KAPANKAH politik menjadi ajang kegembiraan rakyat banyak? Sejak Orde Baru, kita telah dibiasakan dengan politik yang tak ideologis, politik suam-suam kuku. Urusan politik dibuat jadi seolah amat jauh dari perkara masyarakat kebanyakan, sehingga pilihan politik masyarakat pun jadi tak menentu. Apa yang kita temukan adalah semacam teknokrasi politik: biarkan politik diatur oleh para teknisi politik, yakni politikus partai. Inilah politik massa mengambang. Dalam kerangka ini, pilihan politik massa dibuat mengambang, tanpa jangkar ideologis, dengan dijauhkannya substansi politik dari kepentingan massa dan pengelolaan politik dari campur tangan massa. Dengan kata lain, yang terjadi ialah suatu depolitisasi politik. Dalam cakrawala dekaden seperti itu, pemilu tampil sebagai ritual lima tahunan yang membosankan.
Situasi semacam ini secara tak disadari telah menanamkan kepercayaan di benak rakyat bahwa golput merupakan pilihan politik yang wajar. Golput adalah citra-cermin dari politik tanpa ideologi, dari teknokrasi politik yang menjauhkan diri dari kehidupan massa. Tentu ada masanya ketika golput menjadi pilihan politik yang ideologis, khususnya suasana represi politik seperti di zaman Orde Baru. Namun apa yang dilakukan para aktivis golput zaman Orba adalah mengartikulasikan semangat umum masyarakat waktu itu, yang kecewa dengan pilihan politiknya karena nyatanya politik dikemudikan tanpa ideologi yang jelas. Dalam suasana seperti itu, sikap tidak memilih adalah sikap yang selaras dengan suasana politik yang hampa ideologi. Sebab pilihan politik adalah pilihan ideologis, yakni pilihan untuk suatu kenyataan sosial masa depan yang dibayangkan akan menjadi aktual. Karenanya, tak ada kegembiraan politik dalam politik teknokratis.
Kegembiraan politik, dengan demikian, adalah antitesa dari politik massa mengambang. Dalam sebuah situasi di mana massa bergembira karena politik, kita menemukan titik balik atas depolitisasi politik. Oleh karena kegembiraan itu muncul dari partisipasi politik itu sendiri, bukan dari iming-iming uang atau jabatan dari hasil politik, maka fenomena ini mesti dimengerti sebagai ‘kegembiraan politik’. Kegembiraan ini muncul dari pengertian bahwa rakyat berperan serta dan memegang kendali politik, bahwa rakyat memiliki kedaulatan politik dan merdeka untuk mewujudkan kedaulatan itu dalam pilihan ideologisnya. Pemilu 2014, karenanya, dapat dilihat sebagai momentum kegembiraan politik rakyat Indonesia atas pemilu yang pertama sejak Orde Baru. Inilah yang kita saksikan dalam geliat relawan Jokowi-JK.
Relawan Jokowi-JK bukanlah ‘pasukan nasi bungkus’ atau orang-orang yang diupah untuk menjagokan pasangan capres-cawapresnya. Mereka bukanlah ‘tim sukses’ dalam pengertian konvensionalnya, yakni sepasukan pekerja politik yang digerakkan oleh upah ketimbang oleh ideologi. Mereka tidak terintegrasi dalam struktur partai politik yang resmi dan tidak juga didanai oleh partai politik tersebut. Mereka bergerak secara swa-daya, mengumpulkan dana secara kolektif, demi mendukung program-program politik progresif yang diusung Jokowi-JK dalam visi-misinya. Dukungan programatik semacam ini mewujud secara luas dan berbasis pada visi-misi resmi Jokowi-JK, antara lain:
– dukungan atas landreform (pembebasan 9 juta hektar lahan yang dibagi-bagikan secara gratis untuk rakyat),
– penghapusan Ujian Nasional,
– pembatasan impor,
– perlindungan perempuan dari kekerasan seksual,
– perlindungan kaum minoritas dari diksriminasi SARA,
– jaminan pendidikan gratis (Kartu Indonesia Pintar),
– jaminan kesehatan gratis (Kartu Indonesia Sehat),
– penolakan atas paradigma debottlenecking MP3EI dan pengutamaan kekuatan ekonomi nasional yang mandiri.
Berhadapan dengan program-program progresif dan ideologis seperti itu, apa masih perlu nasi bungkus? Itulah sebabnya relawan Jokowi-JK bekerja keras tanpa dibayar dan tanpa iming-iming jabatan. Apa yang mereka harapkan dan perjuangkan adalah realisasi program-program itu. Dalam kerja bakti politik seperti inilah terwujud kegembiraan politik yang sesungguhnya.
Kegembiraan semacam itulah yang kita saksikan dalam berbagai lagu yang diciptakan relawan Jokowi-JK, entah yang berkelompok maupun yang individual, mulai dari yang direkam dengan kamera canggih hingga kamera HP berformat 3gp, mulai dari yang dinyanyikan oleh pelayan restoran sampai tukang pijit, pengamen dan TKI, mulai dari lagu dengan aransemen pop 80-an ala Fariz RM (http://www.youtube.com/watch?v=iDEmnGcIUcQ) hingga aransemen dangdut koplo (http://www.youtube.com/watch?v=Q2dDRmKOcXc). (Itu hanya sebagian dari 80-an lebih lagu dukungan Jokowi-JK yang dikumpulkan oleh Natalia Taufik.) Lagu-lagu itu menunjukkan kesukarelaan rakyat untuk berpartisipasi dalam kegembiraan politik pemilu.
Kerja bakti politik semacam ini memang terkesan tidak radikal. Mereka yang terlibat tidak lantas meneriakkan yel-yel revolusioner. Akan tetapi, melalui kerja bakti politik ini kontradiksi politik dalam situasi nasional jadi meruncing. Beberapa waktu yang lalu, mobilisasi babinsa untuk mendata pilihan politik rakyat dan mengarahkan mereka untuk mendukung Prabowo-Hatta menuai kecaman keras dari para relawan. Konsekuensinya, orang partai sendiri merespon dengan seruan ‘bekukan komando teritorial’. Kita tahu, penghapusan komando teritorial adalah salah satu dari dua pokok utama tuntutan cabut dwi-fungsi ABRI semasa Orde Baru. Pokok yang berhasil diraih adalah penarikan ABRI dari medan politik. Namun komando teritorial yang merupakan kaki militer di masyarakat belum berhasil dihapuskan. Oleh karena itu, fakta bahwa orang partai menyerukan pembekuan komando teritorial bisa dilihat sebagai radikalisasi situasi yang muncul dari kerja bakti politik yang kesannya tidak radikal. Dengan kata lain, kerja bakti politik pada-dirinya tidak radikal, tetapi efeknya yang radikal.
Apa yang tak kurang penting adalah menjaga agar kerja bakti politik elektoral dapat diteruskan menjadi kerja bakti politik pasca-elektoral sehingga kegembiraan politik elektoral ini dapat bertransformasi menjadi kegembiraan politik pasca-elektoral. Artinya, yang penting adalah meng-upgrade dukungan elektoral menjadi dukungan programatik sehingga tujuan kerja bakti politik bukan hanya memenangkan Jokowi-JK, tetapi juga mengawal realisasi program-program progresif yang tercantum dalam dokumen visi-misi. Kaum Kiri yang skeptis bisa saja bertanya: mana mungkin Jokowi mampu mewujudkan visi berdikari ekonomi berhadapan dengan kepentingan asing yang demikian menggurita dalam struktur ekonomi-politik Indonesia? Pertanyaan ini salah alamat; seharusnya pertanyaan itu tidak ditujukan ke Jokowi tetapi ke kita sendiri. Mampukah kita mengawal visi berdikari ekonomi dan memberikan dukungan massa popular pasca-elektoral sehingga Jokowi dapat merealisasikan visi ideologis tersebut? Sanggupkah kita “memimpin kepentingan revolusi (melalui propaganda, agitasi dan organisasi) dalam badan non-revolusioner, dan kerapkali dalam badan yang terang-terangan reaksioner, dalam situasi non-revolusioner, di antara massa yang belum mampu mengapresiasi langsung keperluan bagi metode aksi yang revolusioner”? Beranikah kita menanggalkan atribut Marxis dan bekerja dalam front-front luas hingga turun ke forum-forum musrenbang sambil mengawal visi-misi progresif Jokowi dan mengantarkannya ke tingkat musrenbangnas sehingga menghasilkan koreksi RPJP yang semangatnya bukan lagi MP3EI? Sanggupkah kita memastikan agar visi-misi tersebut diadopsi oleh Bappenas sebagai kerangka acuan perencanaan pembangunan? Bebannya tidak terletak di pundak Jokowi, tetapi di pundak kita semua. Jangan tanya apa yang Jokowi perbuat bagi kita, tetapi tanyalah apa yang sudah kita kerjakan bagi realisasi visi-misi Jokowi—sebab Jokowi adalah kita.***
17 Juni 2014