabar: kutekuni hal lain dulu saja, misalnya membacai penemuan sehari sebelumnya. Tapi jelas tak butuh waktu lama, karena memang malam sebelumnya telah kubacai. Hari itu jadwalku melihat edisi Agustus 1917. Lalu kucoba melihat katalog lagi, siapa tahu juga tersedia koran Het Volkedisi aslinya, bukan film mikro, melainkan benar-benar koran yang bisa dipegang dan dibuka-buka. Betapa hatiku bersorak ketika dalam katalog tertera bahwa pada tahun-tahun tertentu koran partai buruh Belanda itu juga tersedia dalam bentuk aslinya. Begitu kuamati lagi, ternyata koran asli itu hanya untuk edisi di atas tahun 1920-an. Ah, kegirangan yang terburu-buru!
Untuk mengisi waktu, aku jadi ingin usil, kenapa tidak bertanya saja pada petugasnya?Apalagi Corine sudah tidak kelihatan lagi, yang tampak seorang pria muda simpatik dengan tampang lumayan. Namanya Quirijn. Dia menjawab pertanyaanku dengan senyuman, adanya baru tahun 1920-an. “Sebelum itu tidak ada, dan Anda tahu itu, nona manis,” katanya sambil mengedipkan mata kirinya yang berwarna biru. Nadanya jelas menggoda, tapi itu dilakukannya karena kami memang sudah kenal. Dua bulan berkutat di perpustakaan IISG, aku mulai kenal tiga karyawannya yang bertugas melayani pengunjung. Dengan Quirijn aku bahkan pernah makan siang bersama, berkenalan sambil ngobrol tentang ini-itu, termasuk soal penelitianku. Sayang dia tidak tertarik pada lawan jenis. “Sialan benar hari ini,” gumamku.
Harus tunggu berapa lama lagi? Jangan-jangan seharian? Aku mulai bertanya-tanya, sambil sesekali meliriknya. Yang sangat mengherankanku adalah bagaimana mungkin dia melihati koran yang sama denganku bahkan dalam tahun-tahun yang sama pula? Kira-kira topik apa yang dibacanya? Jangan-jangan dia juga membacai tulisan-tulisan Soewardi? Pertanyaan-pertanyaan itu serasa diteriakkan pada telingaku sampai kepalaku terasa senut-senut dan aku tidak tahan lagi.
Tinggal satu pilihan lagi yang belum kulakukan, bertanya langsung pada yang bersangkutan. Bagaimanapun juga pria itu akan harus kusapa. Tampangnya jelas bukan orang Belanda, bukan pula orang Indonesia, bisa jadi dia dari Eropa Selatan, tapi bisa jadi pula Timur Tengah, Arab, atau Israel. Kikuk dan bingung juga, harus kusapa dalam bahasa apa. Akhirnya aku nekad, “Maaf apakah kira-kira saya boleh baca sebentar tahun 1917?” begitu langsung kutanya dalam bahasa Inggris ketika menghampirinya, sambil pura-pura tergesa-gesa.
Di luar dugaanku, dia berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku jelas tak punya pilihan lain kecuali menyambutnya, dan begitu tangan kami berpadu, dari mulutnya keluar suara yang terdengar seperti sebuah nama. Aku meminta maaf karena tidak terlalu paham ucapannya. Dia mengulang, kali ini tidak lagi berbisik, walaupun masih termasuk pelan.
“Nama saya Hirai Tsuyoshi, saya dari Jepang.” Ia seolah mengeja kata-katanya.
“Nama saya Arum Sekarwati,” kataku sambil berupaya menyembunyikan kekagetan bertumpuk-tumpuk. Pertama, aku kaget karena dia langsung berdiri, kemudian aku kaget karena dia memperkenalkan diri, lalu aku juga kaget karena ternyata dia orang Jepang, lain sekali dengan dugaanku. Paling sedikit tiga kekagetan mendadak sontak mengepungku siang itu. Ditambah efek obat antialergi yang sempat kutelan sebelumnya, maka sungguh mati aku serasa hampir kelenger.
Dia seperti melihat raut mukaku yang mungkin mendadak kusam.
“Maaf, ingin melihat tahun berapa?” Dia bertanya dengan sopan dalam bahasa Indonesia.
Kembali aku kaget, kaget yang keempat. Lebih dari itu, kekhawatiranku menjadi kenyataan! Untuk penelitian disertasinya dia memang mencari-cari—silahkan tahan napas—tulisan Soewardi. Tapi aku pura-pura jual mahal, penjelasannya itu tak terlalu kuhiraukan. Aku merasa terkejar target, tahun 1917 harus beres minggu itu dan aku baru sampai pada bulan Agustus.
Besoknya aku datang lebih pagi daripada dia. Apa yang kucemaskan ternyata tidak terjadi: dia tidak mereservasi Het Volk. Mungkin dia tidak tahu fasilitas ini. Tapi aku juga tahu diri, hanya tahun 1917 yang kupinjam, sesuai target. Di Jepang memang ada sejarawan yang menekuni Ki Hadjar dan Taman Siswa, namanya Tsuchiya Kenji. Mungkinkah Hirai Tsuyoshi–san dibimbing oleh pakar yang juga gurubesar di Universitas Kyoto ini?
“Beliau belum lama ini tutup usia, sekarang saya dibimbing profesor lain.” Bahasa Indonesianya terdengar makin alamiah, dan sekarang ganti dia yang terundung duka. Sejak itu kami mulai saling menyapa, akulah kenalan pertamanya di IISG.
Besoknya lagi kami duduk bersama di kantin. Ajakannya untuk makan siang bersama kuterima, hanya karena ingin usil: memanfaatkan kesempatan untuk menunjukkan ketidaksetujuanku pada pendapat Tsuchiya mengenai Soewardi, terutama bagaimana dia menafsirkan pamflet terkenal pahlawan nasional ini yang judulnya “Als ik eens Nederlander was” (“Seandainya sekejap saja aku ini orang Belanda”).
Kuawali dengan semacam pujian karena memang tidak seorang pun sejarawan kita pernah membahas pamflet itu selengkapnya. Padahal betapa pamflet itu penting dalam nasionalisme kita. Hanya orang-orang luar negeri yang membahasnya, kusebut nama mendiang pembimbingnya dan juga James Siegel dari Universitas Cornell, di Amerika. Begitu ia merasa terbombong, kumulai usilku.
“Tapi itu tidak berarti aku setuju dengan pendapat mereka,” kataku mulai pasang ancang-ancang. Terlihat dia mengernyitkan dahi, begitu memandangku tak kuberi kesempatan dia bicara.
“Yang aneh pada analisa almarhum pembimbingmu adalah budaya Jawa yang diterapkannya pada sebuah pamflet yang berbahasa Belanda. Pamfletnya bahasa Belanda, mengapa harus dibahas dalam kerangka budaya Jawa? Tidak sambung, tidak berkaitan.” Kulihat dia berhenti menelan saladanya, sepertinya ingin bicara, tapi tidak juga keluar kata-kata dari mulutnya. Ini jelas kesempatan bagiku.
“Yang penting bukan budayanya, tapi isi pamflet itu yang begitu sinis kepada penguasa kolonial. Dengan begitu Soewardi menjungkir-balik dunia penjajahan yang selalu menganggap pribumi inlander tidak bisa berbahasa Belanda. Itu yang penting, bukan budaya Jawanya.”
Dia tampak kehabisan siasat, tidak tahu lagi mesti omong apa. Baru ketika ia menenggak air putih mulai kulahap makananku. Ucapannya ternyata di luar dugaanku.
“Saya yakin kalau Tsuchiya-sensei masih hidup beliau tidak akan keberatan dengan kritik. Beliau sendiri percaya kritik itu penting bagi kemajuan, apalagi kemajuan ilmu pengatahuan.”
Pernyataannya membuatku kaget, walaupun aku mati-matian berupaya berwajah tenang. Tak tahu lagi bagaimana mesti melanjutkan kritik itu. Untung sedang makan siang, jadi, tanpa perlu berpura-pura, kuteruskan saja mengunyah nasi goreng sisa semalam, menuku siang itu. (Oh ya, kata Jepang sensei yang digunakannya setelah menyebut nama almarhum profesornya itu berarti guru). Dia memanfaatkan kesempatan untuk bertanya-tanya soal diriku: sudah lama di Amsterdam, tinggal di mana, jauh dari sinikah, pendek kata semua tetek-bengek tak penting yang tak berkaitan dengan kesibukan kami di perpustakaan IISG itu. Aku tetap saja menjawabnya, karena ini adalah pintu darurat yang menyelamatkanku dari rasa malu berlebihan.
Makan siang pertama itu segera berlanjut dengan makan siang berikut pada minggu-minggu sesudahnya. Tanpa terasa sebulan berlalu. Selanjutnya makan siang bersama merupakan kebiasaan rutin dan kami tak perlu lagi saling mengajak. Justru, kalau ada yang berhalangan, yang bersangkutan akan minta maaf tidak bisa makan bersama. Tidak jarang pula kami berbagi makanan. Aku ingin merasakan semacam semur terong yang dibikinnya dengan miso, tauco Jepang. Sedangkan dia ingin merasakan yamien, mi Salatiga buatanku. Tentu saja yamien kering, tanpa kuwah, karena aku tak sudi berepot-repot membawa cairan ke perpustakaan. Yamien lengkap berkuwah baru kuhidangkan ketika dia kuundang makan malam di flatku. Menurutnya yamien lebih enak ketimbang mie kuwah yang di Kyoto disebut ramen. Waktu itulah aku dimintanya memanggilnya “Tsu”. Lebih gampang dan sama seperti panggilan di rumah, katanya.
Itulah awal bagi kami untuk sering makan malam bersama. Kami lakukan bergantian, sekali di tempatku, sekali di tempatnya. Rumahnya di Amsterdam timur memang tidak jauh dari perpustakaan IISG, tapi lumayan jauh dari rumahku di Buitenveldert, Amsterdam selatan. Perlu mengayuh sepeda lebih lama memang, tapi aku tak keberatan. Bisa meringankan perut setelah tempura, ikan saba masak miso atau santapan Jepang lain yang dihidangkannya.
Masakan Tsu memang istimewa dan itu terlihat dari gairahnya memasak. Jarang sekali dia makan di luar, sebulan paling cuma sekali. Selalu dia makan masakan sendiri. Dia juga betah bicara panjang-lebar tentang masak-memasak. Menurutnya prinsip masakan Jepang adalah tidak mengubah rasa asli sayur, ikan, atau daging yang akan diolah. Semua itu sudah punya rasa sendiri-sendiri. Bumbu hanya berfungsi memperkuat rasa, tidak boleh menimbulkan rasa baru. Kalau bisa makanan itu malah dihidangkan mentah, seperti sashimi atau sushi (kebanyakan hidangan laut). Untuk menyantapnya, orang cuma perlu membenamkannya pada kecap asin atau wasabi, semacam cabai Jepang. Bumbu masakan Jepang juga tidak banyak, yang paling dasar cuma tiga, yaitu shoyu (kecap asin), mirin (semacam gula cair beralkohol), dan sake (tuak Jepang yang, selain diminum dingin atau hangat, juga digunakan untuk memasak).
Walau begitu, Tsu ternyata juga kagum pada makanan kita. Soal ini aku selalu menggodanya, “Bagaimana mungkin? Masakanku mengubah rasa bahannya. Apalagi yang dimasak sampai semalam suntuk seperti gudeg atau rendang?” Kurang ajarnya dia malah mengangkat jempol. Tak habis-habisnya dia mengagumi kunyit, kencur, kunci, dan umbi-umbian lain, penghuni setia dapur kita. “Kita cuma punya jahe”, keluhannya terdengar bernada iri. Belum lagi bawang merah, bawang putih, serai, daun jeruk, lada, pala, dan cengkeh. Yang paling membuatnya gembira adalah santan; lauk bersantan adalah kesukaannya. Begitu gulai kambing atau rendang dihidangkan, maka sebuah acara makan-makan pasti dinilainya berhasil. Tapi harus kuakui, walaupun sering masak sendiri, khazanah kulinerku tidaklah seluas khazanahnya. Memasak bagiku adalah kewajiban sebelum makan dan karena itu tidak perlu berlama-lama. Untung saja bumbu masakan Indonesia mudah didapat di Belanda.
Setelah makan siang dan makan malam, tinggal sarapan saja yang tidak kami lakukan bersama. Tapi itu tidak lama karena, setelah enam bulan berkenalan denganku, Tsu memutuskan untuk pindah ke flat yang sama denganku di Buitenveldert. Dari awal dia sudah suka dengan flat di sini karena ada dapur sendiri, berbeda dengan flatnya yang harus berbagi dapur dengan penghuni lain. Begitu flat sebelah kosong, dia segera kuberitahu, maka dalam seminggu kami bertetangga. Dan tak bisa kutolak ajakan sarapan bersama. Tentu sarapan Jepang, dari yang sederhana seperti rumput laut, nasi panas dicampur telur mentah, dan kecap asin shoyu serta sup miso; sampai yang lebih canggih lagi seperti okonomiyaki, yaitu martabak Jepang. Itu biasanya menu gabungan sarapan dan makan siang, pada akhir pekan. Alhasil, berkat makanan dan masakan kami semakin dekat. Ini menyenangkanku karena kebiasaan kami jelas membalik tradisi. Bukan perempuan seperti diriku yang aktif memasak, tapi Tsu dan dia seorang pria!
Tsu berguru memasak pada kakeknya yang punya ryokan, hotel tradisional Jepang, di Kyoto. Selain menampung tamu, pemilik ryokan juga menyediakan hidangan kepada para tamu yang menginap: sarapan dan makan malam. Hidangan yang disuguhkan di ryokan milik keluarganya benar-benar tradisional Jepang dan khas Kyoto. “Hampir tanpa daging,” kata Tsu. “Paling banter ayam, tapi paling banyak ikan,” tambahnya. Dan karena Kyoto agak jauh dari laut, ryokan keluarganya lebih mementingkan sayur-mayur. Sayang sayuran Amsterdam beda dari sayuran Kyoto, jadi Tsu merasakan hambatan, dia tidak bisa bebas memasak apa saja yang diingininya.
Suatu ketika dia dengar temannya berhasil menemukan salah satu sayuran khas Jepang, beli di sebuah perkebunan di pinggiran Amsterdam. Dengan selebaran di tangan, diajaknya aku ke sana. Maka pada hari Sabtu siang di akhir musim panas itu kami mengayuh sepeda ke Amsterdam tenggara. Tsu terlihat seperti anak kecil yang memperoleh mainan kesukaan saat mendapatkan sayuran yang dicarinya di perkebunan itu. Dalam bahasa Jepang, sayur itu disebutnya fudansou, penjualnya yang orang Belanda menyebutnya snijbiet. Terus-terang aku tak tahu bagaimana mesti menyebutnya dalam bahasa kita. Aku nyaris yakin sayur seperti daun ketela dengan warna hijau pekat ini tidak ada di tanah air. Tsu mengelus-elusnya, menghirupi aromanya, pendek kata segala macam ekspresi kegirangan diperagakannya. Sayang, kebun itu hanya membudidayakan dua jenis sayuran yang dikenalnya. Tapi itu tidak mengurangi kegirangannya. Dia beli fudansou sebanyak mungkin, “Bisa untuk seminggu!” Tentu saja aku berharap akan suka, bayangkan harus makan sayuran yang tak kusenangi. Selama seminggu lagi! Ketika pulang, kami mengayuh sepeda dengan riang dan ringan, juga lantaran di musim panas matahari baru tenggelam lewat jam sembilan malam. Ternyata fudansou lumayan enak, padahal, sesuai prinsip Jepang, Tsu cuma mengkukusnya. Sesudah itu diperciki shoyu, kecap asin Jepang, ditambah taburan wijen.
Bersepeda adalah kegiatan rutin kami di Belanda. Ke manapun kami bersepeda, bukan cuma ke kampus. Aku lebih suka bersepeda ketimbang jalan kaki. Selain lebih cepat, di Belanda bersepeda juga dipermudah dengan jalur khusus. Walaupun Kyoto juga punya jalur khusus untuk sepeda, menurut Tsu jalur sepeda di Amsterdam jauh lebih baik. Lebih teratur dan konsisten, hampir semua jalan Amsterdam (Belanda) selalu punya jalur khusus untuk sepeda. Yang bagiku lebih penting adalah Belanda ini negeri rendah yang tidak mengenal gunung. Karena itu, jalan-jalannya juga datar, tidak naik-turun. Inilah yang membuat bersepeda tidak melelahkan; justru menyenangkan.
Seperti tadi kutulis, Tsu tidak berwajah khas Jepang. Itu berkat ibunya yang orang Iran. Kalangan yang berdarah campur biasanya selalu lebih rupawan, dan, terkemas dalam pribadi tulus yang agak naif, maka, jujur saja, luluhlah hatiku. Dia sebenarnya cocok juga punya karier lain di luar kampus. Jadi bintang film bukan pilihan mustahil, bahkan kansnya ada (untuk tidak berkata besar), begitu celoteh usilku. Tsu selalu tertawa begitu aku mulai mereka-reka kombinasi antara tampang dan kemungkinan kariernya.
Dia mengaku memang punya pilihan lain. Serius, katanya lagi. Kelak, kalau ayanya sudah tidak kuat, dia pasti kejatuhan giliran mengelola ryokan yang diwarisi ayah dari kakeknya (dan kakeknya dari kakeknya lagi). Jadi pendidikan tinggi cuma untuk sementara. Lagi pula ia mengaku tak punya ambisi di dunia akademi; jadi profesor, dosen, peneliti, dan sejenisnya.
Latar belakang akademis Tsu memang tetap misteri bagiku. Tak banyak yang bisa kuketahui, terutama karena publikasinya—sudah dua makalahnya terbit—ditulis dalam bahasa Jepang semua. Tentu saja kami juga bicara tentang penelitiannya, tapi yang kuketahui tidak lebih selain topik yang dipilihnya, yaitu perbandingan antara dua saudara sepupu: Soewardi Suryaningrat dan Noto Soeroto, dua-duanya pernah menetap di Belanda. Lebih dari itu, pengetahuannya tentang sejarah Indonesia tak banyak yang kuketahui.
***
Setelah pada liburan musim panas tahun sebelumnya kami berdua melawat ke Prancis dan Italia, pada tahun sesudahnya kami berencana menghabiskan liburan dengan saling kunjung kampung halaman. Dia ke Salatiga, aku ke Kyoto. Paling sedikit begitu rencana kami. Tapi rencana itu terancam berantakan ketika awal November dia mendapat kabar buruk: kakeknya diopname lantaran stroke. Ada kemungkinan dia harus kembali, menjenguk kakek yang sementara itu tak henti-hentinya bertanya apakah cucu kesayangan sudah diberitahu. Dengan hati-hati Tsu bertanya bersediakah aku menyertainya ke Kyoto. Lalu dia berkisah tentang keindahan musim rontok di Kyoto, seperti kututurkan di atas. Selain warna-warni meriah, udara masih belum terlalu dingin dan yang penting bunga-bunga sudah tidak bermekaran lagi. Kesehatanku pasti tak terganggu, begitu bujuknya. Aku mulai tergoda.
Belum lagi jam enam, pagi itu Tsu sudah mengetuk pintuku. Ada perkembangan mengkhawatirkan. Kondisi kakeknya yang sudah seminggu dirawat di rumah sakit menggawat. Dia koma. Ayahnya mendesak supaya dia segera pulang. Desakan yang bisa dimaklumi, karena siapa harus mengurus ryokan kalau ayahnya harus sering ke rumah sakit? Yuriko, adik Tsu, belum begitu berpengalaman. Oh ya, hampir lupa: di rumah mereka tinggal berempat karena ibu Tsu meninggal tak lama setelah melahirkan adiknya. Begitu pula neneknya. Ayahnya adalah anak tunggal.
“Aku akan beli tiket pesawat, berangkat secepat mungkin, kalau bisa hari ini juga,” katanya.
“Aku ikut,” sahutku segera. Sedikit ragu, segera kutambahkan, “Paling sedikit kalau tidak memberatkanmu.”
Kulihat sorot mata Tsu memancarkan kelegaan dicampur terima kasih, dan betapa aku terjengkat kaget tatkala dia membungkuk sambil berujar, “Doumo arigato.” Berterima kasih sambil membungkuk memang kebiasaan orang Jepang, tapi belum pernah ia lakukan itu padaku.
Baru setelah pintu kututup aku sadar, perlu visa ke Jepang, jadi butuh waktu untuk mengurusnya. Tak mungkin aku bisa menyertai Tsu, paling-paling aku baru bisa berangkat belakangan. Berapa lama harus mengurus visa? Bagaimana kalau butuh waktu lama? Diliputi keraguan itu, kami akhirnya memutuskan Tsu berangkat duluan, aku menyusul, kalau dapat visa. Untungnya dia masih bisa memperoleh tiket Amsterdam-Osaka hari itu. Setelah menghantarnya ke Bandara Schiphol, aku bergegas ke Den Haag mengurus visa ke Kedubes Jepang. Semua syarat dilengkapi, termasuk undangan ayah Tsu. Ternyata paling cepat lima hari kerja. Bagaimana ini?
Lewat tengah malam, Tsu kirim berita. Dia baru sampai di Bandara Kansai, Osaka, dan dapat berita bahwa kakeknya tutup usia beberapa saat sebelumnya, belum lagi 80 tahun. Rupanya kakek mengidap kanker otak. Sayang, dia belum tiba di sisi kakek! Untunglah visa butuh waktu tiga hari, sehingga aku bisa sampai pada saat tutup peti. Ternyata di Jepang tutup peti merupakan upacara pribadi yang hanya dihadiri keluarga dekat. Terus-terang aku kikuk menghadapi kenyataan bahwa ayah dan adik Tsu sudah menerimaku sebagai keluarga. Untung Yuriko dan ayahnya lancar bahasa Inggris, jadi komunikasi tak ada hambatan. Sudah sejak perjalanan bis dari Bandara Kansai ke Kyoto aku merasa seperti buta huruf. Tak ada tulisan yang bisa kubaca, seberapapun besarnya tulisan itu.
Sore harinya, kami ke rumah sakit yang tak terlalu jauh dari rumah keluarga Hirai. Berpakaian resmi—pria (Tsu dan ayahnya) jas dan dasi hitam, perempuan (Yuriko dan aku) gaun panjang juga hitam—kami berjalan kaki sekitar seperempat jam. Begitu masuk ruang tunggu, dengan nada serius Tsu berkata bahwa kakeknya pernah ditugaskan di Palembang selama Perang Dunia Kedua, ketika Indonesia dalam cengkeraman Saudara Tua.
“Aku selalu ingin mengatakan ini padamu, tapi terus kutunda karena masih cari saat yang tepat.” Nada penyesalan terdengar jelas, seolah-olah dirinya telah berbuat cela.
“Pasti kakekmu hanya menunaikan kewajiban. Sebagai remaja belasan tahun, dia tak punya pilihan lain kecuali menurut saja.” Aku berupaya meyakinkan bahwa penyesalannya tidak perlu. Lagi pula kalaupun kakeknya bersalah, kesalahan itu tidak mungkin bisa diwariskan pada keturunannya. Tsu tampak terhibur. Dengan tenang, kami melangkah masuk kamar jenazah.
Maka di hadapanku tampak seorang pria tua berwajah tenang. Tapi raut itu tanpa sorot, kematian telah menjemputnya. Kakek terbaring dalam kehampaan karena telah ditinggal oleh kehidupan. Kedua belah tangan berada di samping, tidak menyilang. Ia mengenakan pakaian tradisional Jepang, semacam kimono kaum pria. Ketika pandangan berlanjut ke bagian kaki, aku terbelalak melihat kain songket ungu membungkus bagian bawah itu, menutupi kakinya.
Mungkin mata ini belum selesai membelalak saat rangkaian pertanyaan merongrong benakku. Adakah kakek dulu ikut menyiksa orang Indonesia? Berbuat kejam terhadap bangsaku? Adakah dia ikut menggagahi kaumku?
¡ParaCarol,muy agradecido!