JOKO: War, kau masih ingat, sudah berapa lama kita berada di sini?
Anwar: Wah, sejak kapan ya? Kayanya sudah dari sononya kita di sini. Mungkin sejak 1999. Atau 1998. Memang kenapa, Jok?
Joko: Tidak apa-apa, War. Hanya saja belakangan ini aku semakin rindu dengan hingar-bingar politik. Di hutan ini cuma ada tumbuh-tumbuhan dan beberapa serangga.
Anwar: Apa kau mulai kehilangan iman, Jok? Kita kan ke sini karena muak dengan kebusukan politik borjuis. Kita ke sini untuk membuat perbedaan. Kita tunjukkan bahwa politik tak akan berjalan tanpa rakyat.
Joko: Rakyat yang mana, War?
Anwar: Rakyat yang mana? Ya kita ini kan rakyat.
Joko: Ya, maksudku, kita ini kan bagian dari rakyat—sebagian kecil rakyat yang terdiri dari dua orang. Sisanya?
Anwar: Sisanya masih terilusi, Jok.
Joko: Terilusi bagaimana?
Anwar: Ya, terilusi. Masa kau tak tahu? Kau ini aneh sekali. Sudah 15 tahun tinggal di hutan kok tiba-tiba lupa dengan alasan kita mulanya memutuskan hidup di sini. Orang-orang terilusi oleh harapan mereka sendiri; harapan bahwa politik elektoral akan bisa menyelesaikan kontradiksi kelas dan mengakhiri penghisapan; harapan bahwa kapitalisme bisa diatasi lewat konsensus elit. Kita berbeda dari mereka, Jok. Kita beda. Kita sudah anti-elektoralisme, anti-kapitalisme dan anti-elit sebelum hal-hal itu jadi mainstream.
Joko: Ooo… Jadi kita ini semacam hipster ya?
Anwar: Bukan juga. Hipster itu mainstream, Jok. Yang jelas kita sudah berjuang membuyarkan ilusi itu lewat facebook dan propaganda ke desa-desa sekitar sini kan. Kita sudah mengorganisir masyarakat supaya menolak tunduk pada politik elit, agar tidak jatuh pada yang mainstream.
Joko: Terus apa pendapatmu soal populisme yang belakangan ramai dibahas di faceboook dan twitter? Sebetulnya ini yang belakangan bikin aku rindu politik.
Anwar: Ilusi itu, Jok. Populisme itu pencitraan yang dibuat industri media. Seakan-akan mengedepankan program-program pro-rakyat, nyatanya permainan elit biar dapat suara. Malah bisa-bisa jatuh ke fasisme. Kalau di Venezuela atau di Kolumbia itu beda; di sana populismenya Marxis. Kalau di Indonesia, populisme itu cuma slogan; praktiknya ya neolib.
Joko: Berarti ada populisme Marxis dan ada populisme non-Marxis? Kalau begitu apa bedanya?
Anwar: Ya gampang saja: populisme Marxis itu betul-betul diabdikan untuk rakyat, kalau populisme non-Marxis, seperti fasisme, kan tidak begitu.
Joko: Ooo… Berarti bedanya: populisme Marxis itu jujur, populisme non-Marxis itu pembohong? Jadi kejujuran itu adalah salah satu kelebihan Marxisme ya? Selarasnya kata-kata dan perbuatan?
Anwar: Ya… Lumayan lah.
Joko: Tapi bukankah, kalau kita bicara realpolitik, sosok populis itu betul-betul didukung oleh rakyat banyak? Atau kau mau bilang realpolitik sudah terlalu mainstream?
Anwar: Ya memang sih. Tapi dia kan tidak sungguh-sungguh Kiri. Mana bisa dia membawa perubahan emansipatoris pada kelas-kelas tertindas? Justru tugas kita adalah menyadarkan rakyat banyak yang masih terilusi itu agar tidak memilih dia?
Joko: Kalau tidak memilihnya terus rakyat mesti memilih siapa? Memilih kita? Menolak partisipasi dalam pemilu dan bergabung dengan kita? Orang partai aja kita ngga punya. Orang kita tinggal di hutan!
Anwar: Makanya mending kita fokus saja ke pengorganisasian, biar kita bisa mendirikan partai massa yang benar-benar kuat.
Joko: Seingatku, lima tahun yang lalu kau bicara hal yang sama, War. Lalu lima tahun sebelumnya juga.
Anwar: Membangun partai revolusioner sejati kan memang perlu waktu yang lama. Dalam situasi dominannya kultur borjuis seperti ini, bisa makan waktu puluhan tahun untuk membuat partai yang sesuai dengan ajaran Marxis-Leninis. Malah mungkin seratus tahun lebih, kalau mau benar-benar sesuai.
Joko: Lalu apa arahan yang semestinya kita berikan pada rakyat dalam kondisi sekarang ini? Boikot pemilu dan tunggu seratusan tahun lagi—begitu?
Anwar: Ya bisa begitu.
Joko: Kenapa kita tidak bikin agama saja, War? Kan agama mengajarkan orang untuk bersikap dengan mengacu pada masa depan yang entah kapan tibanya?
Anwar: Agama itu candu.
Joko: Jamur juga, War.
Anwar: Terus maumu apa, Jok? Kita mesti memberi dukungan kritis, begitu? Atas dasar apa? Posisimu di mana sih?
Joko: Posisiku di hutan, War. Seperti kau juga. Dan kita mengira kita sudah berpolitik, padahal baru sebatas bergunjing—entah di facebook, entah di desa-desa sekitar. Kita baru sebatas mengorganisir opini massa: bahwa politik elit itu busuk, bahwa upah buruh kebun itu tidak manusiawi, bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi oligarkis. Kalaupun karena informasi itu, masyarakat kemudian melakukan aksi massa, kita tidak bisa mengklaim itu karena hasil kerja politik kita. Kalau cuma informasi selevel itu, mereka juga bisa dapat dari mana saja: dari koran, dari TV, dari medsos, dari mana-mana. Celakalah kita kalau kita berpikir bahwa karena kita telah mengorganisir massa agar ngambek pada pemerintah, maka kita telah berpolitik. Padahal politik bukan cuma aksi massa. Celaka kita, War.
Anwar: Tidak benar itu, Jok. Tugas kita sebagai aktivis Marxis adalah mendesakkan pengambil-alihan negara di tangan rakyat pekerja. Itulah tujuan yang akan kita capai melalui pengorganisasian kemarahan rakyat pada pemerintah. Agar supaya mereka sadar bahwa mereka telah ditipu oleh elit, agar supaya mereka menentang politik upah murah yang diterapkan para oligark dan kapitalis, agar supaya terjadi pemogokan massal dan mereka semua turun ke jalan. ‘98, Jok, ‘98!
Joko: Dalam ingatanmu itu, apakah kemudian pemerintah berhenti berjalan?
Anwar: Berhenti, Jok. Suharto turun.
Joko: Ya, Suharto turun, Habibie naik dan pemerintah jalan seperti biasa kan? Mengapa begitu?
Anwar: Karena permainan elit lah, Jok. Masa kau tak tahu?
Joko: Karena kita hanya tahu politik sebatas aksi massa, War! Itu sebabnya. Itu sebabnya ketika ‘permainan elit’ yang kau sebut-sebut itu terjadi, kita cuma bisa celingukan. Atau, lebih parah lagi, kita lah yang berjalan seperti biasa. Terus mengandalkan aksi massa dan terus harap-harap cemas menantikan datangnya suatu Pemogokan Universal yang akan dalam satu tarikan menjungkalkan sistem demokrasi borjuis, menumbangkan kapitalisme dan mendirikan pemerintahan rakyat. Bahkan Lenin pun tak selugu itu.
Anwar: Politik revolusioner yang sejati kan memang aksi massa, Jok! Kalau negosiasi, pencitraan, kompromi, itu namanya politik borjuis.
Joko: Kalau negosiasi, pencitraan dan kompromi kau anggap borjuis, lantas mau kau anggap apa sejarah gerakan Kiri dunia? Pada masa kemelut Revolusi, Lenin sampai memohon-mohon pada para bankir agar tidak meninggalkan Rusia demi menjaga stabilitas Uni Soviet yang baru terbentuk. Ketika keteguhan Mao dan keawasan Chu Teh tak membuahkan hasil yang cukup, Zhou Enlai lah yang berkeliling untuk bernegosiasi dengan lawan-lawan politiknya. Ia membuka dialog dan memenangkan tujuan-tujuan Kiri dengan cara-cara deliberatif. Ia bertarung di front-front yang tidak membutuhkan atau bahkan alergi terhadap fraseologi Marxis. Ia mampu merumuskan kepentingan Kiri ke dalam bahasa yang bisa dimengerti dan disepakati kelompok-kelompok yang paling Kanan mentok sekalipun. Politik bukan cuma aksi massa, War. Politik juga melibatkan ‘momen-momen Zhou Enlai’ semacam itu.
Anwar: Oke berarti itu cuma soal bahasa.
Joko: Bukan ‘cuma soal bahasa.’ Itu melibatkan kerangka pengertian Marxis yang kokoh pada prinsip dan metode, tetapi luwes dalam penerapan dan pengungkapan. Tanpa pendalaman prinsip dan metode Marxis yang memadai, kau akan diombang-ambingkan oleh situasi dan menjadi korban pergaulan semata. Tetapi tanpa fleksibilitas dan sensitivitas pada realpolitik, kau juga akan tenggelam seperti batu karang di tengah laut: kokoh tapi tak punya dampak.
Anwar: Jadi menurutmu kecenderungan populisme dalam politik Indonesia belakangan ini mesti dibaca dalam kerangka ‘momen Zhou Enlai’ itu?
Joko: Betul.
Anwar: Jadi sekarang saatnya bagi gerakan untuk menerjemahkan agenda-agenda Kiri ke dalam rumusan yang bisa diterima banyak pihak tanpa menghilangkan substansi agenda tersebut?
Joko: Betul.
Anwar: Untuk itu, kita mesti menjalin kontak dengan gerakan populis agar mampu memasukkan agenda-agenda itu, bukan? Dengan kata lain, kita perlu bergaul, bukan?
Joko: Tentu saja.
Anwar: Kalau seandainya agenda-agenda itu gagal dilaksanakan oleh sosok populis itu bagaimana? Kita boleh mendesakkan pengambil-alihan negara oleh rakyat kan?
Joko: Bukannya aku menolak, Jok, tapi apa tidak sayang pulsa?
Anwar: Heh.. Maksudnya?
Joko: Dalam kondisi gerakan kita yang sekarang, desakan agar rakyat mengambil-alih negara tak akan didengar. Jadinya buang-buang pulsa. Sekarang berapa jumlah massa kita? Paling ratusan. Kalaupun pada momen krusial seperti 1 Mei, paling ribuan—itupun aksi gabungan dengan gerakan-gerakan lain yang belum tentu bisa diklaim ‘Kiri.’ Jumlah massa kita bahkan kalah sama Kangen Band. Kalau dalam hitungan band, kita paling banter baru setaraf Kufaku Band. Pernah dengar nama Kufaku?
Anwar: Belum.
Joko: Nah itulah kita.
Anwar: Jadi kita mesti memperbesar gerakan terlebih dulu. Memperkuat kerangka penalaran Marxis dan belajar menerapkannya dalam situasi-situasi non- atau anti-Marxis. Mendesakkan agenda-agenda Kiri yang sudah dirumuskan ulang dalam ungkapan yang masuk akal bagi banyak pihak dan memberikan dukungan kritis pada sosok populis untuk melaksanakan agenda tersebut. Bukan begitu, Jok?
Joko: Ya. Singkatnya, kita mesti keluar dari hutan ini.
Anwar: Sepakat, Jok.***
25 Maret 2014