BEBERAPA waktu lalu, Prabowo Subianto, calon presiden (capres) Partai Gerindra dengan percaya diri mengatakan bahwa jika Soeharto masih hidup dan mencalonkan diri sebagai capres, maka ia pasti akan terpilih secara mutlak sebagai presiden. Prabowo tidak sendirian rupanya. Aburizal Bakrie dan Partai Golkar, dalam kampanyenya secara eksplisit menjual orde baru sebagai masa dimana rakyat hidup tenang, damai dan sejahtera.
Mengapa kedua capres ini merindu orba? Jawaban sederhananya karena keduanya adalah produk zaman itu. Siapa tak kenal dan tak takut pada Prabowo, Danjen Kopassus, anak mantu Soeharto pula. Aburizal Bakrie adalah segelintir pengusaha pribumi (istilah orba) yang mampu melesat ke jajaran atas orang terkaya di Indonesia berkat kedekatannya dengan Ginandjar Kartasasmita, anggota ring satu keluarga Cendana. Jadi, di masa orbalah keduanya menikmati masa-masa keemasan dalam hidupnya. Hanya dengan berucap kun fayakun, apa yang mereka inginkan pasti terpenuhi.
Dalam konteks pemilihan umum ini, dengan menjual orba maka mereka tengah menyasar pemilih pemula yang ketika orba runtuh mungkin baru setingkat di atas balita. Mereka mau bilang bahwa demokrasi saat ini sudah salah kaprah, sudah terlalu bising, sudah over politicized. Tidak seperti era orba dimana rakyat itu bekerja, membangun kehidupan ekonominya sehingga hidup menjadi tenteram dan damai. Ketentraman dan kedamaian itu yang kini hilang.
Tentu saja semua orang ingin hidup tentram dan damai, dan bagi pemilih pemula itu sungguh tawaran yang menggiurkan. Tetapi yang Prabowo dan Aburizal tidak sebutkan bahwa ketentraman dan kedamaian yang tercipta di masa orba itu adalah produk dari penindasan yang jarang ditemui bandingannya dalam sejarah umat manusia. Damai dan tentram itu sejatinya adalah refleksi dari ketakutan yang sangat. Orang takut bersuara, berpendapat, dan bertindak sebab tak ingin dicap PKI, anti Pancasila, dan anti Pembangunan. Dan kalau nekat bersiaplah untuk ditangkap, dipenjara atau dipetruskan.
Jualan lain tentang orba adalah sukses pembangunan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-7 persen per tahun, inflasi di bawah dua digit, swasembada pangan menjadi bukti keberpihakan pada rakyat, terjadi transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri sehingga menyebabkan orang gampang cari kerja, gampang sekolah, dan kalau sakit ada puskesmas yang siap setiap saat. Bandingkan dengan kondisi saat ini dimana pertumbuhan ekonomi mandek sehingga orang susah dapat kerjaan, sekolah makin hari makin mahal, dan orang dilarang sakit karena ongkos berobat begitu mahalnya.
Tapi semua cerita sukses pembangunan itu berdiri di atas pondasi yang rapuh: jurang kaya-miskin yang sangat lebar, korupsi-kolusi-nepotisme, utang luar negeri yang menggunung, dan ketergantungan ekonomi yang sangat besar pada ekonomi asing. Kue pembangunan itu bukannya meluber ke bawah, kepada rakyat yang belum beruntung seperti yang diteorikan, melainkan meluap ke atas, kepada para elite. Inilah yang menjelaskan mengapa seluruh ‘prestasi’ pembangunan itu runtuh seketika sewaktu diterpa badai krisis Asia 1997. Dengan ambruknya ekonomi orba yang selama itu menjadi dasar legitimasi dijalankannya politik teror, maka keruntuhan bangunan rezim itu sendiri tinggal menghitung hari.
15 tahun berlalu sejak keruntuhannya, tingkat kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik, harga-harga bahan kebutuhan pokok makin tak terjangkau, pekerjaan semakin susah didapat, dan konflik sosial hadir di mana-mana. Kondisi inilah yang membuat orang semacam Prabowo dan Aburizal Bakrie begitu merindu orba. Kepada rakyat yang makin lelah menyaksikan demokrasi oligarkhis ini, mereka tawarkan masa lalu yang gemilang sebagai jawaban bagi kekisruhan dan kekusutan sekarang. Dan jika kita tak tahu bagaimana cara menghadapinya, bukan tidak mungkin rindu orba itu menjelma dalam kenyataan.***