DALAM iklim politik di mana apatisme massa dirawat dan dijadikan penanda kewajaran, Pilpres 2014 adalah memang suatu pengecualian. Siapa yang bisa bilang, tanpa sekelebat keraguan pun, bahwa pemilu kali ini sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya? Dalam tradisi gerakan sosial, pengecualian itu sungguh terasa. Apabila golput dan sikap serba-menolak selama ini menjadi semacam setingan default gerakan sosial berhadapan dengan momentum Pilpres, tidak demikian halnya hari-hari ini. Saya sendiri merasakan perubahan itu. Ketika saya pertama kali turun aksi bersama kawan-kawan LMND Semarang, waktu itu Pilpres 2004 dan SBY sedang akan naik ke tampuk kekuasaan, tuntutan yang mengemuka adalah ‘tolak militerisme’. Sikap serba-menolak semacam ini sangat tipikal dan terus berulang sampai pemilu selanjutnya. Namun sepuluh tahun kemudian, keadaan berubah drastis. Gerakan sosial membanjiri medan politik elektoral dalam skala yang tanpa preseden. Pertentangan antar organisasi gerakan mengalami penerjemahan ke dalam perbedaan visi-misi kedua pasangan capres-cawapres.
Apa yang mencuat dari panorama politik hari ini adalah peran sentral relawan. Dalam politik massa mengambang, tidak dikenal tradisi relawan, yang dikenal adalah tim sukses (baik pra-bayar atau pasca-bayar, tetapi tak pernah tak berbayar). Pilpres 2014 memperkenalkan subjek politik baru dalam politik Indonesia, yakni relawan, yang diwujudkan secara masif dengan skala yang kolosal, jauh melebihi apa yang telah diuji-cobakan selama Pilgub DKI 2012. Politik relawan adalah ungkapan dari apa yang disebut Jokowi sebagai ‘kegembiraan politik’ yang merupakan antitesis dari politik massa mengambang atau politik yang bertumpu pada apatisme massa.
Menurut pendataan yang dilakukan Anom Astika, sampai saat ini sudah ada sekitar 2000 kelompok relawan Jokowi-JK yang mendeklarasikan diri di seluruh Indonesia. Konkritnya, itulah yang terjadi antara lain dalam politik para tukang bakso dalam deklarasi relawan Jokowi-JK di Depok. Puluhan tukang bakso patungan, masing-masing mengupayakan 2 kilogram daging sapi, untuk kemudian bebareng memasaknya menjadi konsumsi acara deklarasi relawan Paguyuban Tukang Ojek, Becak dan Pedagang Bakso Cilodong, Depok.
Buat para aktivis gerakan yang selama ini memperjuangkan agar rakyat memiliki kesadaran politik dan terbebas dari belenggu ideologi massa mengambang, pemandangan semacam ini lumayan mengharukan. Pilpres 2014 membuat rakyat jadi politis tanpa perlu diagitasi. Gerak swa-daya rakyat inilah yang menjadi inti semangat relawan sebagai subjek politik.
Namun subjek politik baru ini bukannya tanpa lawan. Hiruk-pikuk aktivitas relawan Jokowi-JK memang telah menerbitkan kesan yang amat kuat bahwa Jokowi-JK pasti menang. Membaca media sosial makin memperhebat kesan tersebut. Akan tetapi kenyataannya lain bila kita mengikuti informasi lapangan dari masyarakat. Dari gerak relawan di berbagai tempat, kita mendapat informasi bahwa kubu Prabowo-Hatta memobilisasi perangkat pemerintah lokal untuk menghadang laju relawan. Sebagian kecil dari informasi itu adalah sebagai berikut:
- Atribut-atribut kampanye Prabowo didatangkan di kantor-kantor kelurahan dan didistribusikan dari sana.
- Acara-acara relawan Jokowi-JK di level lokal dilarang oleh kepala-kepala dinas pemerintah setempat karena alasan-alasan ketertiban.
- Pendataan pemilih atau ‘sensus politik’ oleh tim relawan Jokowi-JK dipotong di bawah. Bahkan di berbagai kabupaten di Jawa Barat, warga yang pro-Jokowi pun ketakutan didatangi relawan karena sudah diperingatkan Pak RT sebelumnya. Ada yang diancam akan dicabut izin usahanya bagi warga pro-Jokowi yang membuka bisnis kerajinan rumahan. Ada yang diancam akan dipersulit dalam urusan-urusan administrasi di tingkat RW sampai kelurahan.
- PNS-PNS diancam akan dimutasi kalau tidak memilih Prahara.
- Konsolidasi Prahara dengan mengundang posyandu-posyandu melalui jalur pemerintah setempat.
- Di Pemalang, kertas suara ditemukan sudah tercoblos nomor 1.
- Tim sukses Prahara membagi-bagi nasi kotak berisi uang Rp. 50.000 yang terlipat rapi.
- Mobilisasi bintara pembina desa (babinsa) untuk mengarahkan dukungan warga ke Prahara dengan dalih mendata pemilih
- Di kabupaten Bantul, Yogyakarta, tim sukses Prahara menjanjikan Rp. 250.000 per suara dan masing-masing korlapdes sudah mendapat Honda Vario.
Kabar-kabar semacam ini tentunya masih perlu diverifikasi lagi. Namun santernya informasi sejenis mengindikasikan respon kaum reactie di aparatur pemerintahan lokal terhadap gelombang relawan Jokowi-JK.
Pemandangan yang tak kalah mirisnya juga kita temui di front intelektual. Buat saya yang belajar filsafat, situasinya sungguh menyedihkan. Bagaimana mungkin orang yang beberapa waktu lalu membaca dan menggemari filsafat posmo, sekarang bisa mempropagandakan ketegasan Prabowo? Adakah yang lebih jauh ketimbang Derrida dan ‘ketegasan’? Bagaimana mungkin orang yang tekun mengikuti perkembangan Marxisme Prancis kontemporer bisa mendukung Prabowo dan MP3EI-nya? Bagaimana bisa orang yang rajin membaca tentang Adorno dan tentang betapa sulitnya menulis puisi sesudah Auschwitz, bisa dengan lugu berkata bahwa bahaya fasisme itu sama sekali tidak ada? Bagaimana bisa orang yang menghabiskan sebagian hidupnya mempelajari sejarah gerakan Kiri internasional, bisa mengulang blunder yang sama dari Partai Komunis Jerman (KPD) di era Republik Weimar? Di tahun 1930-an, KPD menolak ajakan front persatuan dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD) karena menganggap SPD tidak sungguh murni dalam menegakkan ‘syariat Marxis’. Akibatnya, KPD malah bersama-sama dengan Nazi terus menyerang SPD yang menyebabkan hancurnya SPD dan KPD sekaligus naiknya Hitler. Bagaimana mungkin orang belajar sejarah pemikiran dan filsafat tetapi berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang membuat pemikiran tak ada lagi?
Seminggu sebelum hari-H, inilah yang menjadi panorama politik kita: politik relawan berhadapan dengan politik represi, gerakan rakyat berlawanan dengan mesin birokrasi negara. Untuk menghadapi kaum intelektual dan aktivis media sosial pro-Prahara, jalannya mudah: tulis artikel atau bikin meme. Namun perkaranya tidak semudah itu ketika kita menoleh ke lapangan. Artikel kalah diadu dengan Pak RT. Meme membisu di hadapan Pak Lurah. Kita tak hanya mesti menggerakkan opini tetapi juga mengawal suara. Dan di situ kita berhadapan kembali dengan Orde Baru.
Apabila sebagian kawan menyebut bahwa situasi belakangan ini, khususnya di level kelurahan ke bawah, makin menyerupai situasi Orde Baru, anggapan itu tidak berlebihan. 1998 adalah tahun harapan dan 2014 adalah tahun penentuan, kata Hilmar Farid. Ya, Pilpres 2014 adalah penentuan apakah kita akan kembali ke Orde Baru atau melangkah ke zaman baru. 9 Juli nanti pilihannya tersedia amat gamblang: pilih Jokowi atau Soeharto.***
1 Juli 2014