Daftar Isi Edisi Ini:
- Kekuatan Teori Nilai Kerja Marx
- Fahmi Panimbang: Kebutuhan Saat Ini Adalah Memperkuat Pengorganisasian Sosial
- Islamofobia Dan Politik Imperialistik AS
APA pentingnya pengetahuan teoritik bagi pergerakan anti-kapitalis? Jawaban paling umum terhadap pertanyaan ini adalah, karena untuk mengubah kapitalisme, kita perlu memiliki pemahaman yang memadai atas kapitalisme. Tapi kenapa untuk memahami kapitalisme, kita memerlukan pengetahuan teoritik? Apakah tidak cukup memahami kapitalisme hanya melalui pengalaman empiris atau panca indera saja?
Pengetahuan teoritik berbeda dengan pengetahuan yang dihasilkan secara spontan melalui pengalaman atau panca indera. Dalam rekonstruksi suatu teori, ada prosedur tertentu yang harus dilalui. Salah satunya yang sangat penting adalah abstraksi, yaitu seleksi atas fitur-fitur tertentu dan pengesampingan fitur-fitur lain dari sebuah fenomena, sehingga fenomena itu bisa ditangkap oleh pikiran kita. Bisa dikatakan bahwa teori adalah model abstrak dari suatu kenyataan tertentu. Teori tentang kapitalisme adalah model abstrak dari kenyataan kapitalisme.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya sudah melakukan abstraksi secara spontan. Sedari anak-anak, kita sudah belajar melakukan abstraksi. Bilangan 2, misalnya adalah abstraksi dari pola kuantitas bermacam hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti dua batu, dua kursi, dua daun, dan seterusnya. Untuk mendapatkan konsep dua, pikiran kita mengesampingkan benda-benda material dimana pola kuantitas itu melekat, sehingga didapatkan suatu konsep kuantitas murni tertentu yang kemudian kita beri nama ‘dua’ atau lambang bilangan Hindu-Arab ‘2.’ Tentu saja proses pemahaman atas bilangan 2 tidak sesederhana di atas. Ada juga misalnya proses komparasi dengan pola kuantitas lain yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti 1, 3, 4, dan seterusnya, yang berjalan dalam pikiran kita, sehingga kita mendapatkan sense of position dari bilangan 2 dalam urutan bilangan yang ada. Tapi, ada proses abstraksi di situ. Dan tanpa kita sadari, kita sudah melakukan hal ini sejak kanak-kanak.
Kita dan anak-anak kita patut bersyukur terhadap para leluhur kita. Kalau kita melihat sejarah perkembangan matematika, apa yang bisa dilakukan anak-anak kita hanya dalam beberapa tahun melalui pendidikan modern, seperti mengenal pecahan, bilangan negatif, desimal, dan seterusnya, baru bisa dilakukan para pendahulu kita puluhan ribu tahun sejak kemunculan mereka di bumi. Tetapi, karena proses yang mereka lalui itulah, kita bisa memperoleh pengetahuan itu dengan jauh lebih mudah. Bilangan bulat dan operasi aritmatika dasar seperti tambah, kurang, bagi, dan kali, memang sudah ada ribuan tahun lalu di zaman Babilonia dan Mesir Kuno. Tapi, tidak demikian dengan berbagai konsep matematika lainnya. Upaya abstraksi secara serius adalah apa yang membuat berbagai terobosan dalam matematika. Matematika stagnan selama ribuan tahun di Babilonia dan Mesir, karena mereka tidak berusaha melakukan abstraksi lebih lanjut atas apa yang sudah mereka punya. Tapi, di saat Yunani menerima bahan-bahan matematika dari Babilonia dan Mesir, lalu melakukan proses abstraksi secara sistematis (bukan spontan) atas bahan-bahan tersebut, lahirlah pengetahuan semacam geometri.
Proses perkembangan matematika, meski dikondisikan oleh situasi sosial tertentu seperti kegiatan komersial, tetapi juga berdampak secara luar biasa pada kehidupan manusia. Bermacam teknologi seperti pesawat terbang, alat-alat elektronik, dan lain-lain bisa berkembang karena perkembangan ilmu alam dan matematika. Sulit untuk membantah betapa signifikannya peran abstraksi secara sistematis atau teorisasi dalam kemajuan teknologi. Tetapi, kenapa kita memerlukan teori dalam pergerakan anti-kapitalis kita? Jawabannya sederhana, karena ada kemiripan (meski tidak persis sama) antara ranah alamiah dan sosial. Kapitalisme yang hendak kita ubah bukanlah suatu kenyataan yang bisa ditangkap secara langsung melalui panca indera. Kita bisa mengalami dan merasakan gejala-gejalanya secara langsung seperti upah kita yang murah, tetapi kita tidak bisa menangkap gerak struktural yang menjadi penyebab berbagai gejala yang kita rasakan tanpa aktivitas teoritik.
Marx sendiri menggunakan abstraksi dalam upayanya memahami kapitalisme. Ini bisa dilihat dalam Bab pertama Capital Jilid I, ketika Marx membahas komoditas. Komoditas memiliki kegunaan (nilai-pakai) bagi manusia karena bentuk fisik spesifiknya mengondisikan penggunaannya oleh manusia. Sebuah pisau menjadi berguna untuk memotong, karena ada aspek fisik ketajaman di pisau. Nilai-pakai, dengan demikian, bersumber dari aspek-aspek fisik komoditas. Namun, komoditas tidak hanya dipakai manusia, tetapi juga dipertukarkan. Kalau tidak dipertukarkan, maka benda-benda itu bukan komoditas. Pertanyaan yang kemudian Marx ajukan adalah, kenapa benda-benda yang berbeda-beda aspek fisiknya itu bisa dipertukarkan? Harus ada sesuatu yang sama di berbagai benda itu, yang menjadi basis dari keseukuran benda-benda tersebut, agar benda-benda itu bisa dipertukarkan. Dan karena pertukaran merupakan sebentuk interaksi sosial, maka Marx mengesampingkan semua aspek fisik dari benda-benda itu untuk mengisolasi aspek sosial yang ada di semua benda itu. Dan ditemukanlah bahwa benda-benda itu, terlepas dari perbedaan aspek fisiknya, dibuat oleh kerja manusia.
Marx tidak berhenti melakukan abstraksi hanya di situ. Walau bagaimanapun, aspek fisik dari komoditas adalah juga hasil kerja manusia. Ketajaman pisau adalah hasil dari kerja mengasah. Dan mengasah adalah bentuk kerja spesifik yang dicurahkan pembuat pisau agar pisau tajam. Tentu bukan bentuk kerja (disebut juga oleh Marx sebagai ‘kerja berguna’) yang menjadi basis dari keseukuran benda-benda, karena bentuk kerja mengkonstitusikan aspek fisik dari komoditas, sementara aspek fisik komoditas bukanlah basis keseukuran benda-benda. Artinya, ada aspek dari kerja selain bentuk kerja yang menjadi basis keseukuran benda-benda. Di sini, Marx pun melakukan abstraksi terhadap kerja dengan mengesampingkan bentuk-bentuk kerja yang ada dalam berbagai kerja manusia. Hasilnya, Marx berhasil mengisolasi aspek ‘kerja abstrak,’ dimana jika kita mengesampingkan bentuk-bentuk kerja seperti mengasah, menjahit, menggunting kain, maka kita dapati bahwa kerja manusia tidak lain dan tidak bukan adalah pencurahan tenaga-kerja (energi otot dan pikiran) secara umum yang tersimpan dalam tubuh manusia. Marx kemudian menemukan bahwa ukuran bagi pencurahan tenaga-kerja adalah waktu-kerja. Waktu-kerja, dengan demikian, adalah basis keseukuran benda-benda yang membuat benda-benda itu bisa dipertukarkan.
Bayangkan, apa yang terjadi jika Marx anti-teori dan tidak melakukan aktivitas di atas? Mungkin kita tidak akan memiliki pengetahuan sama sekali tentang cara kerja kapitalisme. Dan ketika kita mengalami upah murah, kita mengambil kesimpulan intuitif bahwa upah murah disebabkan moralitas jahat pengusaha. Atau dengan basis pengalaman empiris, kita menyimpulkan bahwa upah murah sekadar persoalan kebijakan negara atau penegakan hukum. Kesimpulan-kesimpulan itu bukan sama sekali salah, tetapi kesimpulan-kesimpulan itu adalah kesimpulan-kesimpulan yang sangat bisa dipertanyakan lebih lanjut. Kenapa pengusaha berlaku jahat? Kenapa pemerintah membuat kebijakan upah murah? Kenapa penegakan hukum tidak berjalan? Apa yang dicoba ditemukan oleh Marx dengan aktivitas teorisasi di atas adalah mencari ‘akar masalah,’ dimana jika kita berhasil menemukan akar dari suatu masalah, kemudian melenyapkan akar masalah tersebut, maka masalahnya juga akan tuntas. Jika kita mengetahui akar dari masalah upah murah, dan berhasil melenyapkan akar masalah upah murah, maka fenomena upah murah di bumi ini juga akan lenyap.
Semoga pengantar singkat di atas bisa meyakinkan sidang pembaca tentang betapa pentingnya aktivitas teoritik bagi pergerakan rakyat. Dan kita tidak perlu memiliki innate ability apapun untuk bisa berteori. Pendidikan formal juga bukan syarat bagi kemampuan teoritik. Kemampuan teoritik, sama seperti banyak kemampuan lainnya, adalah acquired ability. Setiap orang bisa melakukannya jika mau belajar dan berusaha keras melakukannya. Dengan semangat menyebarkan ilmu pengetahuan demi kemajuan pergerakan anti-kapitalis, Left Book Review (LBR) edisi ini kami haturkan kepada sidang pembaca. Dalam edisi kali ini, kami memuat tulisan Rio Apinino yang me-review buku Martin Suryajaya, Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen. Setelah itu, ada review Coen Husain Pontoh terhadap buku Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Empire, dan Stephen Sheehi, Islamophobia The Ideological Campaign Against Muslim. Wawancara kali ini kami lakukan terhadap Fahmi Panimbang, peneliti Asia Monitor Resource Center (AMRC), Hong Kong, dan penulis buku Labour Rights in High Tech Electronics. Akhir kata, kami mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014, mari kita tingkatkan aktivitas pembelajaran dan perlawanan kita, serta semakin mempererat teori dan praktek: praxis!¶