SEJAK Peristiwa G30S 1965, gerakan dan pemikiran politik Kiri, khususnya Marxisme, secara politik, budaya, dan hukum dinyatakan terlarang. Walaupun menyisakan kalimat bahwa “kecuali untuk kegiatan yang bersifat akademik,” tetapi praktis pengajaran Marxisme sebagai ilmu pengetahuan, menghilang dari kurikulum dan proses belajar mengajar.
Akibat pelarangan ini, hampir setengah abad dunia ilmu pengetahuan di Indonesia berjalan terpincang-pincang. Para pengajar, peserta didik, dan kaum terdidik hanya mengetahui Marxisme sebagai sesuatu yang buruk, dan pengetahuan itu diperolehnya tidak melalui sebuah pergumulan intelektual yang serius melainkan sebagai hasil dari dogma. Sehingga, hampir setengah abad pula, dunia akademis di Indonesia hanya berfungsi sebagai tempat “peribadatan,” yang memuja-muji dan mengamini satu sumber pengetahuan tertentu.
Setelah Soeharto jatuh, pengetahuan tentang Marxisme mulai bermunculan secara terbuka dan sporadis. Namun secara politik dan hukum, Marxisme tetap dianggap sebagai barang haram, yang terlarang penyebarannya. Dan seperti sebelumnya, lembaga pendidikan tetap kukuh dalam keterbelakangannya, bangga dengan posisinya sebagai tempat “peribadatan.”