KEPADA para pendukung Jokowi, ada dua jebakan berbahaya yang perlu dihindari. Pertama, keyakinan bahwa Jokowi akan menjadi juru selamat dalam mengatasi kerusakan berat yang menimpa Indonesia saat ini. Keyakinan ini bukan hanya ilusi, tapi sudah menjadi delusi, karena sebaik apapun, Jokowi tidak mungkin bisa mengatasi sendirian masalah ini. Bahkan tuhan pun pasti gagal, karena pertama-tama tak ada yang percaya bahwa itu tuhan, dan kemungkinan besar ia akan segera didemo dan dipersekusi karena berani mengaku-aku tuhan.
Intinya, singkirkan jauh-jauh keyakinan bahwa Jokowi adalah sang juru selamat yang dijanjikan datang setiap 100 tahun sekali. Ia mesti kita tempatkan sebagai politisi seperti yang lainnya, yang seluruh kebijakan-kebijakannya nanti akan sangat tergantung pada kondisi-kondisi struktural dimana ia berkiprah. Kondisi struktural itu menyangkut peta koalisi elit (partai politik, birokrasi sipil, dan militer) yang sangat bercirikan bagi-bagi kekuasaan (power sharing), konteks ekonomi neoliberalisme yang begitu mencengkeram perekonomian Indonesia saat ini, serta peta kekuatan gerakan rakyat. Di sini kita bisa berkaca pada kasus SBY, atau lebih mendekati adalah kasus presiden AS Barack Obama, yang mengusung slogan ‘politik harapan/the politic of hope’ yang terbukti memang hanya semata harapan.
Jebakan kedua adalah jika dukungan yang diberikan kepada Jokowi hanya semata-mata untuk mengantarkan dirinya sebagai presiden yang baru. Sebaik apapun pengorganisiran yang dilakukan, dan secanggih apapun program-program kerja yang disusun, maka pada akhirnya kita hanya menjadi seorang/sekelompok konsultan politik. Kapan-kapan didengar, kapan-kapan dicuekin. Dan ujung terakhirnya, kita sudah tahu, kembali Jokowi harus mengakomodir kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya.
Di sinilah kita mengenal kosakata Dukungan Kritis, yakni sebentuk dukungan dengan sejumlah persyaratan tertentu. Persyaratan itu bukan sesuatu yang ditawarkan kepada Jokowi (memangnya apa daya tawar kita?), tetapi sesuatu yang kita putuskan bagi diri kita sendiri untuk melawan hambatan-hambatan struktural yang ada. Kita dukung Jokowi bukan pertama-tama karena ia populis, seperti yang disinyalir banyak orang, tapi karena kepercayaan rakyat yang begitu massif kepadanya, baik karena perilakunya maupun karena rekam jejak kebijakannya.
Lalu dimana letak kritisnya? Kita tahu dukungan rakyat ini dibarengi dengan harapan bahwa Jokowi bisa membantu memperbaiki kehidupannya. Tapi kita juga mengerti bahwa dukungan seperti ini jika tidak dikelola dengan baik maka hanya efektif di hari pencoblosan. Padahal untuk bisa mengalahkan hambatan struktural tadi maka dukungan rakyat justru semakin dibutuhkan dan esensial ketika Jokowi telah berkuasa. Pengalaman sebagai penguasa di Jakarta menunjukkan bahwa rakyat yang pasif, yang hanya berharap pada kebaikan Jokowi-Ahok, terbukti tidak membawa perubahan yang signifikan sebagaimana diharapkan. Ini juga yang terjadi pada Obama, dimana dukungan rakyat yang massif berhenti persis ketika ia diumumkan sebagai pemenang pemilu. Setelah itu politik Washington kembali kepada rutinitasnya.
Maka para pendukung Jokowi sebaiknya menimbang pengalaman Lingkaran Bolivarian ketika mereka memenangkan Hugo Chavez pada pemilu pertama 1999. Pertama, segera bentuk lingkaran-lingkaran pendukung Jokowi dari struktur pusat hingga struktur terendah, dari pusat kota hingga ujung desa, dari tingkat pabrik hingga bantaran sungai yang fungsinya untuk menggalang dukungan elektoral sekaligus wadah pengorganisiran politik; kedua, secara regular aktif menyebarkan gagasan dan program Jokowi jika ia terpilih sebagai presiden. Misalnya, karena Jokowi telah menyatakan perang melawan neoliberalisme, maka harus segera disosialisasikan apa itu neoliberalisme, bagaimana wujud empirisnya, siapa yang diuntungkan dan dirugikan, dan bagaimana melawannya. Media sosialisasi ini bisa koran, televisi, twitter, dan facebook, tapi yang paling efektif adalah selebaran. Selebaran-selebaran ini didistribusikan dan didiskusikan di dalam lingkaran-lingkaran tersebut secara berkala, sehingga terjadi transformasi dukungan dari dukungan terhadap figur menjadi dukungan terhadap program, terhadap kebijakan, dan terhadap gagasan. Ketiga, harus ditunjukkan secara konkret dan sederhana hal-hal yang berpotensi menghambat atau bahkan menggagalkan program-program Jokowi, mulai dari kalangan oligarki, rezim neoliberal itu sendiri, dan terutama adalah gerakan yang lemah.
Hanya dengan dukungan kritis seperti inilah, kita bisa menghindar dari jebakan Ratu Adilisme di satu pihak, dan sikap kekiri-kirian di pihak lain.***