KETIKA saya pertama kali mengikuti Latihan Kepemimpinan (LK) I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado, pada awal 1990an, saya sangat terkesan dengan materi Nilai Identitas Kader (NIK). Materi ini, demikian yang saya ketahui, adalah ideologinya kader HMI dan disusun oleh cendekiawan Nurcholish Madjid atawa Cak Nur.
Saya terkesan dengan NIK karena mengajarkan saya tentang prinsip-prinsip keislaman yang toleran, universal, humanis, dan berislam yang hanif. Satu dari sekian banyak nilai NIK yang saya dekap hingga kini adalah, ‘bukan hanya tujuan kita mesti baik, tapi cara-cara mencapai tujuan itu pun mesti baik.’ Baik di sini bisa dalam pengertian moral, yakni tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut; bisa pula secara saintifik dimana cara-cara kita mencapai tujuan itu dibantu oleh riset-riset dan temuan-temuan terbaru ilmu pengetahuan atas kompleksitas kenyataan yang ada.
Melalui prinsip ini, ketika cara-cara untuk mencapai tujuan itu sudah tidak baik maka tujuan itu pun pasti akan menjadi tidak baik. Anda tidak bisa menjaga harkat dan martabat manusia jika dengan itu Anda mesti membunuh manusia. Anda tidak bisa menegakkan HAM, jika pada saat yang sama Anda melanggar HAM itu sendiri. Tentu saja prinsip berislam seperti ini bukan tanpa kontroversi, bahkan di dalam ‘Surau’ HMI sendiri. Bagi sebagian ‘politisi HMI’, prinsip ini tampak begitu ideal dan utopis. Di bawah doktrin orde baru bahwa ‘politik itu kotor’ maka prinsip ini tampak seperti lelucon.
Sepanjang pelaksanaan Pilpres 2014 ini, prinsip NIK itu terasa sangat relevan sekali buat saya. Tujuan untuk memilih presiden, yang sebenarnya merupakan tujuan yang baik, kini dilakukan dengan cara-cara yang sama sekali jauh dari kata baik. Kita ambil contoh kubu Prabowo-Hatta, yang didukung oleh banyak tokoh berlatabelakang HMI dan partai-partai yang mengusung ideologi Islam, sungguh-sungguh telah menjalankan cara-cara berkampanye yang jauh sekali dari nilai-nilai keislaman: fitnah, manipulasi, suap, dan intimidasi. Dan cara-cara kampanye hitam ini dilaksanakan dengan sangat sistematis dan terukur. Bagi mereka ‘kejahatan yang terorganisir merupakan metode terbaik untuk mencapai tujuan.’
Celakanya, selain metode kampanye hitam ini dijalankan secara terencana dan sistematis, alat-alat yang digunakan untuk penyebarannya pun tak kenal tempat dan ruang. Selain disebarkan melalui media massa televisi, koran dan media sosial, penyebarannya juga dilakukan lewat masjid-masjid, pesantren-pesantren dan khotbah-khotbah keagamaan. Kalau Cak Nur masih hidup, saya yakin ia akan terkaget-kaget karena masjid, surau, pesantren digunakan untuk penyebaran kampanye hitam ini secara massif. Lebih kaget lagi karena kejahatan yang terorganisir ini dilakukan secara berjamaah.
Para ‘intelektual Islam’ dan anggota partai yang mengusung ideologi Islam itu seperti kehilangan rasionalitasnya dan terus-menerus mereproduksi kampanye hitam tersebut. Mengerikannya, semua kampanye hitam itu dibungkus dengan klaim keselamatan Islam, sehingga kritik terhadapnya segera dianggap sebagai kritik terhadap Islam. Yang menolak kampanye hitam, langsung dituduh sebagai anti Islam.
Fakta terang-benderang ini menunjukkan bahwa Surau yang dengan susah payah dibangun itu kini telah roboh. Bukan dirobohkan oleh musuh yang dibayangkan, melainkan oleh mereka yang mendaku sebagai penjaganya. Inilah warisan yang mesti ditanggung oleh siapapun presiden yang terpilih kelak: membangun dan merajut kembali Surau yang telah roboh itu.
Marhaban ya Ramadhan Karim.***