/1/
/puisi malam/
Seorang kekasih tidur
dengan mata terbuka,
Tangan
terluka.
“Kenapa?” tanya lelaki
yang kebetulan lewat
di depan kamar kosnya.
“Entah,” igau kekasih itu.
“Mungkin lelah.
Mungkin kalah.”
/2/
/puisi 05:30/
Lelaki itu jarang bicara.
Terkadang ia mimpi.
Malam jauh.
Bahasa purba
yang lupa
pernah punya makna.
Mimpi kerap kali
punya janji.
Terkadang tentang manisnya
esok hari, terkadang
untuk melupakan
kusutnya jalan pagi ini.
/3/
/pagi yang cerah 07.25/
Penyair tak lagi menulis
untuk sarapan pagi
dan secangkir kopi
karena
puisi tak mampu
menggerakkan mesin-mesin
dan
mengusir kantuk.
/4/
/pagi semakin cerah, 08.00/
Jangan.
Banyak.
Bicara.
/5/
/apa yang dilakukan ketika sesuatu harus dilakukan/
Ini begini.
Itu begitu.
Ini di sini.
Itu di situ.
Dibeginikan. Dibegitukan. Oper sana. Oper sini.
Kurang cepat.
Inibegini.
Itubegitu.
Inidisini.
Itudisitu.
Dibeginikan, dibegitukan, opersana, opersini.
Lebih cepat lagi.
Inibegini.Itubegitu.Inidisini.Itudisitu.
Dibeginikan.Dibegitukan.Opersana.Opersini.
Masih kurang cepat!
Inibeginiitubegituinidisiniitudisitu.
Dibeginikandibegitukanopersanaopersini.
Sedikit lagi!
inibeginiitubegituinidisiniitudisitu
dibeginikandibegitukanopersanaopersini.
Nah!
Teruskan!
/6/
/waktu lupa/
“Jam berapa sekarang?”
tanya jam dinding
pada seseorang
yang tidak ia kenal namanya.
Jawab orang itu:
“bukan jam istirahat.”
/7/
/memulai hari yang terlambat, 12.22/
Deretan punuk BH berkibar
di tiang jemuran, serupa
bendera yang
kita hormati
tiap hari Senin.
Seorang kekasih
menyapu debu jalanan
dengan bayangan yang mengantuk.
Remah-remah mimpi di trotoar,
di gedung bioskop tua, di
bawah lampu lalu lintas,
terguyur hujan dan
menguap
di udara.
Berjoged
dangdut.
Menghisap
Aibon.
Mengais
sampah.
Mengasah
kelamin.
Mungkin hidup,
tak pernah mati.
Tak pernah mati.
/8/
/mereka melengang/
seperti anjing.
seperti udara.
seperti jeda.
seperti titik.
dengan tentara
bersembunyi
di belakangnya.
/9/
/lepas tawa sekelebat/
Sore turun seperti hujan.
Mengguyur tubuh-tubuh basah
dengan lelah.
Anjing-anjing kecil
tak bisa mengendus jalan
pulang.
Tapi rumah ada di mana-mana.
Di tikungan jalan,
di pabrik-pabrik,
di selasar toko,
di atas bus dan jalanan padat,
di sepetak kamar kecil
dengan sewa 500 ribu per bulan;
rumah ada di mana pun kau
rebahkan kepalamu.
/10/
/aku menikahi buldoser/
Kami bercinta di atas reruntuhan bayangan gedung yang menimpa jalan. Ketika rindu, rindu itu remuk di kakinya. Menjelma debu lalu kembali mencucuk mataku.
Aku menikahi buldoser dan tiap malam kami menggaruk kota.
Kami bertemu gubuk yang mimpi. Lembaran triplek rekat dengan cairan manusia. Kami berteduh dari terik kantuk di pinggir rel.
Begitu matahari meninggi buldoser lakiku mengubur mimpi dengan tangannya sendiri.
Akhir bulan lakiku si buldoser terima upah lalu kami bercinta sampai habis segala lelah. Kupeluk peluhnya yang dingin dan decitnya logam barah. Terkadang aku mendengar desah tangis yang entah. Hantu dari masalalu. Aku tak tahu. Banyak mimpi yang mati dan suamiku lelah menghitung satu-satu.
/11/
/Malam jatuh berdebam/
Menimpa lampu-lampu jalan,
terpelanting ke parkiran, dan
membangunkan mobil-mobil
yang meraung dalam bahasa
alarm. Gelap melompat-lom-
pat di atas aspal basah, men-
ubruk tiang-tiang listrik. Luka
terbirit keluar lewat jendela.
Truk dan taksi berdesing se-
perti peluru. Operator malam,
perempuan muda di belakang
counter, pelacur dan mucikari,
tiang listrik, satpam dengan sebu-
ngkus Dji Sam Soe dan kopi
hitam, rumah sakit dan warung
kopi; beberapa orang mesti
terjaga biar bulan tetap menyala,
biar matahari bangun pada waktunya.
/12/
/hujan turun sebelum pagi/
Jalanan kaku kedinginan
orang-orang di dalam bus
berdesakan
seperti berpelukan.
Pemandangan tahun lalu
—juga hari ini
Tapi
tak ada yang menyangka pejalan kaki
mekar
jadi
orang-orang merah.
Anak-anak TVRI
menyiram kepala mereka sendiri
sampai tumbuh tinggi dan
tidak lagi
percaya televisi.
Tajuk utama tak pernah bicara,
tapi keringat kami
puisi.
Lagu.
Kepalan rapuh
menggenggam janji.
Dunia baru.