Salah satu ilusi terbesar yang masih diidap oleh kalangan Kiri yang mendaku dirinya ‘revolusioner’ adalah masih adanya kepercayaan bahwa untuk melakukan intervensi politik, maka prakondisi politik tertentu haruslah terpenuhi terlebih dahulu. Kelompok Kiri seperti ini percaya bahwa terdapat satu kondisi politik yang bersifat umum (generic) bagi gerakan Kiri yang membuat intervensi politik menjadi tidak terhindarkan. Dalam kasus pemilu kini misalnya, ilusi ini bekerja ketika mereka memutuskan untuk tidak mengambil pilihan politik tertentu alias golput. Alasan Kiri-kiri ini adalah sederhana, bahwa pilihan yang tersedia dalam pemilu sekarang bukanlah pilihan yang berpihak bagi kepentingan kelas pekerja. Yang harus dilakukan kemudian adalah melakukan propaganda besar-besaran mengenai ilusi kelas borjuasi dalam pemilu kini dengan harapan massa rakyat pekerja akan mengikuti propaganda tersebut dan membangun kekuatan politik alternatifnya sendiri. Ketika kekuatan politik ini terbangun, maka dengan sendirinya menjadi keharusan bagi kekuatan Kiri untuk melakukan intervensi politik. Namun ketika kekuatan politik ini absen, tidak menjadi keharusan bagi kelompok Kiri untuk melakukan keputusan intervensi politik.
Ilusi dari gagasan ini setidaknya terletak pada anggapan bahwa situasi politik adalah sesuatu yang dapat dipilih seenak udele oleh gerakan Kiri itu sendiri. Disinilah kita dapat menemukan apa yang idealis dari cara pandang Kiri seperti ini. Ibarat pola pikir akuntan, kategori-kategori politik haruslah dipenuhi terlebih dahulu baru kemudian keputusan dilakukan. Akan tetapi sebagaimana Marx telah mengkritik Hegel yang ‘selalu berjalan dengan kepalanya’, situasi politik nyata tidak pernah muncul dalam asumsi yang ideal dalam kepala kita. Terdapat banyak prakondisi yang tidak dapat dipenuhi ketika intervensi hendak dilakukan Oleh karena itu keputusan politik gerakan Kiri untuk melakukan intervensi politik selalu bersifat premature.. Hal ini sendiri adalah lumrah mengingat intervensi politik Kiri selalu berada dalam batas-batas ruang politik yang diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri.
Namun kemudian muncul pertanyaan, bukankah cara pandang seperti ini adalah cara pandang ‘orang kalah’ (defeatism) yang menerima sepenuhnya cara bermain ruang politik kapitalisme itu sendiri? Tentu saja tidak. Sebagaimana Marxisme menyediakan sains mengenai relasi sosial masyarakat kapitalis, maka politik dan intervensi politik Kiri itu sendiri adalah praktik yang sepenuhnya sensitif terhadap relasi social yang berproses dalam situasi politik yang ada. Dalam momen pemilu sekarang, ancaman bangkitnya Orde Baru yang didukung oleh kekuatan preman fundamentalismenya (baik agama maupun pasar) melalui kandidasi Prabowo merupakan ancaman tersendiri bagi pengorganisasian kelas pekerja itu sendiri. Dengan mengambil sikap golput mengabaikan relasi ini yang tentu saja berpotensi untuk memperlemah proses penguatan organsiasi rakyat pekerja itu sendiri. Dalam hal inilah dukungan terhadap kandidasi Jokowi menjadi keharusan untuk menghadang kemenangan Prabowo.
Tapi dukungan ini bukan berarti membuat semuanya menjadi lebih mudah. Walau secara personal Jokowi relatif lebih bersih dari dosa-dosa Orde Baru, namun ia tetaplah figure politik yang dikelilingi oleh kekuatan oligarki hasil binaan Orde Baru itu sendiri. Disinilah kita bisa melihat ada relasi yang kontradiktif dari kandidasi Jokowi yang harus dikapitalisasi untuk kepentingan politik rakyat itu sendiri. Dukungan terhadap Jokowi adalah dukungan kritis yang melakukan pembedaan dengan kekuatan politik lama yang beredar disekitar dia. Menjadi penting kemudian untuk memperjuangkan secara lebih jelas tuntutan rakyat pekerja dalam agenda kandidasi politik Jokowi. Kekuatan politik lama warisan Orde Baru haruslah terus menerus dilawan untuk memastikan ruang politik yang lebih luas bagi tujuan pembangunan kekuatan politik rakyat pekerja di masa depan.
Dengan bersemangatkan perlawanan terhadap kekuatan politik lama Orde Baru yang kembali bergentayangan dalam momen pemilu kini, Left Book Review (LBR) kembali hadir dihadapan para pembaca. Pada kesempatan ini kami menghadirkan review atas dua buku yang berbicara banyak mengenai corak kuasa kekuatan Orde Baru. Yang pertama adalah review dari Fildzah Izzati atas buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia yang dieditori oleh Vedi R. Hadiz dengan Daniel Dhakidae. Buku ini menjadi penting untuk ditilik kembali ditengah semakin maraknya cara bersikap ‘netral berpengetahuan’ yang pada dasarnya adalah bagian dari agenda politik Orde Baru itu sendiri. Tulisan yang kedua berasal dari Dicky Dwi Ananta yang mereview buku Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto karya Vedi R. Hadiz yang memberikan gambaran luas mengenai operasi kekuasaan politik lama Orde Baru yang kembali bercokol pasca keruntuhan Orde Baru itu sendiri.
Akhirul kalam, pembangunan partai rakyat pekerja yang sejati tidak pernah berada dalam ruang politik yang vakum. Upaya untuk pembangunan organisasi alternatif rakyat pekerja ini adalah kulminasi dalam perjuangan politik yang nyata yang menjawab langsung problem massa rakyat pekerja yang secara terus-menerus dipengaruhi oleh kontestasi politik yang terjadi. Yang menjadi krusial kemudian adalah menghubungkan secara strategis tujuan dari pembangunan partai ini dalam rentang taktis perjuangan politik massa selama pemilu sekarang ini. Dalam kaitannya terhadap Jokowi, masih banyaknya kekuatan politik lama Orde Baru yang bergentayangan sekitar dirinya membuat dukungan atas dirinya tidak lagi dapat disikapi layaknya suatu komunitas fansclub tapi harus mulai mengorganisasikan diri layaknya kekuatan politik. Perjuangan untuk menghancurkan pengaruh kekuatan politik Orde Baru adalah suatu keharusan justru dalam momen kepopuleran Jokowi kini. Sebagaimana seorang kawan sempat berujar, ‘bukan apa yang dikatakan Jokowi itu penting; namun apa yang kita perjuangkan itulah yang penting!’