SELAMA musim pemilu 2014 yang amat panjang dan melelahkan ini, sebagian kelas menengah kita di republik medsos menggerutu karena wall-nya penuh dengan ‘copras-capres’. Pilpres kali ini memang lebih berisik dari biasanya. Ini tercermin, misalnya, dalam respon gerakan Kiri. Pada situasi normal, golput adalah pilihan rutin gerakan Kiri. Ibaratnya, kalau gerakan Kiri menghidupkan mode auto-pilot, maka setiap momentum pilpres akan direspon secara otomatis dengan pilihan golput. Namun 2014 bukan zaman normal. 2014 menghentikan hibernasi gerakan yang selama ini mengandalkan auto-pilot dalam memproses pilihan-pilihan politiknya. Sejumlah besar gerakan memilih untuk melakukan manual override dengan masuk ke dalam politik elektoral dan menyatakan dukungan terbuka pada salah satu capres. Hanya tersisa sebagian kecil yang duduk menggerutu di depan layar medsos: ‘Duh copras-capres lagi…’ Mereka berharap pilpres cepat berlalu sehingga gerakan Kiri bisa kembali ke modus auto-pilot sambil nyenyak bermimpi tentang revolusi tanpa ambil pusing soal realpolitik sehari-hari.
Namun agaknya tidur mereka akan kembali terganggu pasca-pilpres. Sebabnya, sebagian besar gerakan Kiri yang aktif dalam berbagai lini jejaring relawan masih akan mentransformasi pertarungan politik elektoralnya ke dalam situasi pasca-elektoral. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dukungan kritis bagi Presiden terpilih kita, Jokowi. Dukungan kritis berarti dukungan programatik, yaitu memberikan dukungan dan kritik berbasis program (dengan acuan ke dokumen Visi-Misi Jokowi-JK). Artinya, ada tuntutan untuk ikut terlibat mengawal realisasi program Jokowi itu: mendorong dan membantu sekuat tenaga agar pelaksanaannya konsekuen dengan Visi-Misi serta mengkritik manakala pelaksanaannya inkonsekuen. Dengan demikian, politik relawan gerakan Kiri tidak akan berhenti sebatas momentum elektoral.
Buat apa relawan sesudah pemilu? Pertanyaan ini kurang tepat; yang lebih tepat adalah ‘buat apa tim sukses sesudah pemilu?’ Pertanyaan tersebut, dengan kata lain, mengaburkan distingsi ‘relawan’ dan ‘tim sukses’. Peran tim sukses memang sebatas menyukseskan suksesi kekuasaan secara elektoral, tetapi peran relawan jauh lebih luas dari itu. Dalam bentuknya yang paling elementer, fungsi relawan bukanlah memenangkan tokoh, melainkan memenangkan program. Tokoh dimenangkan sejauh diperlukan bagi pemenangan program.Artinya, mereka mesti memastikan agar program politik yang disepakati selama masa kampanye betul-betul diberlakukan pada situasi pasca-pemilu (alih-alih sekadar duduk-duduk lalu menagih janji). Inilah mengapa partisipasi politik gerakan Kiri sebagai relawan Jokowi semestinya dilihat sebagai upaya pembentukan ‘lingkaran Bolivarian’ atau gerakan rakyat pendukung (program) Jokowi yang akan mengawal pelaksanaan program tersebut, memberikan masukan maupun kritik—singkatnya, melaksanakan dan memperhebat Revolusi Mental bersendikan Trisakti di segala bidang: berdaulat di lapangan politik, berdikari di lapangan ekonomi dan berkepribadian di lapangan kebudayaan.
Bagaimana mengorganisasikan ‘kegembiraan politik’ pasca-elektoral? Inilah pertanyaan yang menjadi buah bibir para relawan belakangan ini. Jokowi menang, itu pasti. Tetapi bagaimana memastikan agar program-program Jokowi juga akan menang? Bukankah program-programnya, apabila diterapkan, pasti akan bertabrakan dengan kepentingan riil seluruh partai politik yang ada saat ini? Jika demikian, tidakkah realisasi program itu akan dibuat jadi tak mungkin? Di sinilah fungsi relawan. Mereka akan membentengi Jokowi guna menyelamatkan programnya dari intervensi seluruh jaringan oligarki politik yang cepat atau lambat akan terganggu karena kepentingan riilnya terusik. Oleh karena itu, pengorganisasian relawan pasca-elektoral menjadi pokok kunci. Relawan belum bisa membubarkan diri sebab Revolusi belum selesai.
Salah satu agenda penting dari politik relawan pasca-pilpres ialah mentransformasi ‘kegembiraan politik elektoral’ menjadi ‘kegembiraan politik programatik’—dari antusiasme popular memenangkan Jokowi ke antusiasme popular memenangkan program Jokowi. Untuk itu, kita mesti membedah terlebih dahulu antusiasme tersebut. Massa antusias untuk berbagai hal dan dengan berbagai alasan. Tanpa mengetahui objek dan alasan dari antusiasme, mustahil mengetahui antusiasme massa dan potensi pengorganisasiannya. Kita perlu membuat taksonomi tentang jenis-jenis relawan selama momentum pilpres berdasarkan alasan keterlibatannya serta potensi politiknya dalam situasi pasca-pilpres. Tabel berikut memuat taksonomi atas relawan dalam arti luasnya, yakni massa pendukung (entah betul-betul relawan dalam arti tidak dibayar maupun tim sukses), sekaligus pihak yang memutuskan untuk tidak mendukung calon manapun.
Seribu orang mendukung Jokowi dengan alasan yang berbeda-beda dan karenanya memiliki implikasi politik pasca-elektoral yang berbeda-beda pula. Seseorang bisa saja mendukung Jokowi bukan karena Jokowi dan programnya, tetapi semata karena tidak setuju dengan Prabowo. Bisa juga karena mereka punya motif-motif kariris atau ekonomis dalam mendukung Jokowi maupun semata hendak menyembunyikan rekam-jejak pelanggaran HAM di masa lalu dengan cara mendukung Jokowi. Karena itu, mereka akan merespon situasi politik pasca-elektoral secara berbeda. Demikian pula mereka yang mendukung Jokowi karena menyukai secara personal sosok Jokowi (wajah ndeso, sederhana, tampaknya bekerja keras, dsb.) tentu akan punya kepentingan politik pasca-elektoral yang berlainan dengan mereka yang mendukung Jokowi karena programnya. Perbedaan serupa juga dapat kita temukan dalam kubu pendukung Prabowo maupun golput.
Taksonomi tersebut berguna untuk memetakan tantangan dan ancaman terhadap Revolusi Mental berbasis Trisakti. Spektrum luasnya adalah tegangan antara Jokowi dan oligarki. Di manakah relawan mesti ditempatkan di antara tegangan tersebut dan bagaimana memposisikan berbagai kelompok relawan, mulai dari yang pro-Jokowi, pro-Prabowo hingga golput? Diagram berikut merepresentasikan prediksi hubungan gradasi posisi politik pasca-elektoral dari subjek-subjek yang diidentifikasi dalam tabel di muka.
Berlawanan secara diametral adalah kelompok relawan pro-Jokowi dan barisan oligarki. Golput ideologis memang tidak masuk dalam hitungan di muka sebab golput jenis itu cuma sejenis waham lima tahunan—lagipula terlalu kecil sehingga tidak signifikan. Kita dapat memperjelas hubungan gradisi di antara kedua kutub itu sebagai berikut:
- Dalam kelompok relawan pro-Jokowi, relawan tipe B bisa dibilang paling kokoh sejauh dukungannya atas Jokowi tidak terombang-ambingkan oleh gosip tentang sosok personal Jokowi, melainkan terpatri pada program-program Jokowi. Mereka boleh antusias atau tidak dengan Jokowi sebagai person, tetapi mereka jelas antusias terhadap visinya.
- Relawan pro-Jokowi tipe A boleh jadi lebih militan dalam membela Jokowi, tetapi militansinya berdiri di atas dasar yang lebih kontinjen, yakni psikologi sosok Jokowi yang persepsi negatif atasnya mudah diciptakan lewat manufaktur opini (misalnya lewat media). Namun baik relawan tipe B maupun A tetap merupakan kunci pemenangan program Jokowi.
- Setelah itu, barulah relawan yang dukungannya atas Jokowi hanya berbasis ketidaksukaan (entah atas alasan apapun) terhadap Prabowo. Seperti halnya golput programatik, jenis relawan ini cenderung memposisikan diri pasca-elektoral sebagai pengamat atau komentator dari kejauhan. Mereka akan menempatkan ekspektasi mereka tentang Jokowi kurang-lebih setara dengan sosok SBY pada periode pertamanya. Dalam hal ini, relawan anti-Prabowo dan golput programatik akan cenderung mirip dengan posisi politik pasca-elektoral dari relawan pro-Prabowo tipe B. Mereka akan melancarkan kritik atas program-program pemerintahan Jokowi. Berbeda dengan relawan pro-Jokowi tipe B, mereka hanya akan mengkritik dari kejauhan tanpa ikut mengawal dan memastikan realisasi program tersebut.
- Sementara relawan pro-Prabowo tipe A serupa dengan relawan anti-Jokowi yang cenderung mengkritik secara membabi-buta, sebab alasannya nyaris tidak ada atau cuma sekadar alasan personal. Relawan jenis ini hanya bisa diorganisasikan ke dalam kerja-kerja relawan Jokowi setelah di-‘revolusi mental’ terlebih dulu cara berpikirnya sehingga tak lagi berpikir atas dasar ketokohan, tetapi secara programatik, dan bukan hanya sembarang program, tetapi yang benar.
- Terakhir ialah lapis paling luar sekaligus paling terkonsolidasi: oligarki. Dalam konteks ekonomi-politik Indonesia, oligarki tak terceraikan dari pertumbuhan kapitalisme. Kekuasaan politik para oligark kerap berseiring dengan kekuatan kapital. Merekalah musuh politik terbesar Jokowi dan barisan relawannya. Integrasi mereka dalam struktur partai politik yang ada akan memaksa Jokowi membatalkan sebagian visinya dan memisahkan secara paksa Jokowi dari tangan massa relawan. Untuk menghadapi para oligark dan kapitalis itulah relawan mesti mengorganisasikan diri, memperbesar barisan dan memastikan agar Jokowi tetap dalam konsolidasi demokratis massa rakyat Indonesia.
Maka usainya pemilu dengan kemenangan Jokowi bukan berarti tuntasnya tugas relawan. Justru tugas itu baru dimulai. Ada tiga tugas pokok yang mesti diperjuangkan relawan pasca-elektoral:
- Mengawal realisasi Visi-Misi Jokowi dalam semangat Revolusi Mental dan Trisakti
- Memperluas gelombang relawan dengan menjahit kelompok-kelompok relawan lain (yang pernah berlawanan sekalipun) dengan basis programatik
- Menyelamatkan Jokowi dari oligarki dengan menjangkarkannya di tengah massa
Pertanyaan yang kemudian muncul—saat ini masih sayup-sayup tapi tak pelak lagi akan memekakkan telinga beberapa waktu lagi—adalah apakah wadah yang diperlukan untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut? Dengan kata lain, apakah seluruh relawan perlu mengorganisasikan dirinya dalam sebuah partai (suatu partai ‘alternatif’, mungkin)?
Terlepas dari persoalan perlu/tidaknya partai persatuan gerakan, target kita untuk sementara ini adalah mengendalikan oligarki—dan kapitalisme yang bertumpu padanya. Di sinilah Revolusi Mental dapat dimaknai kembali sebagai sebuah ‘revolusi kebudayaan’. Kemenangan Jokowi adalah, utamanya, kemenangan relawan seluruhnya—kemenangan dari apa yang disebut dalam kosakata politik 60-an sebagai ‘massa’. Relawan atau massa sebagai kekuatan presentasi politik di luar jalur representasi kepartaian inilah yang membawa Jokowi menang sebagai presiden. Kemenangannya, dengan demikian, menandai kebangkitan kembali ‘massa’ sebagai subjek politik emansipatoris tahun 60-an dalam bentuk kontemporernya. Percaya pada massa—di situlah pula terletak titik api perlawanan terhadap oligarki dan kapitalisme di Indonesia. Terlepas dari soal apakah relawan perlu menjadi partai atau tidak, yang jelas: realisasi program-program Jokowi membutuhkan ‘pengawal merah’.
Inilah Revolusi Mental dalam arti yang sebenar-benarnya: Revolusi Kebudayaan. Massa bersatu, singkirkan kepala batu oligarki.***
22 Juli 2014