BEBERAPA waktu lalu, tiba-tiba kita menyaksikan peristiwa tolol dan memuakkan: pelarangan acara diskusi buku Tan Malaka, karya sejarawan Harry A. Poeze. Pelaku pelarangan ini adalah kelompok-kelompok yang punya sejarah kedekatan dengan militer dan polisi: Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP). Islam dan Pancasila, dua kalimat keramat itu telah digunakan oleh FPI dan PP, sebagai simbol bagi tindakannya yang fasis. Kita tahu FPI di Surabaya sukses, sementara PP di Semarang gagal.
Aksi pelarangan diskusi buku itu, kontan melahirkan kecaman luas. Dunia maya berontak. Dalam kasus Semarang, pesan berantai muncul di mana-mana, demikian juga solidaritas dan petisi dukungan terhadap kelangsungan diskusi diteken. Hasilnya, gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, bahkan ikut hadir dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Diponegoro, Semarang. Peserta diskusi yang sebelum muncul aksi pelarangan mungkin hanya berjumlah puluhan orang, di Undip membengkak mencapai 500 orang. Acara sukses dan kita perlu gembira berhasil membendung aksi pelarangan buku tersebut.
Tapi persoalan tidak selesai di sana sebenarnya. Kita perlu melihat lebih dari sekadar apa yang kasat mata. Pertanyaannya, kenapa tindakan-tindakan fasistik itu terus bermunculan, mulai dari kasus beda tafsir kitab suci, beda cara sholat, demo buruh dan tani, cara berpakaian dan bergaul antara laki-perempuan, hingga diskusi buku? Secara politik, jawabannya bukan karena mereka bodoh, bukan karena wawasan ilmu agamanya cetek, atau karena tak tahu siapa itu Tan Malaka. Ini analisanya orang sekolahan yang berumah di atas angin. Toh di dalam barisan kaum reaksioner itu duduk juga para intelektual, bahkan ada yang menyandang gelar akademik tertinggi. Jawaban tepatnya, karena kaum progresif kaki dan tangannya lemah lunglai dan suaranya makin terdengar sayup-sayup sampai.
Kita lemah karena jumlah kita semakin kecil, tidak terorganisasi dengan baik, suka dengan filsafat ‘Amuba,’ membelah diri terus-menerus untuk bisa hidup. Padahal sejarah dimana-mana dan di setiap zaman menunjukkan, jika gerakan progresif lemah maka kaum reaksioner yang akan berkuasa. Ketika gerakan progresif lemah, maka penindasan terhadap perempuan semakin menjadi-jadi, demikian juga dengan rasisme terhadap kaum minoritas, serta represi terhadap rakyat miskin yang bergerak secara kolektif menuntut hak-haknya.
Sehingga cara terbaik untuk melawan kaum reaksioner dan bergaya fasis ini haruslah melalui perlawanan politik. Maka membangun kekuatan barisan progresif adalah mutlak adanya. Kita perlu mengadopsi filsafat ‘Sapu Lidi,’ menjadi kuat dan efektif sebagai alat perjuangan ketika kita bersatu. Agar Persatuan itu tidak menjadi Persatean, maka kita perlu melakukan secara bersamaan dan berkesinambungan dua hal mendasar ini. Pertama, kita harus terus mendialogkan gagasan dan pendapat kita mengenai kondisi-kondisi riil yang kita lihat dan alami. Tujuannya bukan untuk mencari kesatuan pikiran atau membentuk satu ide tunggal, tapi memahami secara jernih dan ilmiah perbedaan di antara kita dan karena itu kita bisa membangun persatuan; kedua, kita harus terus mengupayakan kerjasama-kerjasama konkret dalam memperjuangkan dan membela program-program politik kita. Tujuannya agar kita terlatih dalam bersolidaritas, terlatih dalam bergerak bersama di lapangan politik praktis.
Jika kita bisa melakukan kedua syarat mendasar dan mendesak ini, maka kita pantas untuk berkata: ‘Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!!!***