Asalamualaikum Wr Wb.
Samin, apa kabar? Ibuku bllang kau gagal lagi jadi PNS (lagi). Jangan sedih dulu Min, nanti juga kau berhasil. Lagi pula, saat surat ini ditulis, titimangsa sudah menunjuk 2 Januari 2014. Ini tahun baru Bung. Bagi kaum yang dijuluki kelas menengah (ngehe) sepertiku, pergantian tahun baru memang tak jauh-jauh dari kesempatan bikin resolusi awal tahun yang ujung-ujungnya kami beraki sebulan kemudian. Namun, bagimu pergantian baru sudah pasti suatu yang sakral. Dalam kalimat yang sok puitis, tahun baru bagimu tak pelak bagaikan senarai harapan baru. Itu berarti terbukanya peluang baru jadi PNS. Begitu kan?
Ah iya, ngomong-ngomong tahun baru. Ngapain kamu malam tahun baru kemarin? Tebakanku: kau tak akan hura-hura seperti pemuda yang lain. Kau temanku yang tak neko-neko lagi irit. Paling banter kau hanya menongkrongi TV warisan orang tuamu. Lagipula, rasanya cuma itu pilihan yang kau punya sebab setahuku Cirebon baru saja menjalankan Pemilukada 29 Desember yang lalu. Siapa coba yang mau berpikir untuk menyediakan hiburan murah saat hitung-hitungan suara sedang berlangsung
Kalau sudah begini, Jangan-jangan kau cemburu padaku yang punya kesempatan datang ke Jakarta Night Festival, gelaran pergantian tahun yang dikelola Pemda Jakarta. Kau pasti mengira aku hura-hura menikmati rupa-rupa jenis musik yang disuguhkan12 panggung besar yang dipancangkan sepanjang Jalan MH Thamrin sampai Monas. Padahal Min, aku malah tak kemana-kemana. Malam tahun baru kuhabiskan di atas kasur apek kosanku. Aku tidur pulas saat tahun berganti.
Min, kendatipun gila musik—apalagi yang gratis—aku tak akan pernah tertarik untuk beringsut menikmati suguhan musik di 12 panggung itu. Alasannya mudah saja: panggung kolosal seperti ini jarang menawarkan kebaruan. Apalagi, Ini pesta tahun baru. Artisnya pasti itu-itu saja. Dan, kau tahu Rhoma Irama lagi-lagi manggung di sana. Rupanya, kalau dulu ia digelari Raja Dangdut, sekarang bolehlah kita juluki beliau Raja Pesta Tahun baru. Ya, memang Rhoma berbakat memikul gelar ‘raja’. Untungnya bentuk pemerintahan Indonesia bukan monarki. Kalau iya, maka ia berpeluang besar menang dalam capres tahun ini.
Ah, rasanya aku harus kembali menimbang ulang penggunaan kata gratis dalam baris pertama paragraf tadi. Dalam sebuah pemberitaan, Joko Widodo menekankan bahwa tak sepeserpun APBD yang dicaplok untuk membuat pesta semalam itu. Katanya, semua anggaran ditanggung sponsor[1]. Galibnya, pada pernyataan seperti, kita sebagai pembayar pajak yang patuh mesti lekas berucap ‘Alhamdulillah, sisa APBD bisa dialirkan pada kanal yang lebih urgen, pendidikan misalnya’.
Bolehlah kita sejenak mengucap kalimat syukur. Tapi, setelah itu mungkin kita harus waspada. Malam itu, aku memang tak hadir di Thamrin untuk bisa memastikan sponsor komersial apa saja yang “rela” menggelontorkan recehannya guna menghibur warga Jakarta. Namun, rasanya terlalu naif jika menduga tak ada satu pun sponsor komersil yang ikut mendanai Jakarta Night Festival. Sebab, logikanya, panggung musik yang gratis mengundang banyak penonton. Lantas, penonton yang banyak—bagi sponsor—berarti target promosi yang ranum. Jadi, musik gratis? Nanti dulu.
Tak bisa disangkal, siapapun yang berkunjung malam itu pasti senang. Yang penting bisa nonton musik zonder bayar. Ingat lho ya, aku bilang ‘zonder bayar’ bukan ‘gratis’. Sebab—kuulangi lagi ya—kita membayarnya dengan menjadi sasaran promosi korporasi yang menyokong acara itu. Celakanya,,kita terlanjur terbiasa menikmati pertunjukan musik yang didanai korporasi. “Tak ada yang salah. Itu kan sudah lumrah” begitu pasti pikirmu.
Asal kau tahu Min. Korporasi, terutama produk rokok, sudah menyasar penikmat musik dari puluhan tahun yang lalu. Sebagai catatan, Gelaran pertama festival musik rock versi Log Zhelebour yang diselenggarakan pada tahun 1984 didanai oleh Djarum Super[2]. Rupanya, Festival pertama ini sukses gila-gilaan hingga Djarum kembali menjadi sponsor dalam 8 dari 11 Festival berikutnya[3]. Sejak itu, Festival atau konser musik skala besar sudah ‘lumrah’ jadi kendaraan promosi industri rokok.
Malah, saking eratnya asosiasi konser besar dengan industri rokok, temanku pernah berkelakar. Katanya, cuma perlu melihat merek rokok yang dibeli seseorang untuk tahu konser musik mana yang ia datangi. Namanya juga kelakar, pasti cuma sebagian yang benar.
Maksudku begini, Min. Bahwa semua perokok bakal pergi ke konser itu salah, Namun, bahwa ada kontestasi iklan rokok untuk menyasar genre-genre musik tertentu itu tidak salah. Dji Sam Soe, misalnya, lekat dengan konser musik Jazz. Sementara, LA Lights menjaring komunitas Indie—lucu ya namanya ind(i)ependen tapi kontesnya pakai iklan rokok—dan Djarum 76—dengan iklan-iklannya yang romantik dan cenderung mooi indie itu—mengkomodifikasi musik (sekaligus agama) dalam tur ngabuburitnya.
Ah, biar lebih jelas, kau lihat saja gambar di bawah ini. Niscaya, kau langsung paham tautan mengguritanya industri rokok di pegelaran musik indonesia.
Sebentar Min. Jangan buru-buru naik pitam dan menuduhku anti konser bersponsor rokok. Gini-gini juga aku sering ke konser yang tadi aku sebut. Ya mau bagaimana lagi, band kesayanganku dari luar negeri datang ke Jakarta dan cuma sekalli itu mereka manggung. Lagipula, kau tak akan kena dosa jika kau pergi ke alun-alun buat nonton konser yang disponsori rokok. Rasanya, terlalu sewenang-wenang untuk mengajakmu memboikot konser yang didukung perusahaan rokok sebagai bentuk protes atas penyerebotan musik dan ruang publik oleh korporasi. Lagian, Aku masih ingat kok, Di Sumber—tanah kelahiran kita—konser musik yang apik munculnya jarang-jarang.
Memang tak ada yang salah pergi ke konser-konser itu. Yang mungkin salah adalah pembiaran kita atas lekatnya industri rokok pada gelaran musik itu, sementara ada model penyelanggaran gig nir-sponsor—walau masih dalam skala terbatas—yang bisa dicoba.
Apa yang hendak aku ceritakan ke depan adalah kanal alternatif untuk menikmati musik tanpa harus disuguhi iklan bikinan korporasi dalam bentuk apapun. Tadi kan sudah aku singgung, gig besar yang notabenenya disokong iklan rokok jarang sekali menawarkan kebaruan. Premisnya mudah saja: untuk mendatangkan massa yang banyak, diperlukan musisi atau band dengan massa yang banyak. Walhasil, penggelar acara dan penyandang dana cuma mau main aman: memilih band yang mapan daripada memberikan suguhan baru.
Min, ketika semua pertunjukkan musik di ruang publik ini sudah kadung susah dipisahkan dari iklan pelbagai korporat, jalan satu-satunya untuk mencari kebaruan—cliché memang—kembali menyusuri kafe-kafe atau gig venue di jakarta yang menyuguhkan self-organized gigs atau gig mandiri. Namun, mengenai itu sudah kukisahkan di surat terdahulu. Buat apa mengulang kisah yang sama.
Belum lagi Min, setelah ditelisik, model kerja sama penyelenggara gig mandiri dan kafe—Jaya Pub salah satunya—sebenarnya tak jauh berbeda dengan cara korporasi merangkul penyelenggara konser di Jakarta. Jika korporasi mendanai konser guna memaparkan citra produknya pada para pengunjung, maka kafe-kafe punya udang dibalik batu: memenuhi minimum order lewat penjualan FDC (First Drink Charge). Dengan kata lain, keluar dari mulut singa kapitalis, masuk ke kandang petite bourgeois.
Tapi, tenang Min. Selalu ada gig musik gratis bagi mereka yang percaya—eh maksudku, mencari. Tiga tahun yang lalu, aku datang ke gigs yang diselenggarakan di sebuah studio musik di pinggiran Jakarta—entah mengapa studio gig di jakarta yang pernah kudatangi kebanyakan ada di wilayah itu. Sejatinya, konsep studio gig pertama kali kudengar di tahun 2009. Kala itu, kawan dari Malang mengabarkan bahwa di Malang studio gigs sedang marak. Kemudian, setahuku, studio gig juga jadi salah satu alternatif pasca Tragedi Gig Beside di Gedung Asia Afrika Culture Centre. Namun, aku memang baru berjodoh dengan studio gig di tahun 2011.
Studio gigs? Kau pasti bingung kan? Wajarnya, studio musik itu berfungsi sebagai tempat latihan dan rekaman semata. Kita—seperti saat kita membentuk band untuk upacara perpisahan smu dulu—selalu membedakan latihan dan manggung. Parameter pembedanya pun sederhana: latihan itu makomnya di studio; manggung ya tentunya di panggung, di mana pun acara itu dihelat.
Menariknya, batas-batas ini yang diterabas dalam studio gigs. Jadi, kalau kau datang ke salah satu gig macam ini—tentunya kalau kau bertandang ke Jakarta—tak usah kaget bila pengunjung dan band yang beraksi bisa begitu toleran. Entah itu toleran pada kesalahan yang dibuat, toleran pada lamanya sebuah band mengeset efek, toleran pada molornya acara, atau bahkan toleran pada output suara yang dihasilkan.
Memang, mengenai toleransi ini, ada satu hal yang perlu kau camkan sebelum pergi ke studio gig: Jika kau terbiasa nonton gig bersponsor rokok di alun-alun, rendahkan ekspektasimu sebisa mungkin. Pasalnya, demi menekan ongkos produksi, tak jarang, studio yang dipilih belum tentu punya alat yang prima. Belum lagi, mayoritas band yang tampil ini—maaf ya aku agak kejam—amatir. Artinya mereka tak sepenuhnya atau tidak sama sekali hidup dari musik. Musik adalah kecintaan, bukan profesi yang digeluti. Jadi, wajar ketika mereka datang terlambat ketika terpaksa lembur atau mereka tak sempat checksound dengan cukup. Belum lagi, kalau yang manggung masih cari jam terbang atau datang hanya untuk ngerock-n-roll, kau mungkin tak bisa menikmati musik yang “bersih”. Tapi yang pasti, kau bisa menikmati ghirah/semangat mereka bermain. Lebih dari itu, ingat Min, mereka bukan profesional seperti Gigi, Slank, Padi atau band kesayanganmu, Sheila On 7.
Lalu, bagaimana aku punya ghirah untuk bisa datang ke acara seperti ini? Bagiku, gampang saja: aku datang demi kebaruan. Jelas, karena aku bisa menemukan segala macam genre dari gig macam ini. Dari metal, indie rock, jazz, crust Punk, noise hingga dance music sekalipun.. Walhasil, demi semua kebaruan, aku bisa berangkan dengan penuh ghirah. Mungkin semangat itu sama seperti semangat yang kamu miliki untuk pergi nonton musik-padahal-acara-jualan-rokok di alun-alun. Kau pergi karena tak ada pilihan hiburan dan harus datang untuk senang-senang. Garis bawahnya: Aku juga sama. Aku datang untuk senang-senang!
Itu kuncinya! Studio gig, layaknya gig DIY (bukan Daerah Istimewa Yogyakarta, lho; ini akronim dari etos punk sejak dulu: Do It Yourself) lainnya, intinya adalah senang-senang. Yang datang bisa senang nonton band cum temannya manggung, yang ngeband bisa bersenang-senang sembari menambah jam terbang. Lantas, bagaimana dengan penyelenggara yang menghabiskan uang untuk menyewa studio beserta isinya? Sampai saat ini aku cuma punya satu dugaan: pasti ada kepuasan tersendiri menghamburkan uang demi musik tanpa sedikit pun uang berganti. Haha!
Jika kita saat ini bertatap muka, kau pasti sudah bilang, ‘buang-buang duit saja. Mending duitnya ditabung atau buat bayar cicilan motor!,’ setelah mendengar kalimat terakhir tadi. Tak usah malu, kau tak sepenuhnya salah. Dengan menggantungkan pembiayaan pada sebagian pengabdi musik gila seperti ini, eksistensi studio gig tak mungkin bertahan lama. Munculnya ya semusim dengan dengan gajian atau bonus akhir tahun. Padahal, sisa gajian juga pada masanya berhadapan dengan harga susu, cicilan KPR atau—yang termutakhir—harga LPG.
Menurut hematku, sekecil apapun ongkos studio gig—dengar-dengar bisa ditekan sampai 1 juta rupiah saja—dana ini juga kudu dikongsi bersama. Konsep ini—istilah kerennya crowdfunding—memang bukan barang baru di skena musik indie. Tahun ini, sebuah kolektif bernama Pandai Besi—pemekaran dari grup bernama Efek Rumah Kaca—mampu merilis albumnya hanya dengan mengandalkan sistem ini. Bahkan, konsep yang sama juga bukan hal yang baru dalam studio gig. Walau tak serupa dengan crowdfunding—di mana penyumbang menerima merchandise atau produk tertentu—penggerak studio gig di Yogyakarta menggalang gerakan bernama ‘Proyek Karpet’[4]. Misinya sederhana: membeli karpet baru di studio langganan.
Memang, saat ini, konsep ini baru sampai tahap pengadaan karpet (setidaknya sepengetahuanku). Galibnya, Konsep udunan dalam penyelenggaran baru sampai pada tahap gig kolektif[5]. Namun, apa salahnya punya imajinasi untuk membuat sebuah studio gig yang sepenuhnya hasil crowdfunding. Lalu, kalau berani, kita bisa berimajinasi membuat gig sebesar JakJazz—meski tentunya angan yang kedua ini harus dibarengi kegiatan memeras otak guna memikirkan cara efektif untuk menjalan sistem crowdfunding dalam skala masif.
Min, terwujud atau tidak, yang penting imajinasi harus sudah kita milik sekarang. Perkaranya, Peraturan Pemerintah yang melarang sponsor rokok dalam konser musik konon akan aktif mulai tahun ini. Min, berita ini sudah bikin para penyelenggara konser megah itu kalang kabut. Wajar, industri rokok kerap kali menyumbang 40% biaya penyelenggaran acara. Malangnya, meraka tak yakin sponsor dari perbankan dan industri telekomunikasi bisa menutupi sokongan industri rokok yang akan berhenti tahun ini.[6] Dengan imajinasi itu, kita berada satu langkah di depan. Kala mereka masih berpikir korporasi mana lagi yang bisa disasar, kau dan aku sudah bicara tentang model penyelenggaran yang baru!
Hebatnya, kau malah pernah manggung di gelaran musik yang dananya dikongsi ramai-ramai. Aku masih ingat, 8 tahun yang lalu kau mati-matian menjadi Duta Sheila On 7 di pesta 17-an kampung kita. Kau mungkin tidak sadar betapa gagalnya kau meniru suara nassal Duta dalam lagu Dan. Pun, kau mungkin tak sadar bahwa panggung 17-an bisa disejajarkan dengan studio gig yang barusan aku ceritakan. Malah, ia menang satu langkah sebab di samping isinya cuma buat senang-senang, dananya ditanggung semua warga dan eksistensinya terjamin (setiap tahun hampir selalu ada). Jadi, walau gagal, kau harus bangga pernah jadi artis 17-an.
Mengenai kegagalanmu, aku punya usul: bagaimana kalau kita bikin band khusus buat manggung 17-an nanti? Aku mau jadi seniman barang semalam saja, sebelum sebelum sertifikasi seniman berlaku. Kita nyanyi Sheila On 7 Lagi. Lagunya terserah kamu saja. Bahkan, atas kesetianmu membaca dongeng-dongeng tentang kota ini, kau boleh Jadi Duta. Aku cukup Eros saja.
Kutunggu jawabanmu Min!
Wassalamulaikum Wr. Wb.
[1] http://www.beritasatu.com/kota-kita/90103-jokowi-jakarta-night-festival-dari-sponsor-bukan-apbd.html
[2] Theodore KS, Rock N Roll, Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Hal 260. Penerbit kompas.
[3] Ibid. dalam perjalanannya, Djarum tak jadi satu-satunya penyokong dana. Gudang Garam pernah menjadi sponsor utama 2 gelaran festival tersebut. Satu gelaran festival malah pernah disponsori oleh Indosiar.
[4] Mengenai Proyek Karpet bisa diakses di sini https://www.facebook.com/events/403473213118955/
[5] Gig kolektif adalah gig dimana band yang akan ditampil dikenai biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran ini biasanya digunakan untuk menutup ongkos produksi gig.
[6] Tribunenews: Konser Musik di Indonesia Akan Sepi karena Larangan Sponsor Rokok diakses di http://www.tribunnews.com/seleb/2013/04/29/konser-musik-di-indonesia-akan-sepi-karena-larangan-sponsor-rokok