Daftar Isi:
- Orde Baru dan Kebencian terhadap Komunisme yang Tak Kunjung Usai
- Selalu Ada Alternatif: Dunia Baru bukan Hanya Impian
- Materialisme Historis, Gender, dan Evolusi Keluarga
Mudah bagi kita semua untuk larut dalam perasaan gembira selama proses pemilihan presiden kemarin, mengingat pengalaman tersebut dapat dikatakan baru dalam rentang demokratisasi kita pasca reformasi 1998. Siapa yang tidak bersemangat ketika melihat diri kita sendiri termobilisasi bersama ratusan ribu orang lainnya untuk berbondong-bondong membangun inisiatif sendiri dalam rangka mempengaruhi proses politik selama Pemilu. Ketika kita sendiri (ya kita!) yang selama ini hanya dianggap sebagai objek politik pasif oleh para elit kurang ajar yang telah mengangkangi kedaulatan rakyatnya sebagai warga negara, memutuskan untuk bertindak agar proses Pemilu tidak dapat lagi menjadi ajang manipulasi elit. Dengan kesenangan yang membuncah, kita telah berhasil untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki masa depan.
Akan tetapi politik ternyata tidak sesederhana perasaan hati yang berbunga-bunga ini. Segera setelah Jokowi ditentukan sebagai pemenang, kita sekali lagi harus dihadapi oleh kenyataan politik yang rumit. Pembangunan awal lingkar kekuasaan Jokowi untuk memerintah ternyata masih memberikan ruang untuk keberadaan seorang pelanggar HAM seperti Hendropriyono dengan kasus Talangsari-nya. Lalu apa artinya semua kegembiraan yang sudah dilakukan jika pada akhirnya kita memberikan kesempatan bagi pelanggar HAM seperti Hendropriyono? Apakah perasaan itu hanya sekedar ‘kesadaran palsu’ yang berhasil dimobilisasi oleh para elit? Tentu saja tidak. Antusiasme yang muncul kemarin adalah respon konkrit massa terhadap politik elitis Indonesia yang sudah sangat memuakan. Namun, bersandar pada jawaban ini tidak melulu mencukupi. Politik Indonesia pada dasarnya masih didominasi oleh kalangan elit, terlepas seberapa antusias massa terhadap Pemilu kemarin. Disini kita menemukan bahwa politik tidak cukup dipahami pada spontanitas perasaan gembira semata. Ia adalah juga mengenai kapasitas organisasi kekuatan politik. Kapasitas politik elit sebagai kekuatan yang terorganisirlah yang membuat keberadaan figur busuk seperti Hendropriyono menjadi dimungkinkan untuk mempengaruhi lingkar kekuasaan Jokowi.
Disinilah kita memasuki ‘sisi gelap’ dari politik. Selain antusiasme, kegembiraan dan spontanitas, politik adalah juga mengenai perjuangan untuk mengorganisasikan diri, baik bersifat abstrak (pengetahuan, teori, pengalaman, dll) maupun bersifat konkrit (gerakan, institusi, dll). Hal ini berarti mensyaratkan diskusi, perdebatan bahkan konflik demokratis untuk menentukan bentuk keterorganisasian yang diperlukan dalam menantang kekuasaan yang dominan. Semua proses perjuangan politik ini membutuhkan satu bentuk kedisiplinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara kolektif. Tanpa kedisiplinan untuk mengorganisasikan diri dan membangun perspektif strategis akan penguasaan politik negara, harapan agar kemenangan Jokowi dapat membuka ruang transformatif yang diperlukan bagi perubahan mendasar sistem ekonomi politik akan sulit untuk dipenuhi.
Sebagai bentuk kedisiplinan dalam rangka pengorganisasian pengetahuan, Left Book Review kembali hadir dihadapan para pembaca sekalian. Pada kesempatan kali ini kami menghadirkan tulisan Fildzah Izzati yang mereview buku Wijaya Herlambang mengenai kekerasan budaya pasca 1965 yang relevan dalam upaya perjuangan politik kita sekarang dalam rangka menuntaskan kasus pelanggaran HAM, khususnya pembantaian massal pasca G30S 1965. Tidak lupa pula kami hardirkan tulisan Rio Apinino yang membahas buku Marta Harnecker mengenai membangun kembali organisasi kiri saat ini yang sedikit banyak beresonansi dengan kebutuhan mengenai perjuangan politik kita hari ini.
Selamat Membaca!