SEJAK dirilisnya film Jagal (The Act of Killing), Peristiwa G30S untuk pertama kalinya menjadi perhatian serius masyarakat internasional. Sebelumnya, peristiwa genosida dan barbarik itu di simpan rapat di bawah karpet mewah kemajuan ekonomi dan stabilitas politik rezim orde baru Soeharto. Para sekutu internasional orde baru juga secara sengaja tutup mata bahwa rezim yang didukungnya itu sama brutalnya dengan rezim Nazi-Hitler.
Di masa Perang Dingin (yang hanya dingin di Eropa dan Amerika Utara), pemerintahan yang bengis, kejam, barbarik itu diberitakan hanya muncul di negara-negara yang menganut ideologi komunis atau sosialis. Sementara di negara non-komunis, walaupun dipimpin oleh junta militer berdarah, tapi semuanya dimaklumi bahkan didukung demi kemajuan ekonomi dan masa depan demokrasi. Kehadiran Jagal, meruntuhkan semua wacana politik yang dibungkus dengan propaganda massif media serta kalangan intelektual pendukungnya. Kepada rakyat Amerika yang mayoritasnya apolitis, Jagal seperti mengatakan ‘hei pemerintahan loe harus bertanggung jawab atas dukungannya terhadap pembantaian massal rakyat Indonesia oleh tentara dan milisi-milisi binaannya pada 1965.’
Karena itu, kehadiran Jagal, walau bukan yang pertama dan satu-satunya memberitakan genosida itu, menjadi begitu aktual. Ia membuka kembali perbincangan terhadap genosida yang hanya kalah dari genosida terhadap orang Yahudi Jerman. Dan lebih buruk dari kasus Nazi yang pelakunya dihukum, para Jagal di Indonesia begitu bangga dengan perbuatannya. Bagi mereka membantai manusia seperti membantai seekor ayam. Lihatlah kasus Cikeusik, dimana pembantaian terhadap warga Ahmadiyah dilakukan secara heroik.
Tetapi melihat kasus 1965 dari sudut pandang HAM semata, tidaklah memadai. Pembantaian 1965 adalah prasyarat utama bagi masuknya penetrasi kapitalisme yang lebih dalam dan luas ke Indonesia. Sebagai sebuah hubungan sosial, kapitalisme pada awalnya tidak bisa berkembang dengan bersandar pada pasar semata. Pasar baru bisa bekerja jika penghalang-penghalangnya dibersihkan. Dan penghalang terbesar adalah rakyat yang memiliki kesadaran politik dan organisasi yang baik. Sebelum genosida terjadi, kekuatan politik yang paling gigih menentang kapitalisme adalah PKI bersama ormas-ormasnya. Dalam kondisi seperti itu, investor asing enggan dan sulit menginvestasikan uangnya ke Indonesia. Pengusaha tidak bisa bisa semena-mena menindas buruh, karena buruh yang tergabung dalam SOBSI begitu kuat. Demikian juga kapitalisme pertanian dan proletarianisasi pedesaan tak bisa berjalan mulus, karena BTI siap menghalanginya.
Baru setelah genosida, penetrasi kapitalisme begitu gencar terjadi. Karena itu, pembantaian 1965 itu seperti karpet merah yang dihamparkan oleh rezim orde baru guna menyambut para pangeran kapitalis internasional dan lokal untuk mereguk keuntungan tak terhingga. Pada saat yang bersamaan, rakyat dibikin anti-politik, militer dan militerisme hadir di mana-mana, parpol dipreteli fungsinya, organisasi buruh, petani, guru, dan pemuda dikooptasi dan dikontrol ketat oleh negara. Siapa yang melawan ditangkap, dipenjarakan, dan dimatikan hak sosial, politik, dan ekonominya. Inilah esensi kapitalisme, sebuah sistem dimana kekerasan dan eksploitasi merupakan syarat bagi kehidupannya.
Sayangnya, makna ekonomi politik (ekopol) dari Jagal ini masih kurang mendapat perhatian. Jika Jagal hanya kita lihat sebagai sebuah peristiwa HAM, maka selanjutnya adalah bagaimana menuntut agar ada penuntasan terhadap kasus di masa lalu yang dilakukan oleh rezim lama secara individual. Bawa pelakuknya ke pengadilan atau bentuk rekonsiliasi nasional. Sementara, jika kita melihat aspek ekopolnya maka masalah yang kita hadapi adalah sistem yang sekarang ini tetap eksis dan semakin hegemonik: kapitalisme.***