Daftar Isi:
Kemenangan Jokowi dalam Pilpres kali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya partisipasi yang luas dari rakyat banyak dan berada di luar institusi partai politik yang mengusung Jokowi. Bahkan, dapat dikatakan partisipasi rakyat banyak ini justru lebih signifikan dari peran partai itu sendiri. Dengan tidak berjalannya mesin partai, partisipasi rakyat banyak yang dengan sukarela meluangkan banyak hal untuk memenangkan Jokowi benar-benar menjadi antitesa politik hari ini yang dekat dengan elitisme dan politik massa mengambang.
Fenomena partisipasi rakyat banyak, atau dalam bahasa yang populer dimanifestasikan dengan menjamurnya kelompok relawan, dapat dikatakan merupakan sebuah fenomena baru di tengah hiruk pikuk perpolitikan Indonesia. Menggunakan dialektika, partisipasi rakyat banyak dalam politik saat ini merupakan sebuah lompatan kualitas –setelah sebelumnya didahului oleh serangkaian penambahan kuantitas. Jika selama ini rakyat banyak yang berkumpul hanya diidentikkan dengan istilah ‘massa’ yang hanya merujuk pada kuantitas tertentu, maka istilah ‘massa’ saat ini mulai bergeser ke istilah ‘rakyat’ yang tentu, selain merujuk pada kuantitas tertentu, juga memiliki kualitas tersendiri.
Tendensi partisipasi rakyat banyak ini bukan tanpa cela. Setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam melihat fenomena ini. Pertama, partisipasi rakyat banyak yang termanifestasi dalam relawan pemenangan Jokowi pada dasarnya bersifat voluntaristik dan tidak memiliki visi jangka panjang, yaitu partisipasi pasca elektoral. Dengan sifatnya yang voluntaristik ini, maka apa yang telah terbangun sepanjang masa Pilpres tidak bermakna apapun jika berhenti berpartisipasi dalam politik setelah Jokowi secara resmi terpilih menjadi Presiden. Kedua, ada kecenderungan dari elit politik untuk meredam lompatan kualitas partisipasi rakyat ini dengan kembali menjadikan rakyat sebatas pada kumpulan orang yang hanya mencerminkan kuantitas tertentu, atau dengan kata lain, mengembalikan politik massa mengambang. Hal tersebut terlihat jelas, misalnya, dengan seruan larangan para elit politik untuk merayakan kemenangan pada tanggal 22 Juli kemarin (nanti?) dengan alasan yang beragam.
Kedua problem yang muncul dalam kaitannya dengan momen partisipasi rakyat tersebut memiliki solusi yang pada dasarnya sama: bergerak dari figur ke program. Jika selama ini gerakan dilakukan dengan menekankan pada figur Jokowi sebagai Calon Presiden, maka setelah Jokowi resmi menjadi Presiden RI maka gerakan perlu diarahkan pada program-program yang akan dijalankan. Bagaimanapun juga, menjamurnya kelompok relawan salah satunya adalah karena program-program yang ditawarkan Jokowi. Dengan begitu, tentu saja realisasi program tersebut sudah seharusnya diawasi dengan mengikutsertakan rakyat yang lebih luas.
Modal dasar untuk mengorganisir diri dan partisipasi politik yang lebih luas telah terbangun di masa sekarang ini. Tentu, pengorganisiran atau partisipasi tersebut harus didorong lebih jauh lagi dan dengan cakupan isu yang lebih substansial. Kelompok-kelompok relawan dapat menjadi motor utama untuk membuat partisipasi dari bawah secara lebih luas pasca elektoral. Selain memastikan Jokowi menjalankan program-programnya, pengorganisiran diri pasca elektoral juga dilakukan agar disaat yang bersamaan dapat dilakukan untuk menyingkirkan para elit politik di sekitar Jokowi yang sudah kadung nyaman dengan politik masa mengambang dan sekaligus alergi dengan gerakan rakyat. Dengan kata lain, perlawanan belum selesai. Prabowo kalah, elit politik lainnya menunggu di ronde selanjutnya.
Selain itu, hal lain yang juga harus dipikirkan adalah bagaimana bentuk wadah pengorganisiran. Apakah, misalnya, untuk terus berpartisipasi pasca elektoral dapat terus dilakukan dengan mempertahankan bentuk organisasi relawan yang cair dan tidak terstruktur seperti saat ini? Kalau memang bentuk organisasi relawan tersebut tidak cukup, lalu bentuk seperti apakah yang efektif untuk terus berpartisipasi dalam politik? Tentu, pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sesegera mungkin agar kemenangan rakyat tidak dikooptasi kepentingan elit, persis sebagaimana yang terjadi dengan gerakan reformasi.
Dengan semangat untuk benar-benar mengikis sisa-sisa Orde Baru, Left Book review (LBR) kembali hadir ke hadapan pembaca. Pada kesempatan ini kami menghadirkan dua review buku. Yang pertama adalah review dari Dicky Dwi Ananta yang membahas buku Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis karya Deepa Kumar yang memberikan gambaran bagaimana berkembangnya Islam Politik dengan kerangka analisa Marxian. Review kedua hadir dari Rizal Assalam atas buku Sosialisme Sekarang Juga karya Michael A. Lebowitz. Buku ini menjadi penting sebab menambah deretan panjang khasanah karya ilmiah yang membantah tesis kapitalisme sebagai akhir sejarah sekaligus mengingatkan kita kembali kemana gerakan ini ditujukan. Akhir kata, kemenangan Jokowi adalah sebuah akhir untuk awal yang lain. Dengan kemenangan Jokowi, maka terbuka peluang yang luas untuk terus melanjutkan pengorganisiran Rakyat Pekerja sebagaimana yang selama ini telah dilakukan. Selamat membaca! ***