- RIUH rendah partisipasi masyarakat telah jauh surut setelah berakhirnya penghitungan suara resmi KPU akhir Juli lalu. Memang, masih ada proses konstitusional di Mahkamah Konstitusi, terkait penolakan pasangan ‘Prahara’ (Prabowo-Hatta Rajasa) terhadap hasil resmi yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Gugatan di MK tampaknya tidak mampu memobilisasi gerakan besar, baik untuk mendukung maupun tandingan, seperti yang dipertontonkan kelompok-kelompok relawan di masa kampanye yang cukup intensif. Apalagi, mobilisasi massa pendukung ‘Prahara’ seperti kendaraan yang kehabisan bahan bakar. Mungkin karena logistik yang sudah jauh berkurang setelah pemilu yang menguras banyak biaya bagi kedua pasangan. Mungkin juga karena memang babak pilpres ini sesungguhnya dianggap telah berakhir oleh para elit dan para pendukungnya yang sebelumnya berseteru sengit. Tetapi sangat jelas bahwa politik Indonesia paska SBY masih penuh teka-teki, yang bisa ditanggapi secara kritis atau secara sinis.
- Pertanyaan utamanya kini, seperti apa lembar-lembar politik di era Jokowi dibandingkan era kepresidenan sebelumnya? Tersedia dua pilihan jawaban yang disediakan nalar umum: apa yang bisa dinamai sebagai tesis ‘Rejim Jokowi sebagai boneka elit’, dan jawaban kedua sebut saja tesis ‘Rejim Jokowi pasti dan harus bisa’. Dua ‘tesis’ ini sebetulnya sudah beredar sepanjang masa kampanye pemilu 2014. Juga kita sadar bahwa kedua rumusan ‘tesis’ itu adalah simplifikasi dari penjelasan yang mungkin lebih rumit dan rinci. Namun bisa dipastikan, hanya ada dua kategori pilihan dalam kerangka memahami politik Indonesia, yakni melalui kerangka analisa ‘elit versus non-elit’ atau ‘struktur versus agensi’. Pengalaman yang kita temukan dari proses elektoral 2014 menunjukkan itulah kerangka yang paling relevan untuk memahami politk Indonesia saat ini.
- Siapa yang paling berkepentingan menjawab pertanyaan gambaran tesis perubahan dan game plan rezim Jokowi? Menurut editorial ini adalah mereka yang dilemahkan dalam relasi kuasa saat ini. Mereka bisa disebut ‘rakyat pekerja’, ‘gerakan sosial’, serta dalam pengertian yang selektif ‘para relawan’ – tentu dengan memperhatikan keberagaman unsur dan posisi di dalamnya. Karena hanya melalui momentum politik yang dinamis seperti saat ini, ada jendela kesempatan untuk memajukan kepentingan dan daya tawar mereka. Di masa politik ‘tenang’ kemungkinan untuk membicarakan perubahan politik seringkali terasa terlalu abstrak dan tidak menarik perhatian yang luas, kecuali yang diperankan para akademisi atau pengamat. Ruang politik yang dinamis, seperti momen reformasi ’98, telah memberikan pelajaran berharga bahwa ketika jendala kesempatan tidak dimaksimalkan maka harapan perubahan bisa bergerak pada kekecewaan yang berkepanjangan.
- Secara khusus kita harus bertanya dan menggali jawaban pada para penggiat gerakan relawan mengenai tesis mereka tentang perubahan. Sebelum tulisan ini disusun, pertanyaan awal telah diajukan pada salah seorang penggiat aktif dari kaum relawan pendukung kemenangan Jokowi. Sangat penting untuk mencermati jawaban Hilmar Farid, melalui komunikasi via email, yang menyatakan ‘berhentilah jadi relawan, mulailah berbuat untuk perubahan.’ Ia menjelaskan bahwa pernyataan itu untuk menyadarkan bahwa dalam konteks yang dihadapi saat ini maka ‘pekerjaan sukarela memenangkan jokowi dalam pilpres sudah berakhir. Sekarang tantangannya berbeda dan diperlukan ‘relawan’ tipe yang berbeda, yakni relawan yang sanggup menghadapi oligarki politik, kartel dagang, militerisme, dan lain-lain.’
- Kenyataannya sebagian besar relawan tampaknya memang sudah membubarkan diri dan mengamini wacana dominan bahwa perjuangan mereka tanpa pamrih dan tidak punya kepentingan. Hilmar Farid mencoba sedikit menganalisis kelemahan dari gerakan relawan yang ada, mungkin lantaran kesadaran yang a-politis atau lemahnya pengertian tentang ideologi. Kritik lanjutannya ditujukan pada mereka yang berposisi mendukung Jokowi, melalui gerakan relawan masih berhenti pada konsep ‘mendukung kritis’ dan sejenisnya, sehingga berpotensi mengulang kegagalan 1998 untuk mentransformasi energi besar menjadi kekuatan politik nyata. Pada saat yang bersamaan, gejolak manuver para elite justru sedang meningkat dan memburu pemenuhan kepentingan mereka terkait jabatan ataupun kebijkan politik yang mereka kehendaki. Ada banyak upaya protes menolak berbagai elit dengan rekam jejak anti rakyat (pelanggar HAM, terkait korupsi, pendukung neoliberalisme, dll), tapi sepertinya sikap kritis saja tidak mendukung kepentingan rakyat menghadirkan kekuatan politik yang nyata untuk memastikan perubahan di era Jokowi
- Artinya kita memang mau tak mau kita harus kembali ke persoalan yang diajukan di awal tulisan mengenai ‘perubahan seperti apa yang akan terjadi pada lembar rezim Jokowi?’ Salah satu sumber kebingungan tampaknya karena tidak banyak tersedia paparan analitis yang kritis mengenai game plan alias rencana kerja Rezim Jokowi ketika berkuasa. Berbanding terbalik dengan bagaimana pengetahuan kita akan versi ekonomi politik apa yang akan dibentuk oleh Prabowo bila ia berkuasa. Sementara itu, dengan situasi material yang telah tersedia saat ini, sebetulnya sama sekali tidak boleh membiarkan kebingungan menguasai kesadaran atau pun bergantung pada respon spontanitas terhadap satu demi satu perkembangan politik yang bergulir sejak diumumkannya kemenangan Jokowi di pemilu. Tanpa adanya teori perubahan maka tidak akan ada gerakan perubahan, begitu satu pernyataan terkenal yang penting untuk dikaitkan dengan peringatan Hilmar Farid mengenai pentingnya menghadirkan kekuatan nyata dalam ruang politik paska pilpres. Pendefinisian relawan tetap dapat digunakan sebagai identifikasi mereka yang di luar keterikatan politik terhadap jaringan oligarki dan hegemoninya. Hanya saja perlu segera diupayakan segala improvisasi dan trik-trik kreatif dalam mobilisasi relawan masa pilpres untuk bertransformasi dalam praktek keterorganisiran politik baru yang dipandu secara teoritis dalam misi menghasilkan relasi kekuasaan yang baru di rezim Jokowi.
- Untuk menghasilkan tesis-tesis perubahan yang dapat diproyeksikan secara praktis dalam gerakan terorganisir di era Jokowi, maka tidak boleh alergi dengan kritik dan perdebatan yang demokratis. Yang harus dilakukan segera adalah menghubungkan kritik dengan dukungan, dimana jelas perlu kemampuan membedakan kritik dari sinisme. Sinisme saja pada berbagai dinamika politik di era Jokowi jelas tak akan pernah menuntun pada penjelasan yang dibutuhkan untuk memahami realitas politik, apalagi menuntun pada tindakan-tindakan buat perubahan. Akan tetapi, gerakan rakyat yang dapat mengomptimalkan kegunaan kritik ilmiah jelas akan menghasilkan hal yang berbeda. Dengan mengorganisir kritik ilmiah akan membantu menunjukkan perbedaan atas berbagai penjelasan. Kekuatan politik yang baru dan nyata jelas dibutuhkan oleh rakyat dan untuk itu membutuhkan pengetahuan kritis dan strategi mengajukan kritik yang efektif pada rezim Jokowi – dan jelas bukan cuma berhenti pada sinisme.***