Bisakah kita memiliki sikap independen, bahkan ketika kita telah menyatakan dukungan terhadap pihak lain? Setelah dibasmi tentara dan sekutu-sekutu sipilnya pada 1965, gerakan sosial-politik di Indonesia tidak memiliki referensi yang kaya tentang independensi gerakan. Di kalangan LSM, independensi gerakan berarti tidak berpihak kemana-mana kecuali pada donor. Memberikan dukungan kepada sebuah kelompok politik tertentu adalah haram, nista, harus dijauhi. Politik kita adalah politik yang independen, begitu mantranya. Bagi gerakan kiri, yang bangkit kembali di akhir masa kekuasaan rezim orde baru, independensi gerakan tidak ada dalam kamus. Pilihannya hanya anti-Soeharto atau pro-Soeharto, kawan atau lawan, revolusi atau mati.
Warisan politik hitam-putih ini masih begitu kental hingga kini. Bahkan penilaian datang duluan ketimbang analisa yang dingin atas realitas hubungan politik yang ada. Tidak heran jika muncul cacian bahwa mendukung Jokowi, apalagi PDI-P, berarti pelacur politik. Yang lain berseru, mengharapkan perubahan dari partai dan politisi borjuis adalah ilusi belaka.
Sejarah memang memberikan konfirmasi atas penilaian-penilaian seperti ini. Lebih-lebih di masa orba dan pasca-orba, dimana mendukung berarti bersedia melakukan apa saja untuk memenangkan atau membela pihak yang didukung. Sehingga, hampir-hampir sulit untuk membedakan mana dukungan dan mana jilatan. Pokoknya berani malu membela sang patron.
Hal yang sama terjadi di Argentina, dimana gerakan massa Piquetero yang sukses menjatuhkan rezim neoliberal pada 2001, kemudian memberikan dukungan politiknya kepada rezim Peronist pimpinan Néstor Kirchner dan kemudian istrinya Cristina Elisabet Fernández de Kirchner. Dalam perkembangannya, aliansi ini menyebabkan gerakan Piquetero kehilangan independensi dan otonominya di hadapan rezim Kirchner, terutama ketika pemerintahan progresif ini mengucurkan dana cukup besar kepada keluarga-keluarga miskin melalui program Perencanaan Sosial (Planes Sociales). Mereka terkooptasi oleh rezim, sehingga bukan saja gerakan anti-neoliberal melemah, bahkan gerakan Piquetero ini pun tidak lagi menjadi lokomotif gerakan anti-neoliberalisme. Hal yang mirip juga terjadi di Brazil, dimana gerakan sosial terpenjara badannya dan terikat tangannya akibat hubungan eratnya dengan presiden Luiz Inácio Lula da Silva.
Tetapi politik tidak mengenal kosakata takdir. Mendukung rezim berkuasa tidak selalu harus menggadaikan independensi politik dari gerakan. Inilah yang terjadi di Venezuela di masa pemerintahan Hugo Chavez. Antara rezim Bolivarian dan gerakan sosial berlangsung hubungan yang dialektis: Chavez paham betul bahwa proyek sosialisme abad ke-21 yang dicanangkannya hanya akan sukses jika ia melibatkan partisipasi massa yang seluas-luasnya. Untuk itu, aparatus negara kemudian gencar mempromosikan pembukaan ruang-ruang publik bagi massa untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan. Lalu dibentuklah dewan-dewan komunitas dengan kucuran dana besar untuk kelancaran aktivitas dewan-dewan komunitas tersebut. Tetapi, peran aktif negara ini justru berpeluang untuk mengooptasi gerakan sebagaimana yang terjadi di Argentina dan Brazil.
Di pihak lain, gerakan sosial sangat sadar bahwa hanya di bawah kepemimpinan Chavez mereka semakin mudah melakukan aktivitas sosial-politiknya. Itu sebabnya, mereka mendukung kepemimpinannya. Tetapi mereka juga paham bahwa kebijakan-kebijakan Chavez belum sepenuhnya terbebas dari logika kapital. Dalam bahasa sosiolog Sujatha Fernandes dalam bukunya, Who Can Stop the Drums?: Urban Social Movements in Chávez’s Venezuela, pemerintahan Venezuela di bawah Chavez baru memasuki tahap yang disebut ‘post-neoliberal,’ dimana ciri utamanya: di satu pihak menjalankan kebijakan-kebijakan anti-neoliberal, tapi di pihak lain tetap mengakomodasi model kapitalisme-neoliberal. Akibatnya, dalam beberapa kasus, pemerintahan Chavez harus menghadapi perlawanan sengit dari gerakan ketika kebijakannya bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak.
Berpikir dan bekerja secara dialektis, itulah kata kunci dalam memahami fenomena politik saat ini. Termasuk menyadari bahwa kita bukan Venezuela dan tidak ada Hugo Chavez di sini. Yang pasti, sikap politik hitam-putih adalah sia-sia belaka.***