BUNG Joko,
Pagi ini saya membaca pidato pertama Bung sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentu lebih bergigi ketimbang pidato SBY. Saya senang Bung yang lebih banyak dipilih rakyat, karena yang satu telah sejak awal seharusnya tak jadi calon presiden. Sayang, dia juga cukup banyak dipilih rakyat.
Bung, pilpres boleh usai, dan Bung himbau para pendukung, rakyat dari berbagai jenis penghidupan, untuk kembali pada kehidupan sehari-hari, kerja seperti biasa. Memang Bung, dua bulan terakhir ini menguras energi bagi siapapun yang terlibat pilpres ini, tetapi persoalan mayoritas penghidupan rakyat sudah lama memeras keringat, khususnya bagi rakyat yang sedang melawan kesengsaraan.
Saat ini tak sedikit di antara mereka yang setelah berjuang mendukung Bung, belum bisa pulang dan tenang. Mereka masih harus dan sedang berjuang karena THR belum dibayar perusahaan. Kontrak kerja diputus sepihak sebelum lebaran. Pabrik semen belum angkat kaki dari Rembang. Brimob belum ditindak dari represinya pada petani dan warga Teluk Jambe Karawang. Harga-harga naik dan tarif angkutan lebaran memeras habis THR yang tak seberapa. Para pengungsi Syiah dilarang berlebaran di kampungnya. Muslim Ahmadiyah tak bisa beribadah puasa dan menikmati lebaran dengan tenang. Korban pelanggaran dan pejuang HAM yang masih terus menuntut agar para pelanggar HAM tak lagi sumringah di hari lebaran, bebas dari hukuman, dan tak marah-marah minta pemilu ulang.
Mereka semua, rakyat pejuang, masih berlanjut berjuang, Bung. Mereka belum bisa pulang dan bekerja dengan tenang.
Bung, sudah sepantasnya politik menerbitkan kegembiraan. Tetapi tidak di dalam masyarakat di mana yang berduit dan bersenjata pegang kendali, di mana hukum tidak melindungi orang-orang tak berduit, membebaskan para pelaku kekerasan terhadap perempuan, meminta orang-orang susah terus bersabar dan terus toleran, sementara yang berduit terus diberi konsesi.
Tidak ada kegembiraan politik dalam keadaan seperti itu. Kalaupun ada, itulah harapan, dan masih belum menjadi kenyataan.
Bung, politik pembebasan yang Bung sebut beberapa malam lalu berkonsekuensi besar dan indah bila berani dijalankan. Ia membutuhkan sikap yang berpijak pada mayoritas rakyat yang dilanggar hak asasinya untuk hidup layak dan mendapatkan keadilan; yang mendengar semua protes, masukan, gugatan sejarah, orang-orang yang sudah lama melawan ketidakadilan dan penindasan; yang berbicara lebih banyak dan lantang bukan pada kami, tetapi kepada Bank Dunia, IMF, ADB, kepala pemerintahan negara-negara adidaya, korporasi trans/multi/nasional, KADIN dan APINDO, serta administratur negara; yang bertindak lebih berani mengontrol para pemegang kekayaan dan kebijakan, dan membela para pekerja biasa.
Politik pembebasan adalah cara sehingga cita-cita konstitusi yang baik dapat diwujudkan, dan yang belum ada dalam konstitusi dapat ditambahkan. Revolusi mental yang Bung tawarkan takkan jadi apa-apa tanpa politik pembebasan.
Bung, hari-hari ke depan ini adalah pertarungan. Boleh saja sambil bergembira, tetapi waktu tak memberi kita kemewahan dan jeda berlimpah untuk merasakannya. Persatuan Indonesia itu setelah Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketika kemanusiaan kita semua dirampas oleh kuasa orang-orang terkaya, jenderal-jenderal pengendali senjata, korporasi-korporasi terkaya di dunia, lembaga-lembaga keuangan global yang sedang mendikte ekonomi kita, maka persatuan Indonesia yang sebenarnya masih harus diperjuangkan. Kita tidak bisa bersatu dengan elit-elit koruptor, penjahat HAM, dan korporasi kriminal. Sudah terlalu lama rakyat berkorban dan sengsara untuk mereka.
Seperti yang Bung bilang: singsingkan lengan baju dan kerja, seperti kami yang tak sempat melepas gulungan kemeja, bahkan berpakaian layak, karena selalu bekerja. Kerjalah lebih keras Bung—kami juga. Buat garis pembatas bung, karena yang memilih Bung tak mau hidup dalam rukun dan harmoni bersama para koruptor dan penjahat HAM. Penjarakan mereka segera. Jika Bung belum berani, kami akan melawan lebih keras.
Kalau Bung tahu sedang berada di sarang buaya, maka Bung tak akan lebih banyak mendengarkan para buaya. Jalur-jalur pendengaran baru sudah dibuka oleh relawan-relawan Bung; jalan setapak baru sudah dibuka oleh rakyat yang berlawan di sekeliling Bung dan dunia. Kini Bung yang harus memilih: mendengar siapa dan berpijak di mana? Kami tak bisa, dan tidak akan, menunggu terlalu lama.
Salam dua kaki.***
Versi awal tulisan ini dimuat di politikrakyat.com. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.