BEBERAPA waktu lalu, wartawan senior Michael Vatikiotis di harian The New York Times (2/21/2014) menulis tentang kondisi demokrasi di Indonesia yang dianggapnya sangat rapuh. Kerapuhan itu disebabkan oleh dua hal, yakni korupsi yang merajalela dan kekerasan sektarian yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis Islam. Jika kerapuhan ini tak bisa diatasi, demikian Vatikiotis, demokrasi Indonesia butuh ‘tangan yang membimbing/guiding hand’ agar bisa selamat. Dan ‘tangan yang membimbing’ itu tak lain tak bukan adalah militer.
Pandangan serupa disampaikan Bilver Singh, professor ilmu politik di National University of Singapore (NUS). Singh yang terkenal sebagai simpatisan rezim orde baru, kepada media online The Establishment Post (2/4/2014) mengatakan, pemerintahan pasca reformasi telah gagal dalam mewujudkan impian reformasi, dan itu disebabkan karena kepemimpinan nasional yang lemah. Praktik korupsi gila-gilaan dari pejabat negara dan politisi dianggap Singh sebagai penyebab utama kegagalan pemerintahan pasca reformasi ini. Dan terapi paling tepat untuk mengatasi kegagalan itu diperlukan pemimpin yang kuat (strong leadership). Dan seperti Vatikiotis, Singh mengatakan bahwa pemimpin kuat tersebut sebaiknya adalah seorang militer.
Pandangan Vatikiotis dan Singh ini tentu saja lucu, karena selama 10 tahun Indonesia dipimpin oleh seorang militer. Rupanya Vatikiotis sudah punya jawabannya, bahwa benar Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang militer, tapi ia militer yang reformis. Kalau begitu mereka berdua menghendaki pemimpin militer yang berdarah dingin dan bertangan besi? Apakah keduanya sedang mempromosikan Prabowo Subianto, yang digambarkan sebagai anti-tesa dari SBY: jenderal tegas dan keras?
Menariknya, ketika keduanya mengajukan pandangan ini, popularitas Jokowi sedang tinggi-tingginya. Lembaga-lembaga survey nasional terus menempatkan Jokowi dipuncak klasemen perebutan kursi presiden. Ia jauh meninggalkan Prabowo yang merupakan pesaing terberatnya. Melihat fakta itu, Vatikiotis mengatakan bahwa Jokowi tidak teruji di pentas perpolitikan nasional dan walaupun ia bukan politisi korup, tapi belum tentu ia sanggup mengalahkan kalangan ekstrimis Islam. Keraguan senada kembali dikemukakan Singh, bahwa politisi sipil telah terbukti gagal.
Kini Jokowi telah secara resmi dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai calon presiden mereka. Merujuk ke hasil survei nasional, maka hanya butuh keajaiban untuk menjegal langkah Jokowi menjadi presiden. Dan daftar masalah yang telah disusun Vatikiotis dan Singh mesti kita tambahkan, seperti kemiskinan dan kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar. Mampukah Jokowi membalikkan keraguan bahwa hanya militer yang akan bisa menyelamatkan demokrasi yang rapuh ini?
Saya berpendapat adalah salah jika Jokowi berniat membuktikan kepemimpinannya berdasarkan cara berpikir Vatikiotis dan Singh ini. Pertama-tama demokrasi kita tidaklah rapuh, sebaliknya ia sangat efektif sebagai ajang pergantian dan bagi-bagi kekuasaan di kalangan oligarki. Inilah esensi demokrasi elektoral. Demokrasi model ini sama sekali gagal dalam mengoreksi kesenjangan ekonomi dan menyediakan akses bagi rakyat miskin kepada sumber-sumber kesejahteraan. Dalam demokrasi seperti ini, rakyat hanya jadi penonton dan penggembira karena demokrasi hanya sekadar pesta lima tahunan. Selesai berpesta selesai sudah dan kekuasaannya yang hanya lima menit di bilik suara itu tak sanggup untuk mengatasi tekanan hidupnya sehari-hari. ‘Rakyat berkuasa lima tahun sekali, tapi pasar berkuasa setiap harinya,’ kata pialang saham George Soros. Dalam kondisi seperti ini, sanggupkah Jokowi melawan demokrasi oligarkis ini? Inilah yang harus dibuktikan oleh Jokowi.***